Pemimpin Kafir, Antara Isu SARA dan Kepentingan Politis
Ahok yang dipastikan bakalan ikut bertarung dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI mendatang. Pada Rabu (21/9) kemarin, mantan bupati Belitung Timur itu bersama calon pendampingnya, Djarot Saiful Hidayat, mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi DKI Jakarta untuk mendaftarkan diri menjadi pasangan cagub/cawagub DKI periode 2017-2022. Ahok-Djarot resmi diusung empat parpol, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Golkar.
Sementara respon yang luar biasa terhadap isu haramnya pemimpin kafir memimpin kaum muslimin, merupakan indikasi kuat atas terusiknya aktivitas kekufuran dan kemungkaran atas eksistensi dakwah Islam. Penolakan masyarakat yang tergabung dalam aksi-aksi damai pun bermunculan. Seperti halnya yang dilakukan sejumlah warga yang tergabung dalam Indonesia Bergerak berkumpul di Bundaran Patung Kuda dan silaturahmi berbagai organisasi Isam di masjid Istiqlal.
Namun ketika seruan pemolakan ini digelorakan di ruang publik, menjadi seperti isu besar, isu heboh, isu yang dianggap SARA dan seterusnya. Isu SARA ini diharapkan akan memalingkan kaum muslimin dari keterikatan pada syariah Islam dalam soal kepemimpinan, khususnya pemimpin bagi kaum muslimin harus seorang muslim. Dengan isu SARA, umat di takut-takuti seolah-olah jika memilih karena dorongan akidah dan ketaatan terhadap syariah dianggap rasis dan SARA.Padahal, tanggapan yang demikian lebih pada bermotif politik. Andai saja, tidak ada kaum kafir yang ikut kontestasi politik dalam Pilkada (dalam hal ini Ahok), pastilah respon tak seheboh saat ini.
Maka isu SARA adalah motivasi strategi Pilkada, lebih kental nuansa politiknya ketimbang isu yang dipandang murni opini penegakan norma hukum. Dengan bergulirnya isu SARA, umat diarahkan untuk melakukan penilaian kontestasi kepemimpinan pada standar dan parameter normatif. Apalagi jika isu Tolak Pemimpin Kafir dianggap melanggar ketentuan pasal-pasal dalam KUHP. Pasal-pasal penistaan (310 ayat 1), penistaan dengan surat (310 ayat 2), fitnah (311), penghinaan ringan (315), perbuatan fitnah (318), kesemuanya tidak relevan jika dipaksakan untuk menuntut secara hukum pihak-pihak yang menyerukan tolak calon incumbent, tolak pemimpin kafir.
Menyerukan isu Tolak Pemimpin Kafir bukan didasari atas dasar kebencian pada suku tertentu, ras tertentu, etnis tertentu atau bahkan agama tertentu. Menolak pemimpin kafir dasarnya adalah keterikatan seorang muslim kepada akidah Islam dan syariahnya, di mana Allah SWT telah melarang tegas kaum muslimin haram memilih pemimpim kafir. Dalam hal ini, Allah SWT telah berfirman yan artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?” (QS. 4. An-Nisaa’ : 144).
Saat ini yang kita butuhkan sesungguhnya tidak hanya pemimpin dari kalangan muslim, namun juga pemimpin muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan agar terwuud Islam rahmatan li ‘alamiin. Wallahu a’lam bishowab. [VM]
Pengirim : Sunarti (Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Ngawi, JawaTimur, Pemerhati Masalah Politik, Pemerhati Masalah Ibu dan Generasi)
Posting Komentar untuk "Pemimpin Kafir, Antara Isu SARA dan Kepentingan Politis"