Ironi, Dari Bela Negara Sampai Deklarasi Bandung Untuk Bela Negara
Oleh : Ahmad Yusuf Aksan
Kepala Divisi Pembinaan
GEMA Pembebasan Kota Bandung
Rencana penyelenggaraan Deklarasi Bandung pada 30 Oktober mendatang dengan mengangkat isu “Bela Negara” sebagai wujud pengejawantahan dalam upaya menjaga nilai-nilai kebangsaan seperti Pancasila, NKRI, Kebhinekaan dan UUD 1945 tampaknya menunjukan realitas yang saling berkontradiksi. Walaupun demikian, deklarasi bandung tampak menjadi upaya memposisikan bandung sebagai icon percontohan dalam skala nasional dalam membela persatuan dan kesatuan di tanah air. Apalagi, mengingat Bandung telah dideklarasikan sebagai ibu kota asia afrika, tentu saja acara 30 Oktober nanti memberikan citra tertentu atas konsep bela negara yang beberapa bulan lalu diturunkan sebagai kebijakan menteri pertahanan ini. Bolehlah dikatakan penyelenggaraan acara ini sebagai dampak dari kebijakan yang telah diberlakukan, atau melihat sisi monumental dimana oktober dikenal sebagai bulannya pemuda terutama 28 oktober yang ramai dibicarakan menyoal sumpah pemuda.
Komunitas Solidaritas Masyarakat Bandung yang mencoba menghadirkan deklarasi Bandung tampak tidak selaras dengan pernyataan JK tentang hal ini. Patut dipertanyakan beberapa pernyataan JK soal kebhinekaan dan kesatuan. Menurutnya, Bangsa Indonesia besar dikarenakan perbedaan dan perbedaanlah yang menyatukan Indonesia. Sehingga dari realitas tersebut, Negara dikatakan memiliki misi dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur (PHDI Surabaya). Menurut kami, pernyataan demikian sarat dengan klaim dan pembenaran terhadap sejarah yang telah didistorsi kepada kenyataan perbedaan yang merupakan kepastian bagi bangsa manapun. Perbedaan adalah hal yang tidak bisa dinafikan lagi, hanya saja upaya penyatuan tentulah harus dengan rasional bukan sekedar klaim semata. Penyatuan keberagaman hanya dengan pernyataan tertentu yang seolah menyatukan berbagai pihak tentulah pandangan yang dungu, hal demikian bukan berarti perbedaan tersebut menyatukan perbedaan akan tetapi ada gagasan yang kompromistis yang membenarkan perbedaan sehingga realitas perbedaan tersebut ditenangkan secara temporal.
Itulah mengapa pengakuan terhadap segmentasi masyarakat yang berbeda-beda tersebut mesti mendapat tempatnya secara simbang dan posisi yang sama, sederajat. Walaupun hal demikian tampak menguntungkan, hakikatnya masing-masing perbedaan memiliki kondisi-kondisi tertentu, keyakinan tertentu dan pandangan tertentu. Alhasil, ketentraman itu sulit dilanggengkan atas dasar kesepakatan kompromistis yang menguntungkan itu dan seringkali memunculkan kekisruhan kembali akibat perubahan situasi dan kondisi dari masing-masing segmentasi masyarakat (pendikotomian kalangan-kalangan tertentu dalam masyarakat) melingkupi seiring kehidupan berjalan, hal demikianlah yang memastikan bahwa perbedaan tidak menyatukan perbedaan. Akan tetapi, kami tegaskan bahwa gagasan tertentulah yang bersifat temporal pada tempo waktu tertentu dibenarkan oleh sebagian pihak sehingga berjalanlah sebuah keputusan atasnama bersama.
Gagasan yang mengakomodir perbedaan itu tentulah gagasan yang temporal dan tidak mampu mengikat (dijadikan alat pengikat) akan tetapi menjadi pembenaran atas realitas individu-individu yang terikat oleh sebuah kesamaan kepentingan dikarenakan hasil kompromi. Dari sini dapatlah dilihat bahwa gagasan itu hanya alat legitimasi, bukan alat untuk mengikat namun yang mengikat itu adalah ikatan kepentingan yang hadir dari asumsi persoalan yang dirasa harus dihadapi bersama. Itulah yang mengikat, maka gagasan yang dijadikan alat legitimasi itu akan hilang dengan sendirinya, lepas dan tidak akan langgeng sebagaimana kepentingan itu akan hilang beriringan dengan berjalannya dinamika kehidupan dalam masyarakat. Inilah poin kedunguan soal pernyataan JK bahwa perbedaan menyatukan perbedaan, logika yang aneh dan tidak masuk akal, mengaburkan pemahaman masyarakat. Dari titik pembahasan ini, dapat kita nilai dengan sendirinya dimana kita meletakan gagasan kebhinekaan itu dalam ranah kehidupan.
Hal yang harus dicermati adalah, pewacanaan keberagaman sebagai dalih kesetaraan dan keadilan jelas-jelas ironi dengan perlakuan pemerintah terhadap rakyat tidak sebagaimana pandangannya. Hal ini terbukti ketika pemerintah menjadi penjamin kebebasan yang ada ditengah-tengah masyarakat dengan paradigma kemanfaatan dan individualismenya. Hal itu memunculkan segmentasi masyarakat yang didengar dan menjadi pengendali nomor wahid dalam mengotak-atik negara, kelompok itulah kaum pemilik modal, kaum yang dimaharajakan dijagat pasar bebas merekalah konglomerat kapital yang semena-mena mengendalikan hukum, mengendalikan undang-undang, mengendalikan sistem sosial, mengendalikan media dan apa-apa sepanjang mereka lihat mampu dikendalikan dengan uang. Jika demikian faktanya, masih relevankan dalih perbedaan menjadi pemersatu bangsa? Dikala negara terkendali oleh sekelompok pemilik modal ini yang melegitimasi dirinya bagian segenap dari rakyat Indonesia? Sungguh ironis.
Fakta tersebut, telah memastikan bahwa negara dalam keadaan terkendali oleh korporasi, dan dampaknya justru memberangus seluruh dalih prulalisme, keadilan dengan keberagaman, dan sebagainya. justru negara menampakan ketidak adilan yang sejati. Negara dikendalikan korporasi dan undang-undang menikam rakyat atas nama rakyat. itulah hakikat negara yang tengah bercokol diatas tanah air kita ini. Namun demikian, sangat celaka bilamana ada upaya menyamakan antara realitas negara yang kini berada dibawah ketiak kapitalis dengan tanah air. Sehingga mengharuskan pembelaan tanah air dan berkonsekwensi membela negara, inilah soal yang keliru. Apalagi, legitimasi sejarah dengan seabrek perjuangan yang mengatasnamakan Islam dan para ulama ditimpakan terhdap upaya pembelaan terhadap realitas negara hari ini yang sungguh bertentangan 360 derajat dengan Islam. Hal itu adalah argumen-argumen yang tidak intelktual dan cenderung memberikan pembodohan terhadap publik.
Maka, menyoal deklarasi bandung untuk bela negara yang akan diadakan 30 oktober nanti, hal ini haruslah ditelaah dan dikaji lebih mendalam lagi soal negara yang dibela itu. Padahal disaat yang sama negara telah berlaku tidak adil menjadikan keberagaman, kebhinekaan dan sejarah perjuangan Islam di Nusantara menjadi alat legitimasi untuk memperkukuh pengaruh kelompok kapital ini untuk mengendalikan dirinya (Negara) dan disaat yang sama negara menerapkan hukum atas rakyat keseluruhan, inilah kecelakaan terbesar bagi masyarakat tatkala apa-apa yang ditimpakan kepadanya adalah hasil persekongkolan jahat penguasa dengan pengusaha demi meraup keuntungan mereka sendiri. Lantas, atas dasar apa acara Bandung untuk Bela Negara diselenggarakan? Apakah ingin membenarkan tindakan kriminal negara terhadap rakyat? apakah meminta rakyat untuk mendukung penyengsaraan rakyat itu sendiri yang dilakukan oleh negara? Betapa anehnya jika acara itu tetap dilakukan. Ironi. [VM]
Posting Komentar untuk "Ironi, Dari Bela Negara Sampai Deklarasi Bandung Untuk Bela Negara"