DUH, CERAI LAGI?
Aniyatul Ain, S.Pd
(Muslimah HTI Banten)
Pernikahan dini…
Bukan cintanya yang terlarang…
Hanya waktu saja belum tepat…
Merasakan semua…
Masih ingat dengan lagu di atas? Sekitar tahun 2000-an publik diramaikan oleh tembang yang menceritakan tentang pernikahan dini. Dikisahkan sosok dua sejoli jatuh cinta yang kemudian memutuskan untuk menikah di usia belia. Pernikahan di usia belia banyak disangsikan oleh masyarakat dengan anggapan kurang siap untuk menempuh biduk rumah-tangga. Biduk rumah-tangga tidak cukup ditempuh hanya dengan ketertarikan dua lawan jenis saja (modal cinta) tapi juga harus ditunjang dengan kesiapan ilmu berumah-tangga, finansial dan juga mental. Diharapkan dari berbagai kesiapan tadi akan terwujud keluarga yang harmonis, sakinah, mawaddah dan rohmah sebagai pondasi kuatnya bangunan masyarakat. Dari pernikahan dua insan pun diharapkan akan lahir generasi pemimpin yang memiliki kepribadian yang kuat terhadap agamanya dan punya orientasi untuk kemajuan negaranya. Tentu saja impian besar ini bermula dari intitusi kecil di dalam masyarakat, institusi itulah yang dinamakan keluarga.
Tantangan dalam berkeluarga dewasa ini semakin hari semakin besar. Tantangan disini adalah bagaimana mempertahankan biduk rumah tangga agar tetap berjalan harmonis yang kemudian berkorelasi dengan lahirnya generasi bangsa yang berkualitas. Hanya saja fakta di lapangan membuat mata kita terbelalak, fenomena kawin-cerai ibarat jamur di musim penghujan. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara yang tingkat perceraiannya tertinggi di dunia. Pada kisaran tahun 2009-2016 tercatat 16%-20% angka perceraian, dengan penggugat cerai 70% adalah perempuan dan 30% laki-laki. Pada tahun 2010 tercatat 285.184 gugatan cerai dan angkanya naik di tahun 2015 menjadi 347.256 kasus. (merdeka.com, 20/09/2016). Masih dari sumber yang sama puncaknya pada tahun 2012 palu sidang cerai diketok sebanyak 372.557 kali, itu setara dengan 40 perceraian setiap jam! Sepertiga penggugat usianya dibawah 35 tahun. Fenomena kawin cerai tidak hanya menyinggahi kehidupan selebritis tetapi juga masyarakat pada umumnya.
Di Provinsi Banten, Kab. Tangerang lah yang paling banyak ditemukan kasus perceraian. Selama tahun 2016 terdaftar kasus perceraian sebanyak 4700 perkara dimana sebelumnya pada tahun 2014 sebanyak 4200 perkara. Kebanyakan pasangan mengutarakan alasan memilih menyudahi rumah-tangga mereka karena sudah tidak adanya kecocokan, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), faktor ekonomi dan suami yang tidak bertanggung-jawab. (tangerangrayaonline.com, 15/09/2016). Menteri Agama Lukman pun bereaksi menanggapi fenomena tingginya angka perceraian dengan solusi kursus persiapan pernikahan dengan berbekal sertifikat nikah “Ke depan, kita akan mengadakan kursus persiapan pernikahan. Jadi yang hendak nikah, harus mempunyai sertifikat nikah” kata Menag.
Begitu rapuhnya ketahanan keluarga saat ini. Tingginya angka perceraian berdampak secara langsung pada psikis anak. Beban psikis anak teramat berat di tengah gempuran narkoba, pornografi, darurat kekerasan pada anak dan sederet permasalahan lain di hadapan. Benarkah fenomena kawin cerai ditengarai karena pelaku pernikahan usianya masih tergolong muda atau ada faktor lain? Efektifkah kursus persiapan pernikahan untuk menekan angka perceraian di Indonesia?
Kesetaraan Gender Dibalik Tingginya Perceraian?
Dari dulu, sosok perempuan selalu menarik untuk dibahas. Bahkan di era kekinian pembicaraan tentang perempuan mewujud dalam kesepakatan-kesepakatan internasional yang diratifikasi ratusan negara di dunia. Anggapannya, kaum perempuan saat ini tertindas, menjadi korban kekerasan dan sebagai warga-negara kelas dua di dunia sehingga posisinya harus diperjuangkan untuk setara dengan kaum laki-laki. Kemudian lahirlah apa yang disebut sebagai feminisme yang memperjuangkan kesetaraan gender. Pegiatnya akrab dengan sebutan feminis.
Perjuangan para aktivis perempuan ini tidak bisa dipandang sebelah mata, begitu rapih dan sistematis. Tercatat hingga penghujung abad 20 banyak kesepakatan internasional tentang perempuan yang telah diratifikasi negara-negara anggota PBB yang bisa dijadikan peta penunjuk jalan dan landasan aksi menuju penguatan perempuan dalam perspektif gender, diantaranya Convention on the Political Rights of Women (1952), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW, 1979), International Conference on Population and Development (ICPD, 1994), Beijing Declaration and Platform Form Action (BPFA, 1995) dan Millenium Development Goals (MDGs, 2001). Diantara berbagai pertemuan perempuan internasional tersebut, Beijing Platform for Action mempunyai arti penting karena memuat dokumen strategis pemberdayaan dan kemajuan perempuan, penegakan hak asasi manusia dan pembangunan yang mendorong perempuan untuk mengorganisir diri, bertindak dan mencari alternatif-alternatif. (instrumentsonline.wordpress.com, 29/10/2004).
BPFA 1995 merupakan roadmap bersejarah yang ditandatangani oleh 189 negara di dunia untuk merealisasikan hak-hak perempuan. Ada enam tujuan strategis dari pertemuan penting ini: mempromosikan kemandirian, hak-hak ekonomi perempuan, kesetaraan akses pada pekerjaan, kelayakan lingkungan kerja, mempromosikan harmonisasi tanggung-jawab antara pekerjaan dan keluarga bagi perempuan dan laki-laki. Indonesia bagian dari salah satu negara anggota PBB yang meratifikasi pertemuan penting ini. Dampak dari pertemuan internasional ini ada capaian besar yang memang sudah ditargetkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dwi Rubiyanti Khalifah penyusun laporan BPFA tahun 2014 dari NGO Asia Muslim Action Network Indonesia. Capaian tersebut antara lain: reformasi kelembagaan pemberdayaan perempuan, reformasi hukum perlindungan perempuan dan peran masyarakat sipil pembela hak-hak asasi perempuan. Capaian-capaian itu kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya komnas perempuan, adanya transformasi Kementrian Negara Peranan Wanita ke Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada tahun 2001. Selain itu KPPPA berhasil meletakkan pondasi kerja yang penting dengan pintu masuk pengarusutamaan gender di 25 kementrian lembaga dan 25 provinsi dengan membuat Peraturan Pelaksanaan PUG (Pengarusutamaan Gender). Masih terkait capaian BPFA di Indonesia terbitnya instruksi Presiden tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dan undang-undang lain yang terkonsentrasi dengan kesejahteraan perempuan. (beritasatu.com, 12/11/2014). Jelaslah, sepak terjang kaum feminis semakin leluasa mempromosikan tujuannya.
BPFA 1995 juga mendorong perempuan berdaya secara ekonomi dan mandiri. Itu artinya perempuan dimobilisasi secara besar-besaran untuk terjun di ranah publik. Memainkan peran ini gampang-gampang susah. Tetap berkiprah di publik juga tidak meninggalkan sisi domestik yang merupakan bagian tak terpisahkan dari seorang perempuan terlebih mereka yang sudah menikah dan mempunyai anak membutuhkan tenaga ekstra. Apalagi saat ini negeri kita dan secara global menghadapi krisis finansial. Ketahanan keluarga pun kecipratan mendapat ujian finansial. Beban hidup yang berat dimana harga-harga melambung tinggi, kesehatan dan pendidikan yang juga tidak murah terus menghiasi hari-hari kehidupan keluarga Indonesia.
Kerja panjang pegiat gender yang bermula dari pertemuan-pertemuan internasional kemudian “dipaksa” diterapkan ke semua negara yang meratifikasinya, membuahkan hasil. Masyarakat tidak asing lagi dengan jargon-jargon kemandirian dan pemberdayaan ekonomi perempuan juga perjuangan kesetaraan gender. Sekilas isu-isu ini tidak mengandung unsur negatif yang membahayakan. Apa yang salah dengan jargon perempuan yang mandiri atau perempuan yang berdaya secara ekonomi? Hanya saja, seiring berjalannya waktu justru isu-isu ini digunakan untuk menghadang penerapan hukum-hukum islam di wilayah domestik (lingkup rumah-tangga) dan wilayah public. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim kita perlu waspada. Jangan sampai terjebak persoalan bias gender yang getol disuarakan kaum feminis. Kaum feminis memandang persoalan yang saat ini dihadapi perempuan: kemiskinan, kebodohan, kekerasan, pelecehan, human trafficking dan diskriminasi dengan asumsi perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi karena posisi mereka yang lemah (warna negara kelas dua). Oleh karenanya perlu ada upaya perjuangan melawan ketertindasan tadi dengan menjamin seluruh hak-hak perempuan.
Kaum feminis dengan segala bentuk dan jenisnya memperjuangkan tujuan yang sama, yaitu mendambakan kesetaraan hidup dengan laki-laki sebagai bentuk perolehan hak hidupnya. Repotnya jika isu kesetaraan gender ini masuk ke ranah privat rumah-tangga. Budaya Indonesia yang patriarki dan juga hukum Islam yang meletakkan kepemimpinan keluarga ada di pundak laki-laki (suami) tidak jarang “diserang” sebagai asumsi menindas kaum perempuan. Kepatuhan dan ketaatan istri dalam melayani suami juga ditafsirkan sebagai bentuk pengekangan hukum-hukum Islam terhadap perempuan. Sehingga, multitafsir yang serampangan ini banyak mendorong para pegiat gender untuk mengedukasi kaum hawa bahwa perempuan harus bangkit dan melawan ketertindasan (baca: melawan syariat islam) dan budaya patriarki yang ada.
Sepak terjang kaum feminis juga disinyalir telah banyak mewarnai kehidupan rumah-tangga. Kaitan dengan hal ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), persoalan yang sering dijumpai pasangan suami istri sampai akhirnya memutuskan untuk bercerai. Setiap keluarga tidak menghendaki yang demikian terjadi. Disatukannya dua insan dalam ikatan pernikahan adalah untuk saling berkasih-sayang, bukan untuk menyakiti. Hanya suami berakhlak buruklah yang tega menyakiti (psikis dan fisik) istrinya! Namun tidak bagi kaum feminis. Mereka bukan hanya mempermasalahkan kekerasan fisik dalam arti sebenarnya, kekerasan seksual misalnya dapat ditafsirkan ketika suami meminta dipenuhi kebutuhan biologisnya sedangkan istrinya menolak dengan alasan organ reproduksi itu adalah haknya. Perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki untuk membuat keputusan terhadap apa yang dikehendakinya. Padahal menurut hukum Islam tentu saja hal demikian terlarang, mengingat kewajiban istri adalah melayani suami. Rasul SAW bersabda: “Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu sang istri tidak mendatanginya hingga dia (suaminya) semalaman dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam masalah ranjang (dan masalah lain) perlu komunikasi yang baik antara kedua-belah pasangan. Jika memang kondisi istri pada saat itu belum memungkinkan untuk melayani suami entah itu karena kelelahan, sedang sakit atau udzur syar’i lainnya tentu yang demikian tidak jadi soal.
Persoalan lain yang menjadi alasan pasutri mengakhiri ikatan pernikahan mereka adalah permasalahan ekonomi. Permasalahan ekonomi ini terbagi menjadi dua: Pertama, karena memang suami tidak memberikan nafkah kepada istri. Kedua, istri sudah berpenghasilan. Pada kondisi pertama, kurang gigihnya suami dalam bekerja mengakibatkan istri menggantikan peran suami sebagai pencari nafkah. Banyak diantara mereka akhirnya melancong ke luar negeri menjadi TKW (Tenaga Kerja Wanita) untuk mengais lembaran rupiah. Suami dan anak ditinggalkan di rumah. Yang menyedihkan, tidak jarang mereka yang berniat tulus mencari nafkah menjadi korban human trafficking. Dimana perlindungan hukum untuk para TKW di negeri ini masih lemah, tapi dana remitansi yang didapat justru yang itulah diharapkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Jika ditemukan kondisi demikian, peran istri adalah terus mendorong suami mencari nafkah. Saling mengingatkan dalam kebaikan, bahwa kewajiban mencari menafkah ada di pundak suami, bukan istri. Pekerjaan apapun bisa dilakukan yang terpenting suami tetap bekerja, tentunya pekerjaan yang halal.
Persoalan kedua, kondisi sudah berubah. Di zaman modern banyak perempuan tidak ingin tertinggal dengan laki-laki termasuk dalam hal karir. Tidak sedikit ditemukan perempuan yang sudah mandiri secara ekonomi dimana perempuan sudah berpenghasilan sendiri. Bahkan banyak dari mereka penghasilannya justru lebih besar daripada suami. Dengan posisi seperti ini, sangat rentan bagi istri untuk mengerdilkan peran suami dan kemudian menggugat cerai suaminya dengan alasan toh perempuan sudah berpenghasilan tidak perlu tergantung pada suami. Kondisi inilah yang dikhawatirkan. Gencarnya pengarusutamaan gender di 25 provinsi dan semua lini kehidupan membawa dampak perempuan semakin mandiri dan berdaya secara ekonomi, namun di satu sisi institusi keluarga mudah tergerus dengan nilai-nilai liberal yang disebabkan perempuan menuntut hak-haknya yang diasumsikan telah terampas dari kehidupannya. Itulah letak strategis agenda BPFA 1995 yang ditengarai sebagai program liberalisasi keluarga secara sistematis yang berefek pada lemahnya ketahanan keluarga. Dengan demikian, kerja keras pegiat gender bukannya menyelesaikan masalah malah menambah masalah baru, yaitu hancurnya institusi keluarga. Lantas, masih relevan kah (hanya) mengandalkan kursus persiapan pernikahan sebagai solusi tingginya angka perceraian dan pembatasan umur untuk menikah di usia muda?
Islam Asas Pembentukan Keluarga
Menurut terminology Islam, perempuan dan laki-laki adalah sama. Yang membedakan dari keduanya adalah letak ketakwaannya. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (QS: Al-Hujurat: 13). Refleksi ke kehidupan berkeluarga, suami dan istri kedudukannya sama di hadapan syariat. Perbedaan peran yang ada bukan untuk diperdebatkan, justru saling menguatkan.
Laki-laki, di pundaknya lah kewajiban mencari nafkah yang halal. Jikalau perempuan ingin ikut bekerja itu sebuah kebolehan (mubah) hukumnya, tidak wajib, tidak juga haram. Tapi tetap tidak mengabaikan peran utamanya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak mereka. Adalah bentuk pemulian islam terhadap kaum perempuan ia justru yang wajib dinafkahi, bukan menafkahi. Karena di pundaknya ada tugas tidak kalah mulia dengan laki-laki, yaitu menyiapkan generasi emas berkualitas untuk memperjuangkan peradaban islam yang gemilang. Wallahualam. [VM]
Posting Komentar untuk "DUH, CERAI LAGI?"