Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Warung Pangkon: Fenomena Liberalisasi Kehidupan


Oleh : M Atekan 
(Lajnah Siyasiyah HTI Lamongan)

“Ngopi dhisik, ben padang lan gak salah paham.” Ungkapan itu marak di kalangan pecinta kopi dan kehidupan warung. Istilah NGOPI pun bermetamorfosa dengan banyak singkatan. Tampaknya menyeruput kopi dan warung sudah menjadi darah daging masyarakat. Terlebih di Lamongan dan wilayah Jawa Timur lainnya.
 
Ada fenomena unik di antara penyebutan warung kopi. Salah satunya, istilah WARUNG PANGKON. Pasar Agrobis Semando Babat yang sebelumnya terdapat lebih dari 20 warung remang-remang atau warung pangkon, kini mulai berkurang. Pasar Agrobis sebelumnya sepi. Sehingga, jarang sekali pegadang yang mau menyewa kios. Karena kios-kios saat itu sepi, maka ada penawaran sejumlah warga untuk digunakan warung kopi. Agar lebih menarik pengunjung, warung-warung itu dilengkapi karyawan perempuan yang masih muda. 

Sementara itu, Kepala UP Pasar Agrobis Semando Babat Aji Purnomo menilai saat ini keberadaan warung remang-remang sudah mulai berkurang. Ke depan, pasar akan kembali sesuai peruntukannya. Yakni untuk pusat jual beli sayur dan buah. ‘’Sudah mulai bergesar, kini jumlahnya mulai berkurang,’’ klaim Aji Purnomo. Dia menuturkan, Blok-J yang sebelumnya ditempati warung kopi kini mulai ditempati pedagang buah dan sayur. ‘’Pelan-pelan akan hilang,’’ katanya. 

Dia menambahkan, keberadaan warung yang cenderung terdapat pramusaji perempuan muda dan identik berdandan seksi itu bermula dari tidak ditempatinya kios yang berada di ujung utara pasar setempat itu. Kios tersebut kemudian disewa oleh pihak ketiga untuk dijadikan warung kopi yang beroperasi hanya malam hingga dinihari. Sebab, pasar tersebut lebih ramai di malam hari (http://radarbojonegoro.jawapos.com/read/2016/09/20/3015/kios-tak-diperpanjang-warung-pangkon-pindah/)

Akibat Liberalisasi Kehidupan

Menanggapi fenomena itu, Taufik, aktifis Hizbut Tahrir di Babat menjelaskan bahwa “warung pangkon merupakan bukti buah busuh dari tatanan kehidupan yang bersumber dari sekularisme.” Jelas sekali sekularisme yang menjauhkan tatanan nilai agama dan budi pekerti dari kehidupan, dan menjadikan kebebasan sebagai tujuan. Standar masyarakat kini “asal hati senang, halal atau haram bukan urusan”. Dalam mencari peruntungan dalam dunia bisnispun, hal-hal yang dilarang pun dihalalkan. Sebagaimana warung pangkon yang menyajikan pramusaji muda dan cantik untuk memikat pelanggan. Perempuan yang seharusnya mulia, dalam sistem sekularisme, dieksploitasi dan dihinakan kedudukannya. Keuntungan bisnis menjadi segala-galanya. Meski merusak akhlak manusia.

Ada pula peristiwa tragis di beberapa warung pangkon sebagaimana penuturan beberapa orang. Misalnya, pengunjung rela menghabiskan uang berapa pun bahkan ada yang menjual harta benda demi bertemu dengan pramusaji yang ditaksir. Sempat pula seseorang ada yang mengajak menikah pramusaji. Lantas pramusaji berujar,”Saya kan sudah dijamah banyak orang. Apakah kamu mau?”. Menanggapi hal itu pengunjung laki-laki menjawab enteng,”itu kan sekarang. Jika nanti kamu sudah menikah denganku. Maka kamu menjadi milikku semata”. Sempat pula, ada seorang istri yang melabrak suaminya ketika berada di warung pangkon. Sungguh ini gambaran rusaknya kehidupan sosial di tengah masyarakat. Ini penyakit kronis.

Selain keberadaan warung pangkon, kafe-karaoke, dan pub pun berjamuran di Lamongan. Terang-terangan dalam papan namanya terdapat sponsor minuman keras. Kemaksiatan yang menjamur ini kian mendapat tempat, tatkala penguasa tidak berani tegas melarang demi melindungi rakyatnya. Sungguh, kemaksiatan yang tersistemis ini menjadikan masyarakat rusak dan kehilangan tujuan hidupnya. Uang yang seharusnya dibelanjakan untuk keluarga dan kebaikan, malah disalurkan kepada kemaksiatan yang sia-sia. Menyedihkan!

Seruan Umum

“Sudah saatnya pemerintah daerah dan aparat bersinergi dengan ulama’ untuk membentengi umat dari pengaruh rusak beragam kemaksiatan, termasuk dampak sosial dari warung pangkon. Kesulitan mendefinisikan kemaksiatan dalam sistem demokrasi-sekular seharusnya membuat umat sadar bahwa hidup akan berkah ketika diterapkan sistem islam secara kaffah,”ujar Taufik memberikan seruannya.

Ulama’ pun harus segera menyerukan akar persoalan dari fenomena liberalisasi kehidupan. Inilah bentuk amar ma’ruf nahi munkar. Penguasa pun kembali menata perekonomiannya agar masyarakat sejahterah dan tidak membiarkan masyarakat tertimpa kemaksiatan dengan alasan kesulitan ekonomi. Pembangunan di Lamongan selain infrastruktur juga harus mencerdaskan masyarakat Lamongan untuk kembali kepada Islam. Mengingat Lamongan salah satu bumi Wali, Sunan Drajat dan tokoh Legenda Jaka Tingkir. Selain ekonomi, juga seharusnya diterapkan sistem pergaulan Islam yang menjelaskan konsep tata pergaulan dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan.

Pemerintah daerah agar segera menertibkan dengan membuat aturan yang ketat untuk melindungi umat agar tidak jatuh pada kemaksiatan. Jika ada pelanggaran segera melakukan tindakan yang memberikan efek jera. Tidak tebang pilih. Berjuanglah untuk kepentingan umat. Karena itu, Hizbut Tahrir senantiasa menyeru kepada umat dan penguasa untuk menghentikan liberalisasi kehidupan dengan kembali kepada Syariah dalam bingkai Khilafah. [VM]

Posting Komentar untuk "Warung Pangkon: Fenomena Liberalisasi Kehidupan"

close