Memutus Siklus Teror
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia
(Direktur Pusat Kajian Data dan Analisis)
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Suhardi Alius, mengatakan paham terorisme tak hanya mempengaruhi orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Suhardi menyebut, anak-anak dapat memperoleh paham radikalisme melalui media sosial yang sangat mudah diakses. Karena itu, ia mengimbau agar peran keluarga khususnya orangtua lebih ditingkatkan untuk mengawasi kegiatan anak-anak mereka, terlebih saat menggunakan media sosial. "Peran keluarga bapak ibunya harus bisa mengawasi anak-anaknya. Sekarang kan aksesnya masuk ke sosmed, ketika anak-anak itu mulai menyendiri kan tidak bagus, dilihat dulu kontennya apa," jelas Suhardi di PTIK, Jakarta, republika.co.id Selasa (11/10).
Aksi dan propaganda terorisme adalah berbahaya bagi dewasa dan anak-anak, apapun bentuknya harus dilawan. Namun jika istilah tersebut ditafsirkan secara paksa dan tendensius ditujukan kepada muslim dan kelompok muslim yang rindu kehidupan Islami, yang anti penjajahan Barat dan hegemoni kapitalismenya, juga harus dilawan. Harusnya topik yang paling mendapatkan penekanan adalah dugaan kuat pelanggaran HAM yang sangat serius dilakukan oleh Densus 88. Dan masyarakat sipil perlu terus monitoring kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki BNPT dalam urusan kontra terorisme ini.
Pihak aparat dilapangan perlu evaluasi diri, tidak jarang tindakan over yang melanggar HAM dan menyinggung umat Islam justru menjadi faktor spiral kekerasan menggeliat tak berujung. Malah mengesankan kekerasan demi kekerasan itu di pelihara dengan cara membudayakan kekerasan, demi kepentingan proyek politik.
Pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya berharap, di bawah Tito, BNPT mau mendengarkan kritik dan masukan dari berbagai elemenn di Indonesia terkait upaya pemberantasan terorisme. "Sebab di dalam BNPT, bukan sekumpulan malaikat yang tidak bisa salah. Tapi juga sosok-sosok manusia yang sangat berpeluang untuk melakukan kesalahan dalam merumuskan kebijakan strategi kontraterorisme sekaligus implementasinya," ujar Harits, di Jakarta, Rabu (16/3/2016). (kompas.com 17/03/16)
Bukan rahasia lagi bahwa Amerika Serikat menggunakan Badan-badan anti teror di negara-negara muslim dalam rangka mewujudkan kepentingan politik imperialismenya, berinvestasi menciptakan ancaman terorisme yang diklaimnya sendiri dan juga bahaya kebebasan berekspresi. Fakta paling telanjang terkait hal ini, ditunjukkan dengan bekerjasamanya para pemimpin Barat dengan para penguasa yang dikenal suka meneror, menyeret rakyatnya ke dalam penjara atas tuduhan seperti “berani menghina pribadi penguasa”, hingga suka membunuh rakyatnya di tempat-tempat terbuka.
Barat ingin memerangi terorisme, di samping juga ingin menjaga kebebasan bersama dengan orang-orang seperti Sisi, Bashar al-Assad, Netanyahu, Raja Abdullah, Karimov, Bouteflika, dan yang lainnya. Mereka adalah orang-orang yang sedang memerangi terorisme, dan mereka juga adalah para pelindung “kebebasan” khususnya “kebebasan berekspresi dan pers” sesuai tafsir Amerika.
Amerikalah sumber teror. Berbagai taktik hard power maupun soft power, dari penjajahan militer ke penjajahan politik, ekonomi dan budaya sebetulnya bukan hal yang baru bagi AS dan para kroni penjajahnya. Bagi mereka yang terpenting adalah semaksimal mungkin bisa mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari negara-negara yang lebih lemah. Semua itu untuk kepentingan perusahaan-perusahaan dan kaum kapitalis di belakang mereka.
Secara budaya, Barat khususnya AS akan menggunakan media massa untuk membawa pandangannya dan mengekspor ide-ide itu kepada dunia Islam. Secara ekonomi, Pemerintah AS berupaya mengeruk habis kekayaan negeri-negeri Muslim. Melalui lembaga keuangan internasional yang bekerjasama dengan agen-agennya penguasa di negara berkembang, mereka membuat kebijakan yang menguntungkan kapitalis. Di titik inilah, apakah pemerintah berani menyatakan bahwa AS adalah terrorism state yang harus disikat?
Titik Cerah
Perdebatan terbesar dalam dunia muslim adalah pilih Islam atau sekulerisme? Semua seruan Islam sedang dikucilkan oleh media global yang ingin melihat nilai-nilai Barat menguasai seluruh negeri muslim. Tekanan ini telah menyebabkan kelompok-kelompok Islam menglami tekanan serius oleh para diktator di seluruh negeri muslim untuk mengkompromikan kebijakan Islam mereka dalam rangka menenangkan Barat. Walhasil, membangun peradaban Islam merupakan tantangan di negeri-negeri muslim, yang peran ini harus diambil oleh setiap elemen umat.
War on Terrorism di dunia barat dan dunia Islam telah membangkitkan kesadaran umat Islam secara global bahwa itu adalah proyek global perang terhadap Islam dan umatnya. Jadi, proyek deradikalisasi yang ujung-ujungnya makin menyudutkan kelompok – kelompok Islam juga akan sia-sia. Karena, kesadaran politik umat islam cukup tinggi dan tidak bisa lagi dimanipulasi dengan propaganda-propaganda menyesatkan atas nama menjaga nation state, pluralisme (kebinekaan),moderatisme dan liberalisme.
Kaum Muslim telah menyadari bahwa mereka mendapatkan tekanan dimana-mana karena Islam, maka solusinya adalah Islam kaffah, bukan Islam setengah-setengah. Demikian pula para da’i di berbagai negeri tidak perlu takut mendapatkan pressure dan intimidasi dari penguasa saat mengabarkan syiar Islam yang benar pada siapa pun. Ketakutan hanyalah kepada Allah, dan percaya hanya kepada Allah semata, dengan terus mengemban risalah Islam kepada mereka yang masih membuka hatinya untuk mendengarkan, serta membongkar kebohongan kaum anti-Islam. [VM]
Posting Komentar untuk "Memutus Siklus Teror"