Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Darurat Korupsi


Oleh : Endah Sulistiowati, SP. 
(Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kediri)

Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ke tiga di dunia. Bahkan saking demokrasinya, Indonesia pernah meraih Demoracy Award dari Asosiasi Internasional Konsultan Politik cIAPc/Internatioanal Association of Political consultant) organisasi profesi yang memperjuangkan demokrasi. Seharusnya, jika yang menjadi ukuran adalah demokratisasinya, maka Indonesia menempati kesejahteraan lebih baik sehingga masyarakatnya lebih bahagia. Tapi, fakta berbicara sebaliknya.  

Fakta menunjukkan demokrasi diperalat oleh kelompok elite masyarakat celite wakil rakyat, para elite parpol dan para elite pemilik modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan rakyat bahkan menindas mereka. Hal tersebut wajar saja, karena dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu kebijakan. Sejarah Amerika Serikat cAS) sebagai kampium demokrasi menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln c1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Namun hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS RutherFord B Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di AS pada tahun itu adalah; “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan, dan untuk perusahaan). 

Muhammad Hatta Taliwang dari Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta menyampaikan, “terpilihnya Jokowi merupakan output dari sistem juga. Kalau tidak ada kelompok-kelompok pemodal, tidak mungkin orang sekelas Jokowi bisa tampil menjadi presiden tanpa ada modal besar dari kelompok-kelompok besar. Itu yang saya sebut ada operasi untuk intelijen, operasi untuk intelektual, ada operasi untuk media massa, ada operasi untuk partai, ada operasi untuk LSM dan lain-lain. Sistem itulah yang mengatur kita sekarang”.

Kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus disorot publik. Banyak orang tak puas dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh lembaga tersebut. Sebagian menyebut, KPK sedang tebang pilih dalam menangani kasus. Kritikan ini tidak salah. Kasus-kasus besar yang mencuat dipermukaan, berhenti ditengah jalan. Skandal Bank century, tidak pernah menyentuh orang yang paling bertanggung jawab, mantan Wakil Presiden Budiono. Demikian juga kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), padahal banyak pihak mengatakan bahwa fakta hukumnya telah jelas. Dalam kasus Budi Gunawan, seolah KPK tidak mampu menangani kasus tersebut, sehingga kasus tersebut dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Kemudian soal bus Trans Jakarta yang bernilai trilyunan, KPK dibawah Abraham Samad tidak mau menangani. Kasusnya juga dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, dan Kejaksaan Agung hanya menjadikan Udar Pristono (Kadishub DKI) sebagai tersangka, tanpa pernah memeriksa Jokowi dan Ahok sebagai saksinya.

Setali tiga uang alias sama saja untuk masalah korupsi yang terjadi di daerah, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapati 54 rekening gendut milik kepala daerah, yang didalamnya juga turut melibatkan keluarga. Berdasarkan hasil analisis, terdapat 26 Bupati yang memiliki nilai rekening lebih dari RP. 1 triliun dan 12 Gubernur dengan kepemilikan uang di atas 100 miliar. “tentu jumlah uang itu tidak sesuai dengan gaji yang mereka dapat. Ini sungguh mencurigakan”, seperti yang dikatakan Kepala PPATK Muhammad Yusuf. (cNN Indonesia,31/12/2014.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus menghentikan silat lidahnya di ranah publik, dan segera melangkah ke jalur hukum terkait dua skandal korupsi besar, pembelian lahan RS Sumber Waras dan reklamasi Teluk Jakarta, yang patut dapat diduga melibatkan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias A Hok. Hal ini disampaikan koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB.) Adhie M Massardi kepada wartawan di Jakarta (22/6).

Menurut Adhie, kalau pimpinan KPK yang sekarang ini memahami logika korupsi yang sebenarnya sederhana, dan tidak bermain api (politik), dua skandal korupsi yang terindikasi melibatkan A Hok ini dengan mudah lekas diproses dan dibawa ke pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi).

Adhie menjelaskan, ada tiga unsur penting dalam tipikor: (1) memperkaya diri, (2) memperkaya/menguntungkan orang lain, dan (3) menyalahgunakan jabatan/kewenangan. “Fakta yang ada di KPK dalam kasus korupsi reklamasi Teluk Jakarta sudah sempurna. Memenuhi ketiga unsur korupsi di atas. Ada penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara pemerintahan provinsi DKI. Ada pihak lain (pengembang) yang diuntungkan. Ada suap (memperkaya diri), salah satu anggota DPRD DKI M Sanusi yang tertangkap KPK dalam OTT.”

Maraknya korupsi ini tidak lepas dari sistem rusak yang diterapkan di negeri ini. Korupsi kian marak di alam demokrasi karena mahalnya biaya demokrasi serta tata laksana pemerintahan sangat memberi ruang bagi terjadinya korupsi. Pada pilkada serentak 2015, politik uang masih banyak ditemukan dan ini yang menjadi penyebab biaya Pilkada oleh calon Kepala Daerah menjadi sangat besar. Hasil Kajian Litbang Kemendagri menunjukkan bahwa untuk menjadi Walikota/Bupati dibutuhkan biaya menapai 20-30 milyar, sementara untuk menjadi Gubernur berkisar 20-100 milyar. Hal yang sama diungkapkan oleh Dadang S. Mohtar (mantan Bupati Karawang), bahwa untuk menjadi Bupati di Pulau Jawa biaya politik yang harus dikeluarkan menapai 100 milyar. Besaran biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon Kepala Daerah. Berdasarkan laporan LHKPN, rata-rata total harta kekayaan calon Kepala Daerah hanya mencapai Rp. 6,7 milyar. Bahkan terdapat 3 orang memiliki harta Rp.0, dan 18 orang lainnya memiliki harta negatif.  

Maka kesimpulannya semua biaya Pilkada “lebih besar pasak dari pada tiang”, para calon Kepala Daerah butuh dana segar untuk menuju kekursi kekuasaan. Dana segar itu tidak gratis. Harus ada kompensasi yang harus dibayar kepada para pengucur dana, dan para Kepala Daerah juga butuh keuntungan sehingga gayung pun bersambut, korupsi (dengan cara apapun) harus dilakukan. 

Ada sedikit telihat beda antara kasus yang terjadi di Pusat dan kasus yang terjadi di Daerah, yang berbeda adalah kepentingan. Karena semua sudah masuk pada ranah Politik Kepentingan. Meskipun KPK sendiri tidak mau dituduh sebagai alat politik dalam melakukan penyidikan dan melakukan tebang pilih kasus. Mantan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi menyebut, soal tebang pilih itu sebagai persepsi. Menurutnya KPK tidak mungkin menangani semua perkara korupsi di Indonesia. Ia mengungkapkan, sumber daya manusi KPK terbatas, padahal laporan yang masuk dari 2005 sampai 2015 sudah lebih dari 65.000 laporan. Dari sekitar 1.100 orang dan pegawai, yang menangani penindakan sekitar 30%. Sedangkan penyidiknya hanya 65 orang atau hanya sekelas dengan jumlah penyidik yang dimiliki satu Polres. Padahal jangkauan tugas KPK membentang dari Sabang sampai Merauke. “Sehingga penanganan perkara tidak semua bisa ditangani KPK,” jelas Johan. 

Seharusnya keluhan dari KPK seperti diatas harus segera ditindak lanjuti bukan malah semakin memperlemah posisi KPK, karena korupsi sudah ibarat sel kanker yang ada dikaki terus menggerogoti tubuh Indonesia, sehingga kalau tidak segara diamputasi maka akan terus menjalar ke bagian tubuh yang lain dan hasilnya bisa diprediksi bahwa Indonesia akan hancur dan mati. Dari dalam digerogoti kanker dari luar diserang dan dikuasai investor, lengkap sudah penderitaan rakyat Indonesia. 

Setidaknya ada enam langkah yang perlu dicoba untuk mencegah korupsi, seperti yang disampaikan oleh Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) M. Ismail Yusanto : 1. Sistem penggajian yang layak, sehingga para pegawai pemerintah tidak sibuk untuk mencari ceperan demi menghidupi keluarganya. 2. Larangan menerima suap dan hadiah bagi aparat pemerintah. 3. Perhitungan kekayaan, mulai awal menjabat secara berkala sampai pensiun. 4. Teladan para pemimpin. 5. Hukuman setimpal yang memberikan efek jera dan kapok bagi koruptor. 6. Ketakawaan individu dan kontrol dari masyarakat. Wallahu ‘alam bishowab. [VM]

Posting Komentar untuk "Indonesia Darurat Korupsi"

close