Haji dan Kurban: Totalitas Ketaatan Kepada Allah SWT
Ada dua peristiwa besar pada bulan Dzulhijjah ini. Pertama: Ibadah haji, yang puncaknya adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Kedua: Penyembelihan hewan kurban, yang dimulai tanggal 10 Dzulhijjah. Pada hari inilah seluruh jamaah haji di Tanah Suci maupun umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha.
Berkaitan dengan ibadah haji setidaknya ada satu hikmah berharga yang bisa kita petik. Ibadah haji—seperti halnya shalat, shaum dan ibadah-ibadah ritual lainnya—sesungguhnya mengajarkan satu hal: kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT. Betapa tidak. Seorang Muslim, yang mungkin terbiasa berpakaian bagus dan mahal di negerinya, saat menjalankan ritual haji di Tanah Suci, rela dan pasrah untuk hanya mengenakan pakaian ihram yang sederhana dan bahkan tak berjahit. Saat itu ia meninggalkan semua kemewahan duniawi. Ia juga, yang di negerinya mungkin terbiasa berkendaraan mewah dan ber-AC, saat berhaji rela dan pasrah berjalan kaki atau berlari-lari ketika tawaf atau sa’i di tengah terik matahari yang menyengat. Ia juga, yang mungkin terbiasa hidup serba nyaman, saat berhaji rela dan pasrah untuk ikut berdesak-desakan dengan jamaah haji lainnya saat melempar jumrah atau sekadar untuk mencium Hajar Aswad.
Pertanyaannya: Lalu bagaimana sikap mereka di luar ibadah haji? Sayang seribu kali sayang. Kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT sering tidak muncul pada sebagian mereka di luar ibadah haji. Kita, misalnya, masih sering menyaksikan sebagian kaum Muslim yang tak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah mengharamkan riba. Bagi sebagian Muslim, muamalah ribawi yang melibatkan perbankan, asuransi lembaga leasing atau yang serupa bahkan seolah menjadi kebutuhan dan gaya hidup. Yang lebih parah, Pemerintah adalah pelaku riba terbesar. Bagaimana tidak? Penguasa negeri ini terus menumpuk utang luar negeri berbasis riba dengan bunga yang sangat tinggi. Bank Indonesia (BI) meliris bahwa pada Triwulan II tahun ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 4.281 triliun (Tempo.co, 23/8/2016).
Tahun ini pula Pemerintah harus membayar cicilan bunga utang sebesar Rp 191,2 triliun dan tahun depan Rp 221,4 triliun (Detik.com, 18/8/206). Tentu, itu belum termasuk cicilan pokoknya. Padahal jelas, riba haram dan termasuk dosa besar. Allah SWT bahkan telah mengancam pelakunya dengan ancaman keras (QS al-Baqarah [2]: 275, 278-279). Rasulullah juga tegas menyatakan:
«دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِيْنَ زَنِيَّةً»
Satu dirham yang dinikmati seseorang, sementara dia tahu, adalah lebih besar (dosanya) daripada 36 kali zina (HR ad-Daruquthni, ath-Thabrani dan al-Haitsami).
Zina adalah dosa besar. Pelakunya layak dihukum cambuk 100 kali atau dirajam sampai mati. Namun, riba ternyata jauh lebih besar dosanya daripada zina. Jika satu dirham (sekitar Rp 60 ribu) harta riba dosanya lebih besar daripada 36 kali zina, tentu tak terbayangkan dosa dari harta riba sebanyak ratusan bahkan ribuan triliun rupiah.
Berbeda dengan saat ibadah haji, kita pun masih sering menemukan sebagian kaum Muslimah yang tidak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah mewajibkan mereka untuk menutup aurat dan berjilbab ketika keluar rumah. Kita masih menyaksikan sebagian Muslim yang mengkonsumsi miras dan narkoba, berjudi dan berselingkuh/main perempuan. Bahkan pergaulan bebas alias zina telah merebak di kalangan remaja. Berdasarkan data BKKBN tahun 2014 saja, 46 persen remaja berusia 15-19 tahun sudah berhubungan seks di luar nikah (zina) (Bkkbn.go.id, 12/8/2014). Padahal jelas, zina termasuk dosa besar yang wajib dijauhi (QS al-Isra’ [17]: 32).
Jika sudah begini, siap-siaplah bangsa ini menghadapi azab Allah SWT, sebagaimana telah diisyaratkan Bagi Nabi Muhammad saw.:
«إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَ الرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ»
Jika zina dan riba telah merajalela di suatu negeri, berarti penduduknya telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka (HR al-Baihaqi).
Kita pun sering menjumpai para penguasa dan para pejabat yang tidak bersikap pasrah, tunduk dan taat kepada Allah SWT yang telah melarang mereka untuk korupsi. Mereka pun berkali-kali berbohong, melanggar janji dan menipu rakyatnya sendiri. Bahkan mereka tega menzalimi bangsanya sendiri, di antaranya dengan pajak yang berlipat-lipat. Padahal Baginda Rasulullah saw. telah bersabda:
«مَا مِنْ رَجُلٍ يَسْتَرْعَى رَعِيَّةً يَمُوْتُ حَيْنَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ اِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seseorang diangkat untuk mengurus rakyat, lalu mati, sementara ia menipu (menzalimi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari).
Betapa penguasa dan para elit wakil rakyat pun hingga saat ini tetap menolak untuk menerapkan syariah Islam secara formal dalam kehidupan bernegara. Padahal Allah SWT telah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً﴾
Hai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total (QS al-Baqarah [2]: 208).
Di dalam tasfirnya, Aysar at-Tafâsîr, Imam al-Jazairi menyatakan bahwa kata kaffat[an] dalam ayat di atas bermakna jâmi’[‘an]. Karena itu, kata Imam al-Jazairi, tidak boleh sedikit pun kaum Muslim meninggalkan syariah dan hukum-hukum Islam.
Yang tak kalah mengherankan, ada di antara mereka yang digelari ulama, kiai, ustadz atau tokoh agama menghalalkan sesuatu yang nyata-nyata telah Allah SWT haramkan. Misalnya, mereka tanpa malu-malu menghalalkan kepemimpinan orang-orang kafir atas kaum Mukmin. Padahal tegas Allah SWT telah menyatakan keharaman kaum Mukmin mengangkat orang kafir menjadi pemimpin mereka (Lihat, antara lain: QS al-Maidah [5]: 51).
Pada saat yang sama ada di antara mereka yang digelari ulama, kiai, ustadz atau tokoh agama malah menolak dengan keras kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, dengan berbagai alasan. Di antaranya, menurut mereka, Khilafah tidak wajib ditegakkan. Padahal kewajiban menegakkan Khilafah bukan saja telah menjadi Ijmak Sahabat, tetapi juga telah menjadi Ijmak ulama. Saat menafsirkan kalimat ”Innî Jâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah” (QS al-Baqarah [2]: 20), Imam al-Qurthubi di dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menyatakan, ”Mengangkat imam (khalifah)—yakni menegakkan Khilafah, red.—adalah wajib. Tak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) tentang kewajiban mengangkat imam (khalifah) ini di kalangan umat Islam dan para imam mazhab, kecuali yang diriwayatkan dari al-’Asham.”
Imam al-Jaziri, di dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah, juga menyatakan hal serupa. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim pun menegaskan hal yang sama. Bahkan menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami di dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25), para Sahabat telah menjadikan upaya menegakkan Khilafah sebagai ahammi al-wâjibât (kewajiban paling penting).
Selain menolak kewajiban menegakkan Khilafah, mereka pun berdalih bahwa jika ditegakkan Khilafah bisa memecah-belah, mengancam negara, dll. Tuduhan tersebut tentu saja tuduhan palsu tanpa bukti.
Anehnya, mereka buta terhadap sekularisme dengan neoliberalismenya, yang nyata-nyata telah merusak dan membangkrutkan negeri ini. Mereka pun seolah menutup mata bahaya neoimperialisme yang dilancarkan negara-negara kafir penjajah, khususnya Amerika, Eropa dan Cina, melalui instrumen utang luar negeri, investasi asing, pasar bebas, dll. Faktanya, akibat neoliberalisme dan neoimperalisme, sebagian besar tanah dan air kita telah dikuasai asing; demikian pula sebagian besar kekayaan negeri ini. Menurut Data Litbang Kompas 2011, hingga tahun 2011 saja, asing telah menguasai: 70% tambang migas; 75% batubara, bouksit, nikel dan timah;’ 85% tembaga dan emas; dan 40% perkebunan sawit dari total 8,5 juta hektar.
Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber keayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah. Di antaranya hadis penuturan Abyadh bin Ahmmal. Disebutkan bahwa ia pernah meminta tambang garam kepada Nabi saw. di daerah Ma’rib. Awalnya Nabi saw. hendak memberikan tambang garam itu kepada dirinya. Namun, seseorang berkata, ”Tambang garam itu seperti air yang mengalir (berlimpah, red.).” Seketika Nabi saw. pun menolak untuk memberikan tambang garam itu kepada Abyadh (HR al-Baihaqi, ad-Daruquthni dan ad-Darimi).
Sementara itu, terkait dengan ritual penyembelihan hewan kurban pada Hari Raya Idul Adha ini, kita selalu diingatkan kisah tentang ketundukan Nabi Ibrahim as. dan putranya, Nabi Ismail as., dalam menjalankan perintah Allah SWT. Ibrahim rela kehilangan putranya. Ismail tak keberatan kehilangan nyawanya. Tentu kepasrahan, ketundukan, ketaatan dan pengorbanan mereka seharusnya menjadi teladan bagi kita.
Sebagaimana Nabi Ibrahim as., kita pun menerima berbagai kewajiban yang harus dikerjakan. Di antara kewajiban itu adalah menerapkan syariah Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan kita; meliputi ibadah ritual, makanan, pakaian dan akhlak; juga meliputi sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem hukum dan peradilan, sistem pendidikan, politik luar negeri, dsb. Keseluruhan syariah itu wajib kita terapkan. Tak boleh ada yang diabaikan, ditelantarkan, apalagi didustakan, karena hal itu hanya akan mengantarkan kita pada kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 85).
Berdasarkan fakta itu, jelas keberadaan negara yang menjalankan syariah Allah SWT menjadi wajib. Sebab, tanpa adanya negara, yakni Khilafah, niscaya sebagian besar syariah akan tetap terlantar sebagaimana saat ini.
Alhasil, jika hikmah (pelajaran) dari haji dan kurban adalah kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kepada Allah SWT, maka semua itu harus juga diwujudkan di dalam kehidupan nyata di luar haji dan kurban.
Untuk itu, mari kita buktikan kepasrahan, ketundukan dan ketaatan total kita kepada Allah SWT itu dengan sama-sama berjuang menerapkan syariah-Nya secara kaffâh dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ’ala Minhâj an-Nubuwwah. [VM] [Al-Islam No. 821, 7 Dzulhijjah 1437 H/9 September 2016]
Posting Komentar untuk "Haji dan Kurban: Totalitas Ketaatan Kepada Allah SWT"