Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Salahkah Full Day School (FDS)?


Oleh : Mauliddani Latifah
(Dosen Pengajar – Aktivis MHTI Banten)
Pergantian posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia baru-baru ini ternyata memunculkan polemik baru bagi masyarakat. Hal ini berawal dari munculnya wacana yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, yaitu gagasan Full Day School (FDS) untuk pendidikan dasar dan menengah, baik negeri maupun swasta. "Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja," kata Mendikbud usai menjadi pembicara dalam pengajian untuk keluarga besar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada hari Ahad (7/8/2016). 

Gagasan tersebut menuai pro dan kontra di masyarakat, khususnya para orang tua dan pengamat pendidikan. Namun, tak lama sejak dikeluarkannya gagasan tersebut, beliau pun mencabut kembali gagasan tersebut akibat arus opini negatif yang terlanjur tersebar. Beliau menyampaikan, jika memang belum dapat dilaksanakan, beliau akan menarik rencana tersebut dan mencari pendekatan lain (Tempo, 9/8/2016). Inilah yang dikatakan dengan test the water dari suatu kebijakan. Rupanya gagasan tersebut masihlah ide yang belum matang dari Sang Menteri.

Latar belakang munculnya gagasan tersebut karena Mendikbud menilai pendidikan dasar dan menengah masih keteteran menghadapi pesatnya kemajuan zaman. Selain itu, pendidikan di Indonesia dianggap belum mampu menghasilkan lulusan yang tangguh dan berdaya saing tinggi (Republika, 7/8/2016). Sehingga beliau menilai dengan adanya gagasan FDS sebagai solusi membangun generasi berkualitas. Selain itu, restorasi pendidikan di jenjang SD dan SMP dibutuhkan karena termasuk tahapan pembentukan karakter. Beliau berharap, porsi untuk pendidikan dasar sebesar 70% pendidikan karakter 30% pendidikan pengetahuan. Sedangkan untuk sekolah menengah porsinya 60% untuk pendidikan karakter dan 40% untuk pendidikan pengetahuan (Tempo, 9/8/2016). Kesibukan orang tua yang bekerja dan tak sempat mengawasi akan berpotensi pada masuknya pengaruh-pengaruh buruk pada anak. Maka, gagasan FDS diharapkan mampu membendung pengaruh-pengaruh buruk tersebut (Republika, 7/8/2016).

Gagasan Mendikbud tersebut memang tak seharusnya langsung dipandang negatif. Gagasan tersebut muncul dari keinginan untuk melakukan perbaikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Namun, apabila kita amati lebih dalam penyebab digulirkannya gagasan FDS ini, maka akan kita dapati fokus utama gagasan tersebut adalah untuk menyelesaikan masalah orang tua (ayah dan ibu) yang bekerja seharian penuh sehingga tidak bisa mengawasi dan mendidik anak-anaknya. Harapannya, dengan FDS anak-anak tidak sendirian di luar dan tidak menjadi "liar" karena di sekolah mereka bisa mengerjakan tugas, bahkan mendapatkan pendidikan karakter. Mendikbud menyampaikan bahwa ukuran pendidikan karakter adalah kejujuran, toleransi, disiplin dan rasa cinta tanah air (Tempo, 9/8/2016).

Buruknya karakternya pelajar Indonesia telah menjadi perhatian utama yang melatar-belakangi gagasan ini. Menurut Kominfo setelah dilakukan riset kepada 1200 pelajar SMP dan SMA di 12 kota besar di Indonesia. Hasilnya mengejutkan, 97% pelajar Indonesia pernah dan suka membuka situs porno. Hal yang lebih mengerikan lagi, 61% diantaranya sudah melakukan hubungan intim di luar nikah (Islampos, 19/01/2015). Indonesia hanya menempati posisi ke 69 dari 127 negara dalam Indeks Pembangunan Pendidikan atau Education Development Index (EDI) dengan nilai 0,934 yang dikeluarkan oleh UNESCO dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011. Generasi muda kehilangan alasan menuntut ilmu yang sebenernya merupakan fitrah dari Sang Pencipta, yaitu sebagai makhluk pembelajar.

Tanggung jawab pendidikan bukan hanya tugas sekolah. Keluarga justru menjadi garda pertama dan utama dalam membangun karakter anak. Menurut Direktur Auladi Parenting School, Abah Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, salah satu penyebab utama anak-anak bermasalah itu adalah kurangnya pengaruh orang tua terhadap anak. Akibatnya anak akan lebih terpengaruh pihak lain yang belum tentu positif. Sistem kapitalisme telah banyak membuat banyak orangtua menghabiskan waktunya hanya untuk mengejar materi dan menitipkan tugas pendidikan hanya pada sekolah.

Sistem pendidikan di Indonesia yang lebih mengedepankan nilai intelektual tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual tentu menjadi penyebab munculnya krisis moral dari karakter pelajar negeri ini. Pendidikan yang tidak dipondasi dengan kematangan aqidah membuat generasi kehilangan panduan yang tepat dalam menjalankan setiap aktivitasnya. Kebebasan berpikir dan berpendapat justru menggiring pada liarnya generasi harapan ini.

Salahkah FDS?

Gagasan FDS bukanlah perkara logika biner. Bukan persoalan setuju atau tidak setuju. Karena buruknya pendidikan di negeri ini bukan hanya perkara kuantitas pertemuan atau kualitas alat penunjang pendidikan. Gagasan FDS juga bukan ide baru. Tidak sedikit sekolah di Indonesia yang telah menerapkan sistem FDS, baik yang berhasil menghantarkan kenyamanan siswa, tapi juga tidak sedikit yang berakhir pada ‘penjara’ bagi dunia siswa. Bahkan Islam pun sudah lama mengenal sistem FDS. Islamic Boarding school atau lebih dikenal dengan pesantren juga salah satu bentuk FDS yang sudah tidak asing bagi masyarakat.

Lalu, siapa yang salah? Adakah sekolah di Indonesia ini yang menyatakan bertujuan menghasilkan generasi rusak dan merusak?? Semua tujuan sekolah nampaknya hampir sama. Namun yang membedakan, sudah sesuaikan kurikulum tersebut terhadap fitrah manusia? Sesuaikan dengan tahapan perkembangan anak? Dan yang lebih penting lagi, sudah sesuaikan tujuan pendidikan dan kurikulum negeri ini dengan kehendak dari Sang Pencipta?

Sebuah ide atau gagasan yang terkait kebijakan pendidikan seharusnya berasal dari suatu pemikiran mendasar terkait penyebab terjadinya fakta tersebut. Ide dasar yang akan menggambarkan pelaksanaan dari ide tersebut berupa aturan atau sistem. Oleh karena itu, sistem pendidikan akan sangat mempengaruhi produk pendidikan tersebut. Sistem pendidikan memunculkan tujuan, kurikulum, sarana dan prasarana yang akan menunjang terlaksananya keberhasilan pendidikan. Relevansi solusi terhadap akar masalah yang dihadapi tidak terkait. FDS hanyalah solusi teknis yang tidak sampai pada akar masalah. Selama sistem pendidikan negeri ini masih berbasis kapitalis-sekularis, maka perbaikan karakter secara menyeluruh tidak akan pernah tercapai.

Adapun tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia yang berkepribadian Islam yang mencakup pola pikir dan pola sikap Islami. Kepribadian tersebut akan menghasilkan generasi yang jelas memahami pedoman dalam hidupnya. Standar perbuatannya bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah. Karena pendidikan yang diberikan berbasiskan aqidah. Mereka memahami darimana, untuk apa dan akan kemana arah kehidupan. Sehingga, setiap perbuatannya, termasuk menuntut ilmu, adalah buah dari konsekuensi keyakinan aqidah yang dimiliki. Tolak ukur keberhasilan pendidikan pun bukan sekedar mencetak generasi unggul secara intelektual semata, tapi seimbang dalam nilai spiritualnya. Peradaban emas haruslah bersumber dari generasi yang shalih dan cerdas karena menuntut ilmu berdasarkan pemahaman akan perintah Sang Pencipta. Hal ini terbukti ketika sistem pendidikan Islam diterapkan pada masa sistem pemerintahan Islam.

Namun, sistem pendidikan Islam harus ditopang oleh sistem-sistem lainnya, seperti sistem politik, ekonomi, muamalah (sosial) dan lain sebagainya. Semua sistem tersebut diatur dalam sistem Islam yang kaffah. Sebuah sistem yang berasal dari Sang Khaliq yang tentunya Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Wallahu’alam bishowab. [VM]

Posting Komentar untuk "Salahkah Full Day School (FDS)?"

close