Generasi Alay yang Abai


Bikin geram! Beredar foto enam remaja warga Kampung Sritejokencono, Kecamatan Punggur, Lampung Tengah (Lamteng) di sosmed yang dinilai melecehkan syariat Islam. Di dalam Masjid At-Taqwa – Lampung mereka memeragakan salat tanpa baju dan menenteng kotak amal hanya mengenakan celana dalam (lampung.tribunnews.com,22/7). Setimpal, jika kemudian mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian.

Tren selfie yang kebablasan! Ya, aktifitas sia-sia semacam ini jelas meresahkan masyarakat. Yang awalnya dianggap lelucon atau senda gurau, fenomena ini telah bergeser dari sekadar mengeksiskan diri kemudian mengarah pada aktivitas penistaan agama. Generasi alay telah menjangkiti remaja kita. sejatinya ini merupakan persoalan generasi yang semakin mengkawatirkan dan tak bisa kita biarkan. Agama, entitas paling sakral sekalipun telah berani mereka lecehkan.  Kenapa mereka sampai berani melakukan hal naïf seperti itu?

Banyak hal yang perlu segera kita evaluasi bersama secara mendasar. Pertama, tentang kurikulum pendidikan. Kurikulum pendidikan kita saat ini pada endingnya masih berorientasi pada hasil atau nilai, bukan proses bagaimana siswa belajar. Hal tersebut telah memicu banyak penyimpangan perilaku siswa seperti mencontek atau membeli kunci jawaban. Karena yang mereka kejar adalah hasil, bukan proses. Akhirnya, bukan pembenahan moral yang dihasilkan tapi justru sebaliknya. Pembentukan karakter siswa hanya sebatas slogan, karena prestasi siswa dinilai sebatas dari prestasi akademis. Kasus enam remaja di Lampung ini adalah salah satu bukti nyata bagaimana sistem pendidikan kita belum menyentuh akar permasalahan generasi. Ditambah lagi, perubahan kurikulum hampir selalu berubah ketika Menterinya direshuffle. Jelas ini tidak efisien dan membuang anggaran pendidikan begitu banyak.

Kedua, pola asuh orang tua. Paradigma berpikir sebagian besar orang tua saat ini, karena juga bagian dari hasil pendidikan yang “hasil oriented”, meletakkan standar kesuksesan anak masih pada aspek materi. Orang tua sibuk mencari uang demi anaknya bisa masuk ke sekolah favorit namun melalaikan aspek pendidikan mental dan kepribadian anak. Banyak yang masih beranggapan bahwa anak yang sukses adalah anak yang mendapatkan nilai akhir sekolah yang tinggi. Anak yang sukses adalah anak yang nantinya mampu mendatangkan materi sebanyak-banyaknya bagi orang tua. Pola pikir materialistik seperti ini sangat berbahaya bagi pendidikan dan pembinaan anak.

Kurikulum pendidikan dengan beban belajar yang berat mendorong banyak orang tua menjejali anak dengan banyak les tambahan di luar jam sekolah dengan harapan mendapat nilai bagus, an sich, tanpa kemudian membekali anak dengan pendidikan akhlak dan mental yang baik. Banyak anak-anak dan remaja yang cenderung terlalu bergantung kepada orang tua, tidak mandiri dan lebih parah lagi menjadi generasi alay karena terbiasa mendapatkan fasilitas dan kemudahan dari orang tua. Kematangan berpikir anak tidak terbentuk.  Mengurus diri sendiri saja tidak mampu, bagaimana bisa memikirkan hal lain yang lebih besar? Anak menjadi abai terhadap kondisi lingkungan sosialnya dan cenderung individualistik. Inilah buah dari penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis. Lalu apa yang kemudian kita harapkan?

Sudah saatnya kita fokus pada sistem pendidikan yang memiliki pondasi kuat dalam penanaman akidah (iman). Akidah yang kuat dan mengakar akan mampu mencetak generasi tangguh dalam menghadapi arus global, bukan generasi alay yang abai terhadap kondisi sesama. Jangan sampai lingkungan keluarga dan sekolah justru menjadi pencetak generasi liberal, alay dan kontroversial. Tidakkah kita merindukan suasana menuntut ilmu yang mengantarkan pada kegemilangan akhlak generasi? Padahal semua itu telah ditorehkan Islam dengan sistem pendidikannya dalam naungan Khilafah Islam. Wallahu ‘alam bis shawab.[VM]

Pengirim : 
Emma Lucya F
Penulis buku-buku Islami
Ciampea-Bogor

Posting Komentar untuk "Generasi Alay yang Abai"