Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyikapi Maraknya Gepeng


Oleh : Binti Istiqomah 
(pemerhati sosial)

Fenomena Gepeng (Gelandangan dan Pengemis) seolah tak pernah lepas dari pemberitaan. Meskipun berulang kali pemerintah melalui satpol PP maupun Polisi berusaha untuk mengurangi populasi Gepeng namun tetap saja jumlah Gepeng seperti tidak pernah berkurang bahkan cenderung bertambah. Di Jakarta – Orang tua yang harusnya menjadi pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya justru tega mengeksploitasi tiga anaknya yang salah satunya masih berusia enam bulan dengan memaksa menjadi pengemis. Tiga anak tersebut berhasil diselamatkan Polres Jakarta Selatan, yang kini berada di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur.(sisidunia.com 29/03/2016)

Di berbagai kota lainnya misalnya, kita dengan gampang bisa melihat kalau jumlah anjal dan gepeng terus meningkat. Mereka beroperasi di angkot-angkot, di persimpangan jalan, di pasar, lampu merah, dari rumah ke rumah, dll. Mungkin dalam sehari bisa lebih dari dua pengemis yang mendatangi rumah warga belum termasuk pengamen.

Timbulnya fenomena ini dipengaruhi aspek struktural problem, kultural problem, dan individual problem. Dilihat dari sisi struktural mereka melakukan profesi ini karena memang tidak ada cara lain untuk bisa survive. Karena itu, Pemerintah harus memperluas kesempatan kerja bagi warganya. 

Sedangkan dari sisi kultural, fenomena gepeng terjadi karena memang sudah membudaya di daerah asal gepeng tersebut.  Bahkan ditemukan ada suatu desa yang mayoritas warganya memang berprofesi sebagai pengemis.

Sementara itu dari sisi individual, fenomena gepeng masih marak karena disebabkan oleh mental individu yang malas bekerja dan lebih menikmati menjadi pengemis karena dirasakan lebih menguntungkan.  

Lebih prihatin lagi, jumlah anjal dan gepeng yang bertebaran di sepanjang Nusantara angkanya bukan menurun malah justru meningkat. Sejumlah pemerintah daerah yang kerap melakukan pendataan dan operasi penertiban mendapati warga yang terjun menjadi pengemis dan anjal terus bertambah meski berkali-kali ditertibkan. Meski menurut temuan mayoritas bukan warga asli, tapi pendatang.

Program penertiban anjal dan gepeng tidak membuahkan hasil. Karena selama ini pemerintah pusat dan daerah masih berfokus pada kuratif atau penanganan, bukan preventif atau pencegahan. Akar persoalan anjal dan gepeng justru tidak terpecahkan.

Maraknya pengemis baik yang sporadis ataupun terkoordinir, yang nyata karena kemiskinan atau karena unsur penipuan terjadi hanya dalam sistem kapitalisme. Di mana negara memberlakukan prinsip “survival of the fittest”, rakyat dibiarkan bertarung sendiri memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan negara hanya sebagai regulator yang minim campur tangan menolong hajat hidup rakyatnya sendiri. Sedangkan rakyatnya pun dibebani berbagai pungutan pajak yang memberatkan. Inilah rezim jibayah, penghisap darah rakyat, sekaligus mulkan jabariyyan, penguasa kejam yang menindas membiarkan rakyatnya sengsara.

Memenjarakan pengemis dan gelandangan jelas merupakan bentuk kriminalisasi terhadap keduanya. Pertayaannya, apakah memang mengemis dan menggelandang itu merupakan tindakan kriminal, sehingga harus dipenjarakan? Ini yang seharusnya dijawab terlebih dahulu. Jika tidak, maka masalah ini tidak akan bisa diselesaikan.

Mengemis, sebagai tindakan terpaksa untuk memenuhi hajat hidup jelas diperbolehkan, meski tidak terhormat. Bahkan, mereka mempunyai hak yang harus dihormati, tidak boleh dihina. Dalam hal ini, Islam mengajarkan:

 “Dan di dalam harta mereka itu terdapat hak bagi orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak mendapatkan bagian.” [Q.s. ad-Dzariyyat: 19] 

Artinya, di dalam setiap harta orang kaya, di situ ada hak bagi orang yang meminta, juga hak bagi orang yang tidak mendapatkan bagian. Dalam menjelaskan tafsir ayat ini, al-Qurthubi mengutip pendapat beberapa ulama’, di antaranya, Qatadah dan az-Zuhri. Menurut mereka, al-Mahrum, adalah orang yang menjaga kesucian dirinya, meski kesulitan ekonomi, tetap tidak mau mengeluh dan meminta-minta, sehingga orang tidak tahu, kalau dia sangat membutuhkan. Sedangkan as-Sa’il, menurut al-Qurthubi, orang yang meminta karena tidak ada [Lihat, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, tafsir Q.s. ad-Dzariyyat: 19].

Adapun gelandangan adalah mereka yang memang tidak mempunyai rumah. Mereka tinggal di jalan, di gerobak, di emper-emper toko, di bawah jembatan, dan sebagainya. Mereka belum tentu meminta-minta. Ada yang bekerja serabutan, menjadi pemulung dan kerja-kerja halal yang lainnya. Mereka bisa juga dimasukkan dalam ketegori al-Mahrum.

Gelandangan ini sebenarnya seperti pengemis, bahkan mungkin lebih sulit. Karena, boleh jadi pengemis ada yang mempunyai rumah, sedangkan gelandangan ini jelas tidak. Meski tidak semua gelandangan mau melakukan pekerjaan mengemis. Dalam konteks kebutuhan dasar, secara normal dua-duanya belum terpenuhi kebutuhannya, baik sandang, papan maupun pangan. Belum lagi, kesehatan, pendidikan dan keamanannya.

Kebutuhan pokok ini memang kewajiban yang harus dipenuhi pribadi, jika mampu. Jika tidak mampu, maka keluarga atau kerabatnya. Namun, jika semuanya tidak mampu, maka kewajiban ini menjadi kewajiban negara. Negara berkewajiban untuk membantu mereka, dengan menyediakan sandang, papan dan pangan yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka. Begitu juga, kesehatan, pendidikan dan keamanannya.

Di sinilah fungsi dan peranan negara. Dalam hal ini, negara benar-benar hadir untuk mengurusi urusan rakyatnya. Ini adalah kewajiban negara. Ini juga menjadi tujuan manusia bernegara. Jika tidak, maka adanya negara menjadi tidak ada artinya bagi mereka. Apalagi ketika negara sudah tidak memenuhi hak-hak mereka, negara malah mengkriminalisasi mereka. [VM]

Posting Komentar untuk "Menyikapi Maraknya Gepeng "

close