Lawan Hegemoni China!
Oleh : Endah Sulistiowati, SP.
(Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kediri)
Sebuah informasi beredar secara viral di media sosial, menyebutkan adanya 400 WN China diturunkan dari sebuah kapal ekspedisi ke sebuah gudang di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Polres Pelabuhan Tanjung Priok langsung turun ke lokasi untuk mengecek kebenaran informasi tersebut.
"Kami sudah mendengar informasi yang disebar melalui Facebook oleh akun Yanuari Budi Jatmiko itu dan sudah kami lakukan pengecekan ke TKP sejak pagi tadi. Untuk sementara, informasi tersebut tidak benar dan tidak ada kejadian tersebut," jelas Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok AKBP Hanny Hidayat saat dikonfirmasi detikcom, Sabtu (1/10/2016).
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Tanjung Priok Ajun Komisaris Dedi mengatakan, pihaknya juga telah memintai keterangan para pekerja bongkar muat di lokasi sekitar gudang yang dimaksud.
"Hasil pemeriksaan sejumlah pekerja di lokasi, mereka mengaku tidak melihat adanya sekelompok WN China yang turun di Dermaga 09. Hanya aktifitas bongkar muat barang saja yang ada," ujar Dedi.
"Kami belum bisa mengatakan informasi tersebut hoax, tetapi untuk sementara ini, tidak ada kegiatan yang dimaksud. Kami masih akan menyelidikinya dan melakukan pengawasan di sekitar lokasi," sambung Dedi.
Hoax ataukah tidak informasi tersebut diatas, fakta dilapangan menunjukkan bahwa puluhan ribu buruh Cina menyerbu Indonesia. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri tidak menampik kenyataan tersebut. Ia menjelaskan, sampai akhir Juni 2015 saja ada 12 ribu buruh Cina di Indonesia, itu yg tercatat. Bahkan beberapa proyek infrastruktur yang dikerjakan Cina juga membawa buruh dari Cina juga. Sebut saja proyek pembangunan PLTU Celukang Bawang di Buleleng-Bali. Proyek ini dibangun konsorsium Cina Huadian Power Plant Operstion Co. Ltd., China Huadian Engineering Co. Ltd, PT CR 17, dan mitra lokal PT General Energy Bali. Di Banten sekitar 400 pekerja Cina di pabrik seen dan milik PT. Cemido Gemilang.
Kapitalisme Timur itu sama dengan Kapitalisme Barat. Caranya sama, dengan utang. Tujuannya juga sama, untuk menghisap sumberdaya negeri ini, bahkan lebih. Jika Kapitalisme Barat biasanya hanya memberikan utang dan mensyaratkan tenaga ahli ikut di dalamnya, Kapitalisme Timur (China) lebih dari itu. China mensyaratkan bahan, teknologi dan segalanya dari China, termasuk tenaga kerjanya. Itu masih ditambah lagi dengan bunga utang.
Campur tangan ekonomi China ini merupakan bagian dari kerjasama Indonesia-China yang ditandatangani tahun lalu. Melalui China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Pemerintah China berkomitmen memberikan utang US$ 50 miliar atau setara Rp 700 triliun (US$ 1= Rp 14 ribu). Utang itu untuk pembangunan infrastruktur nasional seperti pembangkit listrik, bandara, pelabuhan, kereta cepat dan kereta api ringan (LRT-Light Rail Transit).
Sama dengan Kapitalisme Barat, penjajahan oleh Kapitalisme Timur, di antaranya melalui utang, tidak bisa berjalan kecuali ada penguasa yang sangat pro investasi China. Disadari atau tidak, penguasa seperti itu menjadi proxy (bahasa lainnya komprador [kaki-tangan]) yang menjalankan kepentingan penjajahan ekonomi China.
Investasi China di negeri ini tak lepas dari strategi global China, yakni Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra di Asia) dan Maritime Silk Road Point (MSRP) atau Titik Jalur Sutra Maritim. MSRP ditujukan untuk menguasai jalur perdagangan laut, yang salah satunya melalui Selat Malaka. Untuk itu China berusaha menguasai pendanaan pembangunan infrastruktur di negeri ini. Entah kebetulan atau bukan, ambisi Titik Jalur Sutra Maritim China itu selaras dengan proyek tol laut rezim Jokowi.
Kerjasama dengan Cina berawal dari kerjasama perdagangan dan ekonomi dalam rangka China ASEAN Free Trade Area (CAFTA), dan CAFTA ini membawa implikasi besar terhadap industri dalam negeri. China merupakan negara yang saat ini menguasai dunia, terutama dalam satu dasawarsa ini. China merupakan salah satu Negara yang paling mendapat perhatian ASEAN karena kekuatan ekonominya. Di tahun 2010, kekuatan ekonomi China berhasil melampaui Jepang setelah beberapa tahun sebelumnya melampaui Jerman, Perancis dan Inggris.
CAFTA pertama kali mengemuka dalam KTT ASEAN ke 7 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam pada November 2001. Tiga tahun kemudian, tepatnya 4 November 2004, kerangka kesepakatan ini ditandatangai oleh para kepala Negara anggota ASEAN dan China di Pnom Penh, Kamboja.
CAFTA itu sendiri memiliki tujuan untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak, meliberalisasi perdagangan barang, jasa dan investasi , mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua belah pihak serta memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan Negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap kedua belah pihak.
Setelah pemberlakuan CAFTA, nilai ekspor non migas Indonesia ke China mencapai US $ 14,1 milyar di tahun 2010 atau meningkat 58% dibanding tahun sebelumnya yang sebesar US $ 8,9 milyar. Sedangkan nilai impor Indonesia dari China tercatat US $ 19,7 milyar atau meningkat 46% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US $ 13,5 milyar.
Pada tahun 2011, angka ekspor Indonesia ke China dan impor non migas dari China diproyeksikan mengalami kenaikan. Januari hingga Agustus 2011, nilai ekspor Indonesia ke China mencapai angka US $ 12,8 milyar dan angka impor dari China mencapai US $ 16,4 milyar.
Hal yang harus diperhatikan dalam CAFTA ini adalah apakah pemerintah telah melakukan sosialisasi public terhadap kesepakatan CAFTA ini dan strategi apakah yang akan diterapkan dalam menghadapi CAFTA. Pemerintah perlu melakukan kajian apakah kesepatan perdagangan ini lebih banyak merugikan ataukah menguntungkan, mengingat pasar Indonesia yang dibanjiri oleh produk dari China. Perdagangan bebas ini jangan sampai membuat perusahaan Indonesia akan tutup akibat tidak mampu bersaing dengan produk-produk dari China.
Ketika CAFTA diberlakukan tanggal 1 Januari 2010, produksi industri nasional menurun sampai 50 persen. Hal ini disebabkan oleh ketatnya persaingan yang menyebabkan produk usaha kecil dan menengah kalah dalam persaingan. Sektor industry pun terpaksa memangkas jumlah tenaga kerja hingga 20 persen. Jumlah pengangguran akan terus meningkat dari 8.9 juta (2009) menjadi 9.2 juta (2011) .
Neraca perdagangan Indonesia terus mengalami penurunan. Pada tahun 2006 neraca perdagangan Indonesia surplus USD 39,7 miliar, namun tahun 2011 hanya mendapat keuntungan sebasar USD 22,1 miliar. Hal ini disebabkan oleh timpangnya neraca ekspor impor Indonesia dan China.
Dari data neraca perdagangan yang dilaporkan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatatkan nilai ekspor ke China sebesar US$ 2,84 miliar dalam kurun waktu Januari-Maret 2016. Angka ini melorot 9,34 persen dibanding realisasi periode yang sama sebelumnya US$ 3,13 miliar. Sedangkan khusus di Maret ini, realisasi ekspor ke China senilai US$ 1 milyar.
Sedangkan impor Indonesia dari China di kuartal I 2016 mencapai US$ 7,12 miliar, turun dibanding periode yang sama tahun lalu senilai US$ 7,45 miliar. Sedangkan di Maret saja, China telah memasok produk non migas dengan nilai US$ 2,25 miliar ke Indonesia.
Tidak berhenti dari situ, Cina pun mulai melebarkan sayap tidak hanya ke masalah ekonomi saja. Bahkan di Indonesia untuk memuluskan nafsunya Cina pun tidak segan-segan merogoh kocek lebih dalam untuk mendukung para penguasa. Memang dari segi ideologi, sepertinya Cina tidak begitu getol mengkampanyekan sosialis-komunis yg menjadi ideologi mereka. Tapi, keterlibatan Cina di ranah politik tetap harus diwaspadai. Bagaimanapun kita tidak ingin negara muslim terbesar ini dikuasai asing. Karena tidak ada yang namamya penjajah itu punya I’tikad baik kepada negara jajahannya. Dan tidak ada ceritanya negara jajahan itu bisa lebih maju dari negara penjajahnya. Lawan! [VM]
Posting Komentar untuk "Lawan Hegemoni China!"