Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Demokrasi Benamkan Suara Umat di Balik Penolakan Ahok


Oleh : Widya Tantina
(pengamat politik)

Demo dan kampanye Tolak Ahok (DKI 1) menjelang Pilgub 2017 selama sebulan terakhir ini terus bergulir hingga hari ini. Semakin jauh, semakin panas bak  bola api. Namun kalah panas dengan Pemberitaan Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Seolah suara rakyat menolak pemimpin Non Muslim (Kafir) tak lagi penting untuk dibahas dan muncul di pemberitaan media. Padahal, betapa keukeuhnya upaya umat menyuarakan kerinduan sekaligus keinginannya akan hadirnya pemimpin muslim yang ‘mempresentasikan’ islam di tengah kehidupannya seakan tak dapat dibendung lagi. 

Jauh dari pemberitaan televisi yang biasa ditonton masyarakat, ada ribuan umat yang bergelut keras dengan penolakannya terhadap kepemimpinan Ahok yang Kafir. Dari kelompok mahasiswa, praktisi, sipil hingga ibu-ibu rumah tangga menolak Ahok menjadi Gubernur ibu kota di periode berikutnya. Sifatnya yang temperamental, suka gusur, hingga kesukaannya lecehkan islam dan kaum muslim menjadi sebabnya. Tercatat ribuan warga DKI yang sudah menggelar aksi penolakannya di bulan September lalu. Termasuk aksi 3 juta KTP tolak Ahokpun telah digulirkan. Terakhir, muncul  video penistaannya terhadap Islam dengan menghina Al Qur’an. Hal ini, menambah deret daftar alasan umat menolak Ahok. Statement pengedepanan SARApun timbul. Isu ini bahkan berakibat pada upaya memisahkan Agama dengan urusan Politik (Sekulerisme). Berbagai argumentasipun disampaikan. Bahwa agama itu suci, sementara Politik itu kotor.

Isu SARA memang dikhawatirkan akan digulirkan pada Pilgub DKI 2017 mendatang. Dengan sasaran calon gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Namun, dengan dimunculkannya penantang yang muslim Djarot Syaiful Hidayat, seolah menghapus kekhawatiran SARA. Begitu pula dengan momen foto bersama antar kandidat DKI 1 beberapa waktu lalu, menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Seolah ingin mengatakan bahwa mereka baik-baik saja dan tak ada persaingan yang berarti. Mekanisme Demokrasi lagi-lagi tak menghiraukan aspirasi umat yang sudah kian rindu hadirnya pemimpin muslim yang mau dan mampu memimpin berdasarkan Syariah Islam. Umat rindu hidup aman, nyaman, damai tanpa dihantui rasa takut akan banyaknya kriminalitas yang disebabkan karena miras, pelecehan sex, permusuhan antar golongan dan penyakit masyarakat lainnya, yang pangkalnya terjadi karena sistem hidup yang jauh bahkan berlepas dari Syariah Islam.

Demokrasi menggiring parpol menentukan calon hanya berdasarkan pertimbangan politik, prediksi elektabilitas, mahar politik dan perhitungan untung dan rugi bagi parpol, dan lebih menonjolkan pertarungan antar elit porpol. Sekali lagi, dengan jargon “ Jangan kedepankan SARA, tonjolkan pertarungan program, visi, misi, dan rekam jejak”, demokrasi berhasil membenamkan suara umat yang sebenarnya.

Dalam Islam, memilih pemimpin muslim sangat dianjurkan. Bahkan jelas memberikan tuntunan tentang kriteria pemimpin yang baik. Di antaranya adalah bertaqwa. Soal keharusan ini juga tertera dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003 Pasal 6 disebutkan, syarat-syarat menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia nomer 1 adalah bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Islam memandang perbedaan Ras dan Golongan adalah sesuatu yang fitrah. Karena sejatinya Allah menciptakan manusia bersuku-suku, dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal dan bukan untuk saling bertentangan. Dalam agamapun menyadari ada perbedaan. Dalam Islam dikenal Allah itu Ahad (Esa), sementara di Nasrani menyebutkan Tuhan itu satu dari tiga. Mengenai hukum Halal dan Harampun pasti ada perbedaan dalam menentukan standarisasinya. Demikian juga soal kepemimpinan. Islam tegas melarang memilih pemimpin dari kalangan Kafir (NonMuslim). Dan Tugas terbesar dari seorang pemimpin dalam Islam adalah menerapkan Syariah secara kaffah dan beramar ma’ruf nahi munkar. Jadi bagaimana mungkin rakyat Indonesia, warga Jakarta khususnya yang mayoritas muslim berharap orang kafir mampu melaksanakan tugas besar seorang pemimpin, jika ia sendiri tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan tidak beriman pada Syariah. Karena itu, sudah saatnya umat memiliki kesadaran dalam memilih pemimpin yang baik, yang mau dan mampun mengembalikan kehidupan Islam di tengah-tengah masyarakat. [VM]

Posting Komentar untuk "Demokrasi Benamkan Suara Umat di Balik Penolakan Ahok "

close