Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Amnesti Pajak Membela Konglomerat ?


Oleh : Emma Lucya F
(Penulis buku-buku Islami)

Presiden Jokowi pada 1 Juli 2016 lalu telah mengesahkan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty, yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR-RI pada Selasa (28/6) lalu, sebagai Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Amnesti Pajak berlaku sejak disahkan hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu: Periode I: Dari tanggal diundangkan hingga 30 September 2016, Periode II: Dari tanggal 1 Oktober 2016 hingga 31 Desember 2016, Periode III: Dari tanggal 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017.

Dalam UU itu ditegaskan, bahwa Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud, yaitu Wajib Pajak yang sedang: a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan; b. dalam proses peradilan; atau c. menjalani hukuman pidana, atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

“Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak,” bunyi Pasal 3 ayat (4) UU ini seperti dilansir laman Setkab.

Sementara tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di dalam wilayah NKRI atau Harta yang berada di luar wilayah NKRI yang dialihkan ke dalam wilayah NKRI dan diinvestasikan di dalam wilayah NKRI dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak dialihkan, adalah sebesar: 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak UU ini mulai berlaku;3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Adapun tarif Uang Tebusan atas Harta yang berada di luar wilayah NKRI dan tidak dialihkan ke dalam wilayah NKRI adalah sebesar: 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak UU ini mulai berlaku; 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak UU ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.

Tarif Uang Tebusan bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak Terakhir, menurut UU Nomor 11 Tahun 2016 ini, adalah sebesar: a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan, untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang ini mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017 (http://ekbis.sindonews.com/, 18/07/2016).
  
Sekilas Memahami Amnesti Pajak

Amnesti pajak adalah program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi penghapusan pajak yang seharusnya terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan (http://www.pajak.go.id/).

Definisi lain, amnesti pajak adalah penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif lebih rendah. Harapannya, dengan amnesti pajak, para penusaha yang menyimpan dana di luar negeri akan memindahkan dananya di Indonesia dan menjadi WP baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan pajak negara.

Siapa yang bisa memanfaatkan amnesti pajak? 

Yang dapat memanfaatkan kebijakan amnesti pajak adalah: 1) Wajib Pajak Orang Pribadi; 2) Wajib Pajak Badan; 3) Wajib Pajak yang bergerak di bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM) serta 4) Orang Pribadi atau Badan yang belum menjadi Wajib Pajak

Mengapa harus ikut amnesti pajak?

Berdasarkan sumber dari http://www.pajak.go.id/amnestipajak, disebutkan bahwa Kebijakan Amnesti Pajak adalah terobosan kebijakan yang didorong oleh semakin kecilnya kemungkinan untuk menyembunyikan kekayaan di luar wilayah NKRI karena semakin transparannya sektor keuangan global dan meningkatnya intensitas pertukaran informasi antarnegara. Kebijakan Amnesti Pajak juga tidak akan diberikan secara berkala. Setidaknya, hingga beberapa puluh tahun ke depan, kebijakan Amnesti Pajak tidak akan diberikan lagi.

Kebijakan Amnesti Pajak, dalam penjelasan umum UU Pengampunan Pajak, hendak diikuti dengan kebijakan lain seperti penegakan hukum yang lebih tegas dan penyempurnaan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, UU tentang Pajak Penghasilan, UU tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta kebijakan strategis lain di bidang perpajakan dan perbankan sehingga membuat ketidakpatuhan Wajib Pajak akan tergerus di kemudian hari melalui basis data kuat yang dihasilkan oleh pelaksanaan UU ini.

Ikut serta dalam Amnesti Pajak juga membantu Pemerintah mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; merupakan bagian dari reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Fasilitas

Fasilitas Amnesti Pajak yang akan didapat oleh Wajib Pajak yang mengikuti program Amnesti Pajak antara lain:
  1. penghapusan pajak yang seharusnya terutang (PPh dan PPN dan/atau PPn BM), sanksi administrasi, dan sanksi pidana, yang belum diterbitkan ketetapan pajaknya;
  2. penghapusan sanksi administrasi atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan;
  3. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
  4. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan
  5. penghapusan PPh Final atas pengalihan Harta berupa tanah dan/atau bangunan serta saham

Perjalanan Pemberlakuan Amnesti Pajak di Indonesia

Indonesia sudah dua kali gagal menerapkan tax amnesty atau pengampunan pajak. Yaitu, pada 1964 dan 1984. Pertama, pengampunan pajak dilaksanakan pada tahun 1964 melalui Penetapan Presiden RI No. 5 tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak yang kemudian secara berturut-turut diikuti Keppres No. 26 tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 345/KMK.04/1984 tentang Pelaksanaan Pengampunan Pajak jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 966/KMK.04/1983 tentang Faktor Penyessuaian Untuk Penghitungan Pajak Penghasilan.12 Namun efektifitas pelaksanaan tax amnesty tersebut masih rendah, efektifitas ini terukur dari rendahnya partisipasi peserta tax amnesty tersebut.

Ragimun, Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI, dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Implementasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Indonesia”  menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan Tax Amnesty tidak efektif karena wajib pajak kurang merespons dan tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh. Disamping itu peranan sektor pajak dalam sistem APBN masih berfungsi sebagai pelengkap saja sehingga pemerintah tidak mengupayakan lebih serius. Pada saat itu penerimaan negara banyak didominasi dari sektor ekspor minyak dan gas bumi. 

Menurutnya, implementasi tax amnesty maupun kebijakan lain yang serupa berupa Sunset Policy yang dilakukan pada tahun 2008, sekalipun secara psikologis, sangat tidak memihak pada wajib pajak yang selama ini taat membayar pajak. Meskipun program Sunset Policy yang diimplementasikan sepanjang tahun 2008 telah berhasil menambah jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP, bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT dan bertambahnya penerimaan PPh sebesar Rp7,46 triliun.

Di sisi lain, masih menurut Ragimun, kelemahan dari diterapkannya pengampunan pajak adalah tidak serta merta menjamin peningkatan kinerja setoran pajak ke kas negara. Hal ini bisa sebaliknya berpotensi terjadinya penyelewengan, manipulasi dan tindakan moral hazard lainnya. Para pengusaha yang memperoleh pemutihan pajak akan melakukan penggelapan kewajiban pajaknya. Kecuali bila diberlakukan pengampunan pajak bersyarat. Contohnya pengampunan pajak bersyarat, wajib pajak harus transparan terhadap aset-aset dan penghasilan mereka. Hal ini guna menghindari kekeliruan yang sama tahun 1984 tidak terulang kembali yaitu minimnya akses informasi terhadap masyarakat dan minimnya keterbukaan/transparansi serta sosialisasi kebijakan ini.

Terkait Skandal Pajak Panama Papers

Sekitar 800 nama pebisnis dan politikus Indonesia termasuk dalam daftar klien Mossack Fonseca, sebuah firma hukum asal Panama, yang kemarin bocor. Mossack, yang memiliki lebih dari 30 kantor cabang di seluruh dunia, menawarkan jasa membuat perusahaan di yurisdiksi bebas pajak, seperti British Virgin Islands, dan bisa menyamarkan kepemilikan perusahaan offshore kliennya agar tak mudah dilacak. Selain mencantumkan nama-nama asal Indonesia, dokumen finansial itu memuat sejumlah kepala negara (mantan dan yang masih menjabat), pebisnis internasional, dan tokoh dunia. Mereka masuk dalam daftar itu karena pernah menyewa Mossack Fonseca untuk mendirikan perusahaan di yuridiksi bebas pajak di luar negeri (offshore). Bocoran dokumen yang kini dikenal sebagai The Panama Papers itu kemarin dipublikasikan secara serentak oleh 100 media di seluruh dunia Presiden Jokowi mengatakan, Panama Papers berkaitan dengan kebijakan pengampunan pajak yang diusulkan pemerintah (m.tempo.co, 06/04/2016).

Poin Kunci tentang Amnesti Pajak

Ada beberapa poin yang patut kita soroti dari kebijakan Amnesti Pajak. 

Pertama, jumlah dana segar yang diharapkan pemerintah dari Amnesti Pajak sebesar Rp165 triliun. Padahal estimasi total asset WNI di luar negeri yang akan ditarik ke Indonesia sebesar Rp 11.400 triliun. Jadi, angka Rp165 triliun terlalu kecil. Kalau cuma ingin mendapatkan Rp165 triliun, tidak harus dengan Amnesti Pajak yang sangat kontroversial dan cenderung tidak memihak rakyat kecil. Hal ini karena tarif pajak Cuma 2-5% dari total asset yang dimiliki konglomerat-konglomerat itu. Hal ini rawan sekali terhadap adanya persekongkolan antara konglomerat dengan oknum pejabat nakal (baca: penguasa).

Kedua, sifat Tax Amnesty Secrecy (rahasia). Jadi masyarakat tidak boleh mengetahui siapa saja yang masuk dalam daftar Tax Amnesty dan berapa jumlah aset mereka. Bahkan yang berani membocorkan data ini akan dikenai sanksi penjara selama 5 (lima) tahun. Hal ini bisa memicu terjadinya kongkalikong antara konglomerat dengan petugas pajak nakal. Angka-angka besaran tebusan pajak bisa dimanipulasi dengan sangat mudah. 

Ketiga, kebijakan ini sangat tidak populis dan memarjinalkan rakyat yang patuh membayar pajak. Selama ini rakyat dikejar-kejar untuk segera membayar pajak tepat waktu, kalau tidak membayar pajak akan dikenai denda. Namun kenapa justru para konglomerat, dengan amnesti pajak ini seakan tidak masalah tidak membayar pajak. Dalam UU Amnesti Pajak Nomor 11 Tahun 2016, yang dimaksud dengan Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan bahkan menghapus sanksi pidana di bidang perpajakan, hanya dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan. Atau dalam istilah lain disebut Pemutihan. Ini sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan sifat dari pajak sendiri yaitu memaksa, bukan “mengampuni”.

Keempat, jangka waktu antara penggodokan materi UU Pengampunan Pajak dengan tanggal pengesahannya sangatlah cepat. Pembahasan di DPR dimulai sekitar akhir Mei 2016 dan telah tuntas pada akhir Juni 2016. Waktu yang relatif sangat singkat dibandingkan penggodokan UU yang lain. Ada apa dan untuk kepentingan siapa?

Kelima, adanya bahaya money laundry atau pencucian uang dan harta hasil korupsi atau penyelewangan dana negara lainnya. Apalagi salah satu fasilitas bagi Wajib Pajak yang mengikuti program Amnesti Pajak adalah tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Ini jelas-jelas membahayakan. 

Keenam, terkait kasus orang-orang yang masuk dalam daftar kasus Panama Papers. Produk UU Pengampunan Pajak sarat kepentingan para pengusaha (kapitalis) dan politikus konglomerat.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[VM]

Posting Komentar untuk "Amnesti Pajak Membela Konglomerat ?"

close