Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mau Dibawa Kemana (Anak) Indonesia?


Oleh : Nining Tri Satria, S.Si
(MHTI Bengkulu)

Sejarah dunia telah menunjukkan perut dan nasib bangsa ialah dua hal yang erat. Negara-negara berperekonomian baik ialah negara dengan ketersediaan pangan dan fasilitas kesehatan memadai. Hanya dengan perut terisi, anak bangsa bisa hidup sehat dan dapat berpikir cerdas. Namun, rumusan historis itu tampak belum sepenuhnya mendapat tempat dalam alam pikiran dan tindakan para pemangku kebijakan di negeri ini. Kematian akibat gizi buruk terus terjadi.

Setiap tahun diadakan Kongres Anak Nasional dengan harapan tiada lain dapat berkontribusi untuk mendesak pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan anak. Namun faktanya, Kondisi anak dan remaja Indonesia semakin buruk dan terpuruk. Ada sekian juta yang mengalami gizi buruk, tingkat prevalensi gizi kurang pada balita mencapai 17,9 persen atau sekitar 3,7 juta balita mengalami keukurangan gizi dan gizi buruk. Berulangnya kasus gizi buruk di Bumi Cenderawasih menunjukkan kealpaan besar dalam tata kelola negeri ini. Dengan kekayaan alam yang berlimpah semestinya kelaparan menjadi hal yang ganjil di sana. Jumlah anak terlantar pun semakin hari semakin melonjak hingga 5,4 juta orang. Dalam ruang lingkup pendidikan pun anak-anak yang berumur 7-15 tahun banyak yang terancam putus sekolah hingga mencapai 13 juta anak.

Memprihatinkan memang, di negeri yang kaya raya memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah tidak seimbang dengan kondisi jeritan rakyatmya. Sekalipun, masalah anak telah diatur dalam UUD 1945 pada pasal 34 ayat 1 menyatakan bahwa anak terlantar merupakan tanggung jaab Negara. Namun, setiap tahun anak terlantar semakin bertambah setiap tahunnya. Bahkan, nasibnya pun tidak jelas. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak tidak mereka dapatkan kecuali bagi orangtua yang berduit saja.

Tidak sedikit dari anak-anak Indonesia dibiarkan berbuat asusila (pornografi dan pornoaksi) bahkan, tidak sedikit pula yang menjadi korban sekaligus pelaku perbuatan amoral tersebut. Beberapa bulan terakhir hingga hari ini, masih terjadi kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual. Bahkan pelaku merupakan orang terdekat yang menyebabkan tiada keamanan bagi anak. Dewasa ini, perang terhadap narkoba yang melanda anak-anak ataupun generasi semakin memanas, perihal narkoba bak menegakkan benang basah dalam penyelesaiannya. Tak sedikit generasi terjerat ke dalam “dunia hitam” narkoba yang menghilangkan masa depan anak bangsa. 

Menurut studi yang dilakukan oleh Peter Dale Scott, perdagangan narkoba dikawasan ini para era perang dingin, juga mendapat dukungan dari para operator intelijen Amerika Serikat CIA. Di Burma misalnya, akibat campur tangan CIA tahun1950 mampu meningkatkan produksi narkoba dari 40 ton (1939) menjadi 600 ton (1970). Di Thailand pun demikian, dari sebelumnya hanya 7 ton (1939) naik menjadi 200 ton (1968). Luar biasa! Di Laos tidak mau ketinggalan, dari produksi 15 ton tahun 1939 menjadi 0 ton pada tahun 1973.

Tak langka saat ini kita menemukan anak-anak yang krisis akan karakter maupun akhlak, seorang siswa melawan guru bahkan berani memukul hidung seorang guru tatkala ditegur ketika menaiki meja guru. Dimanakah rasa homrat seorang siswa kepada guru? rasa hormat anak didik semakin terkikis bahkan hilang perlahan. Akar masalah tiada lain yaitu karena sistem hidup yang dianut adalah paham Sekulerisme yang menggeser agama dari kehidupan sehingga tatanan hidup jauh dari norma agama dan nilai akhlak. 

Islam: Penyembuh Masyarakat yang Sakit

Ketika syariah Islam diterapkan, maka peluang untuk berbuat kejahatan sangat minim. Peluang penyalahgunan akan tertutup. Landasan akidah Islam mewajibkan negara membina ketakwaan warganya. Ketakwaan yang terwujud itu akan mencegah seseorang terjerumus dalam berbagai kejahatan. Ibarat tubuh, sebuah masyarakat bisa sakit, juga bisa sehat. Sehat atau tidaknya masyarakat dilihat dari kualitas interaksi sosialnya. Interaksi sosial di dalam masyarakat terjadi karena empat komponen: pertama, individu-individunya sebagai anggota masyarakat; kedua, kumpulan pemikiran yang diadopsi masyarakat; ketiga, perasaan kolektif masyarakat; keempat, sistem/aturan hidup yang mengatur berbagai interaksi masyarakat (Muhammad Husein Abdullah, 1996).

Jika kita membayangkan bagaimana tubuh kita bekerja agar tetap sehat dan kuat, maka tubuh tentu perlu nutrisi yang cukup yang akan membentuk sistem imun (daya tahan tubuh) sehingga juga akan menguatkan sistem metabolisme dan menjaga organ-organ vital tubuh kita tetap sehat. Begitu pula masyarakat, selain individu yang baik sebagai anggota masyarakat, maka faktor pertama yang akan membuat masyarakat sehat adalah kualitas nutrisinya yang berupa pemikiran-pemikiran yang sahih (benar) untuk membangun fondasi peradaban masyarakat dan menjadi identitas yang jelas bagi warga masyarakat. Kedua adalah perasaan kolektif masyarakat yang berperan sebagai kontrol sosial dan sistem imun karena rasa suka dan benci masyarakat akan menentukan sikap kolektif yang benar terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan. Ketiga adalah bagaimana kualitas sistem kehidupan yang ada mampu mengatur berbagai interaksi sosial tersebut sehingga menyelesaikan berbagai masalah dengan tuntas.

Mendiagnosa “Penyakit” Masyarakat Barat

Tidak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada abad modern ini ada anggota masyarakat yang merasa terancam dengan masyarakatnya sendiri. Namun, itulah yang terjadi pada masyarakat Barat. Peristiwa teror dari banyak kasus pemuda yang hidup paranoid di lingkungan sosialnya adalah salah satu indikasi kronisnya penyakit masyarakat Barat. Paham individualistik akut yang merupakan buah dari sekularisme ini telah melahirkan generasi yang rusak mentalnya, kosong secara spiritual, gagal mendefinisikan realitas kehidupan, tidak memiliki tujuan hidup dan terobsesi pada tokoh-tokoh imajinatif dari industri hiburan kapitalistik yang mereka ciptakan sendiri.

Percampuran antara materialisme dan kebebasan individu tanpa batas telah menyebabkan kekerasan yang mewabah, keruntuhan bangunan keluarga, makin tingginya depresi sosial, krisis solidaritas antar generasi (intergenerational solidarity crisis) sehingga kaum muda tidak lagi peduli pada mereka yang lanjut usia dan sebaliknya, kesenjangan antara si kaya dan si miskin, hingga gagalnya proses integrasi sosial akibat kegagalan mengelola perbedaan dalam masyarakatnya.

Ketika Barat terus berupaya menyebarkan nilai-nilai dan ideologi mereka kepada dunia dengan cara yang sangat arogan dan mem-fitnah peradaban Islam, maka sebenarnya mereka telah mencoba untuk menyembunyikan keputusasaan yang mereka ciptakan pada masyarakat mereka sendiri dan di seluruh dunia. Sekarang Barat tidak lagi mampu menyembunyikan kemunduran dan kerusakan peradabannya.

Dapat kita simpulkan bahwa diagnosanya, penyakit masyarakat di Barat semua berpangkal pada ideologi Kapitalisme yang cacat sejak lahir dan mengandung bibit-bibit kanker sejak awal. Ideologi Kapitalisme telah merusak individu, pemikiran dan perasaan yang ada pada masyarakat Barat dalam jangka panjang.

Selain kewajiban amar makruf nahi mungkar serta peran terhormat kaum Muslim untuk menjaga masyarakat, Islam juga telah memberikan sebuah sistem yang satu dan komprehensif yang akan memberi kesembuhan masyarakat yang sakit seberapapun parahnya. Sistem ini tiada lain adalah Khilafah Islam. Sebagaimana perkataan Utsman bin Affan ra., “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang  tidak bisa dihilangkan oleh al-Quran.” 

Khalifah sebagai pemimpin umum umat Islam akan mengatur berbagai interaksi sosial dan menghilangkan berbagai penyakit di dalam masyarakat dengan akidah dan hukum-hukum Islam yang mulia. Wallahu a’lam bi ash-shawab. [VM]

Posting Komentar untuk "Mau Dibawa Kemana (Anak) Indonesia?"

close