Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Atas Gaduh, Bawah Ricuh


Oleh : Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Demokratisasi di Indonesia menjadi gambaran buruk dan bencana besar bagi negeri ini. Meski beragam pujian dan sanjungan dari dunia internasional bahwa Indonesia negeri muslim terbesar yang mampu menyandingkan Islam dan demokrasi. Bukti yang tidak dapat disangkal lagi bahwa rakyat Indonesia sama sekali terpisah dengan negara dan pemerintahannya. Hubungan rakyat dengan penguasa mirip dengan hubungan dua pihak yang terpisah dan berbeda satu dengan lain, bukan layaknya warga negara dan negaranya.

Lebih jauh lagi, hubungan itu seringkali penuh dengan kebencian, konflik, dan pertentangan. Tidak ada upaya pendekatan antara satu dengan yang lain, baik untuk kepentingan masa kini atau untuk mengantisipasi kondisi di masa yang akan datang. Hal ini menyebabkan lemahnya eksistensi rakyat karena tanpa perlindungan negara. Di lain pihak, negara tanpa dukungan rakyat akan menjadi lemah sehingga musuh mudah menyingkirnkan dan menjadikan negara bergantung pada bantuan dari musuh-musuh umat.

Gaduh dan Ricuh

Gaduh dalam pemerintahan tampak sekali dimulai sebelum rezim Jokowi-JK terpilih. Jusuf Kalla pernah berujar “Hancur negeri ini jika dipimpin Jokowi”. Suatu nada yang mirip “hate speach” (ujaran kebencian), namun tidak masuk delik aduan. Mirisnya, ungkapan itu ditelan mentah-mentah dengan menjadikan diri sebagai wakilnya. Hukum premis dalam kalimat pun berlaku: ‘jika pemimpinnya mampu membuat hancur, maka wakilnya mendukung kehancuran.’ Sesederhana itu!

Kebijakan Tax Amnesty yang digagas Jokowi tak luput pula dari sorotan JK. Ungkapnya ‘sosialisasi tax amnesty tidak jelas dan targetnya terlalu tinggi’. Belum lagi gaduh keterpilihan Archandra Tahar sebagai menteri ESDM. Kemudian Luhut B. Panjaitan dipilih sebagai Plt Mentri ESDM yang sekaligus menggantikan Rizal Ramli. Malahan Luhut akan mengundang investor China untuk mengelola lautan Indonesia.

Gaduh dan ketidakharmonisan di lingkaran kekuasaan sejatinya menunjukan bahwa pemerintah sibuk menyelamatkan kursi kekuasaannya. Meskipun itu harus meminta bantuan dan dukungan dari negara-negara asing. Pertentangan itu juga mengakibatkan pemerintah tidak berupaya meningkatkan kehidupa umat, kecuali dengan selubung kemanisan janji yang tak terbukti. Penguasa justru mengunakan segala macam cara untuk memelihara umat tetap dalam kejumudan dan lemah, agar mereka tetap dalam kendali negara.

Untuk itulah dibuat skenario ricuh di lapisan bawah umat. Isu yang dilontarkan berupa konflik sosial, konflik keagamaan, terorisme-radikalisme, dan isu murahan seperti anti-pancasila dan NKRI. Rakyat yang sudah hidup dalam kesengsaraan diseret dalam arus konflik sesamanya. Akibatnya rakyat tak sempat berfikir untuk melakukan koreksi kepada penguasa. Ketika uSmber Dayam Alam, rakyat mendiamkannya. Ketika kapitalisasi atas nama investasi, rakyat tak tahu tujuannya. Rakyat mudah tersulut amarah. Tidak tahu mana kawan dan mana lawan. Sikut-menyikut bukan barang baru. Kondisi itu diperparah lagi dengan kemunculan orang pragmatis dan partisan. Mereka menghamba kepada penguasa untuk mendapatkan remah-remah dan recehan atas nama proyek. Naif!

Oleh karenanya, setiap hari rakyat negeri ini disuguhi dengan drama dan tontonan yang menjemukan. Rakyat akhirnya muak dan diam melihat kebodohan dalam kehidupan. Penguasa sendiri akhirnya berpikir sederhana keluar dari masalah. Jargon pegadaian “MENGATASI MASALAH TANPA MASALAH” akhirnya dipilih. Buktinya negeri ini digadaikan kepada asing, swasta, dan bancakan koleganya. Sementara itu, rakyat akan terus dalam kebekuan dan kejumudan dalam sistem demokrasi ini. Atas gaduh mengamankan kekuasaanya, bawah ricuh konflik antar sesama. Indonesia menuju Negara Ketidaksatuan di Republik Ini. Masihkah kita diam dan tidak melakukan perubahan? Tidakkah kita mengingkan satu intitusi yang mampu menjamin pengaturan rakyatnya dengan amanah dari Allah Swt? Cepat atau lambat, rezim-rezim pelupa itu akan mengubur dirinya sendiri. [VM]

Posting Komentar untuk "Atas Gaduh, Bawah Ricuh"

close