Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ahok, Jokowi, Rakyat


Oleh : Endah Sulistiowati, SP. (MHTI Kediri)

Pilgub DKI memang masih 5 Februari 2017, terhitung 5 bulan lagi dari sekarang. Namun panasnya Ibu Kota terasa sampai ke ujung Indonesia. Apalagi sepak terjang gubernur Ahok yang aduhai bikin sesak dada, membuat suasana Ibu Kota semakin mencekam. Hari raya Idul Adha yang seharusnya penuh suka cita tidak mampu menutup pergolakan di Jantung Indonesia itu.

Apalagi apa yang dilakukan Ahok dimasa-masa terakhir kepemimpinannya sangat menyakitkan hati warga Jakarta. Penggusuran demi penggusuran dia lakukan tanpa belas kasih sama sekali. Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyebutkan, sepanjang 2015 saja, Ahok melakukan tidak kurang 113 penggusuran paksa. Jumlah korban yang terdampak oleh semua penggusuran itu mencapai 8.145 kepala keluarga (KK) dan 6.283 unit usaha. Para korban gusur paksa itu punya kesamaan nasib, tidak ada dialog dan sama sekali tidak memperoleh ganti rugi. Padahal, rata-rata mereka sudah tinggal di lokasi itu selama lebih dari 30 tahun.

Menggusur paksa permukiman rakyat kecil bagi Ahok sepertinya telah menjadi candu. Dia ketagihan. Bayangkan, pada 2016 ini, dia masih akan menggusur sekurangnya 325 lokasi lagi yang bakal kebagian keganasannya.

Mantan Bupati Belitung Timur ini juga tidak peduli walau harus menabrak rambu-rambu hukum. Pada kasus penghuni kampung Bukit Duri, Jakarta Timur, misalnya, Pemprov DKI Jakarta ngotot mengeluarkan surat peringatan kedua (SP) kedua, 7 September 2016 silam. Padahal, saat ini warga Bukit Duri sedang mengajukan gugatan perwakilan kelompok ( class action . jelas tindakan Pemprov DKI Jakarta ini merupakan bentuk penghinaan terhadap pengadilan dan proses hukum.

Sebelumnya Ketua Majelis Hakim yang memeriksa perkara gugatan class action warga Bukit Duri telah memerintahkan Pemprov DKI Jakarta menahan diri. Ahok dan jajarannya diminta tidak menggusur warga Bukit Duri selaku penggugat, hingga proses pemeriksaan perkara ini selesai.

Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, Ahok menegaskan akan lebih gila lagi melakukan penggusuran. Keruan saja, kelakuan yang benar-benar tidak masuk akal membuat Teman Ahok menjadi khawatir. Bagaimana tidak khawatir pilgub sudah di depan mata. Seharusnya Ahok memberikan citra yang positif dihadapan rakyat. Namun, sepertinya Ahok tidak peduli, baginya di era serba mahal ini apalah yang tidak bisa dibeli dengan uang. Jadi mudah saja baginya untuk menjadi gubernur DKI lagi asal ada uang ditangan. 

Ibarat permainan bola sodok, penggusuran bertubi-tubi dan brutal yang dilakukan Ahok akhirnya jadi masuk akal juga. Lewat ratusan penggusuran yang telah dilakukan dan ratusan lain berikutnya itu, sejatinya dia tengah mengirimkan pesan kepada para pengembang, bahwa pejabat telengas ini berada di pihak pengembang. "Ini lho buktinya sayakan lahan untuk mu belilah dengan harga murah", mungkin itu yang ada dalam benak Ahok.Ahok hadir dan menjadi gubernur memang untuk mengamankan kepentingan para pengembang yang selalu lapar lahan. Seiring dengan kian melambungnya harga tanah, pengembang tetap membutuhkan lahan untuk memenuhi syahwat bisnisnya. Sampai di sini kepentingan dua pihak ini bertemu. Sebagai pedagang, tentu mereka ingin memperoleh lahan dengan harga murah. Dengan hanya membiayai penggusuran plus uang sogok kepada penguasa, pengembang bisa memperoleh lahan dengan harga sangat murah. Inilah pengakuan yang dilakukan PT Agung Podomoro pada penggusuran paksa warga Kali Jodo seperti diakui Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.

Di sisi lain, sebagai politisi yang ingin terus mengenggam kekuasaan, Ahok butuh logistik yang amat besar. Dalam sistem demokrasi ugal-ugalan yang berkembang dan dikembangkan saat ini, Pilkada, Pileg, dan Pilpres telah menjadi hajatan yang sangat menguras tenaga dan dana. Pernyataan Ahok bahwa Jokowi tidak mungkin menjadi presiden tanpa bantuan para pengembang menjadi konfirmasi atas fakta tersebut.

Saat Pilkada DKI 2009 silam, pada putaran pertama hanya 1-2 taipan yang menyokong Jokowi, Walikota Solo yang diimpor Jakarta. Namun ketika putaran kedua, banyak konglomerat mulai merapat. Tapi karena Jokowi adalah new kid on the block , dia tidak kenal dengan seorangpun dari para taipan tersebut. Maka di sinilah Ahok sang Cawagub punya peran penting. Dialah yang menghubungkan Jokowi dengan mereka. Dia pula yang mengumpulkan gelontoran duit dari cukong-cukong beretnis Cina itu.

Setali tiga uang dengan mantan wagubnya, demikian juga yang dilakukan oleh Presiden ke 7 Republik Indonesia Joko Widodo, setelah reshuffle kabinet yang ke 2. Luhut Binsar Panjaitan adalah pendukung berat Jokowi, tanpa Luhut maka pemerintahan Jokowi akan pincang. Luhut dipasang untuk menggantikan Rizal Ramli. Luhut hanya bergeser dari Menko Polhukam ke Menko Maritim dan Sumber Daya. Penempatan ini, menurut Ustadz Ismail (Jubir HTI), untuk "memuluskan" proyek-proyek besar Presiden seperti Freeport, Pembangkit Listrik 35 ribu MW, Blok Marsela, Reklamasi Teluk Jakarta, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Tugas sebelumnya Luhut sebagai Menko Polhukam untuk menata Parpol yang dulu oposan agar bisa berbaris rapi mendukung pemerintah, sudah selesai. Sekarang sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya tugas Luhut adalah memastikan semua kepentingan Presiden Jokowi dalam proyek-proyek penting tadi tetap terjaga dan terlaksana.

Dalam proyek reklamasi misalnya, bagi para taipan pendukung Presiden maka proyek ini amat penting. Dengan hitungan kasar, andai saja hasil reklamasi teluk mencapai 3.500 hektar, dan 1000 hektar saja yang dijual, dan seandainya keuntungannya adalah 20juta/meter persegi, maka keuntungannya bisa mencapai 200 trilyun. Politik balas budi pun berlaku disini, sehingga dengan gagah berani Luhut pun sebagai kepanjangan tangan Presiden akan melanjutkan proyek lek panas teluk Jakarta ini, apapun yang terjadi. Meskipun Luhut dengan melanjutkan proyek reklamadi harus menabrak keputusan Majlis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN), yang telah mengabulkan gugatan para nelayan atas proyek reklamasi pulau G yang dilakukan oleh PT. Muara Wisesa Samudra dengan mengeluarkan putusan tetap (in kracht).  Kalaupun hal ini tetap dilanjutkan dan Presiden Jokowi diam saja, maka Presiden dan menterinya ini sudah melanggar konstitusi. Dan hal ini semakin meyakinkan rakyat bahwa Presiden dan jajaran pemerintah itu bukan berdiri dibelakang mereka, namun dibelakang para pengembang. 

Aktivis Malapetaka limabelas Januari (Malari) 1974, Salim Hutadjulu dalam akun facebooknya, "Sungguh ironis dan menjijikan rezim penguasa sekarang ini selalu berpihak kepada para cukong, pengmbang dan para taipan". 

Dengan begitu Ahok dan Jokowi memang sehati dan sepemikiran yang dibela pun sama yaitu para cukong, pengembang dan taipan. Dan yang menjadi musuh bersama Ahok-Jokowi adalah rakyat. Pemenangnya siapa? Pastilah Penguasa dengan tangan besinya, memang rakyat bisa apa? " Menangis, mengelus dada dan semakin merama". 

Sulitnya mencari sosok ideal kepala negara untuk mendedikasikan bagi perbaikan negeri ke arah yang lebih baik bukanlah semata-mata karena persoalan integritas individual dari para calon kepala negara, tetapi juga karena landasan ideologis dan sistem ketatanegaraan yang mendasari lahirnya para calon pemimpin itu sendiri. Landasan ideologis yang mengkooptasi sistem ketatanegaraan kita masih disangga oleh kapitalisme sekular dengan sistem demokrasinya.

Demokrasi adalah salah satu jalan untuk lahirnya pemimpin boneka asing. Karena untuk terpilih menjadi presiden dalam sistem demokrasi itu kan perlu modal besar untuk mendongkrak ketenaran agar dapat dipilih rakyat. Nah, yang bisa mendukung ke arah itu, bisa memberi modal atau pencitraan orang kan salah satunya adalah melalui modal dan pencitraan dari asing. Pendidikan dari asing, menjadi kader dan berkarier dengan asing.

Itu yang pertama. Yang kedua, proses menjadikan seseorang jadi boneka itu kan panjang, tidak serta merta jadi. Awalnya, bisa ditokohkan dari pemberian beasiswa, ditokohkan, diberi kedudukan, dimunculkan lewat media segala macam sehingga jadi terkenal. ketiadaan kepentingan nasional dan kemandirian kekuatan pertahanan keamanan. Maka  selama faktor itu tidak ada, hampir bisa dipastikan penguasa-penguasanya akan terus menjadi boneka atau yang dikendalikan oleh asing. [VM]

Posting Komentar untuk "Ahok, Jokowi, Rakyat"

close