Menggugat Sistem dan Rezim Teror!
Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI
(Direktur Pusat Kajian Data dan Analisis)
Sistem kapitalisme benar-benar gagal dalam memberikan kebutuhan dasar masyarakat, sehingga meningkatkan angka pengangguran, kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat untuk meraih hidup layak bagi dirinya dan keluarganya. Semua ini membuat tekanan terhadap masyarakat yang setiap harinya terus bertambah. Sedang sistem ini tidak cukup dengan menciptakan semua tekanan, namun ia juga berusaha memalingkan masyarakat dari agamanya, dengan menyebarkan kebebasan berpikir dan bertingkah laku; serta memerangi sikap konsisten dengan agama, dan menganggapnya sebagai jenis ekstremisme. Sehingga tidak diragukan lagi, bahwa resep yang sempurna untuk mengakhiri meningkatnya angka kemiskinan, adalah melenyapkan hegemoni kapitalisme seakar-akarnya dengan memperkuat akidah masyarakat serta membekalinya kemampuan untuk melawannya.
Kaum Muslim selama berabad-abad tidak mengenal fenomena ini, meskipun mereka ditimpa berbagai krisis, politik, ekonomi dan militer, namun mereka tetap terikat dengan hukum-hukum Allah, sehingga mereka dengan segera mampu memulihkan kembali keadaan. Dengan demikian, kekuatan akidah dan kejernihannya akan membuat mereka mampu memikul kesulitan dunia, bahkan menganggapnya kecil dibanding pahala di sisi Allah.
Sementara hari ini, dalam naungan sistem kapitalisme yang rusak, yang mengabaikan pemeliharaan terhadap masyarakat, merusak pikirannya, dan membuatnya hidup dalam sebuah masyarakat rimba, dimana dengan legal yang kuat memakan yang lemah. Dengan ini, wajar akan terjadi penyebaran fenomena ini. Kita melihat bagaimana seorang melakukan bunuh diri karena tidak lagi mampu melaksanakan tanggung jawabnya, kehilangan bisnisnya, rahasianya terbongkar, kekasihnya pergi, dan banyak lagi. Semua alasan ini sangatlah mudah jika diselesaikan dengan sudut pandang syariah Islam.
Tradisi Negara-negara kapitalis, di barat sampai ke timur, adalah rekayasa sosial untuk mem-barat-kan anak-anak Muslim ada di sekitar kita seperti di TV, di sekolah, atau bahkan dengan hanya berjalan menyusuri jalan-jalan. Ditambahkan ini adalah fakta bahwa anak-anak muda yang bersemangat mempraktekkan Islam mereka sekarang dapat dengan mudah dilabeli sebagai ‘radikal’ dan dianggap berada di jalur yang membuat mereka menjadi ancaman yang sedang berusaha menjadi pembuat pembom yang dapat merugikan orang lain. Tekanan ini berarti semakin banyak orang (terutama kaum muda) yang berada dalam bahaya kehilangan identitas Islam dan mempraktekkan agama.
Siklus Penindasan
Perang Melawan Teror telah mengungkap wajah demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi adalah sistem yang memungkinkan adanya penculikan, penahanan rahasia dan penyiksaan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan nasional. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip seperti habeas corpus (hak untuk diperiksa di depan hakim), peradilan yang adil dan terbuka, supremasi hukum dan privasi individu untuk keuntungan politik. Sistem ini telah menjadi ciri penindasan dengan pelanggaran seperti di Abu Ghraib, Guantanamo, rendisi (penyerahan atas orang atau benda kepada musuh) yang dilakukan secara luar biasa.
Dunia telah melihat seperti apa sebenarnya demokrasi Barat-suatu juara ketidakadilan dan pemimpin teror yang telah menebar kekacauan dan kesengsaraan di seluruh dunia serta menaburkan kematian dan perusakan atas kemanusiaan. Di negara-negara Barat, larangan niqab, jilbab dan menara mesjid, di samping serangan terhadap al-Quran, telah menggambarkan kegagalan demokrasi untuk mengakomodasi hak-hak kaum minoritas beragama.
Perlakuan diskriminatif negara-negara kapitalis sekuler Barat dan Timur memperlakukan kaum Muslim – yaitu sebagai ancaman dan warga negara kelas dua. Ini jelas menunjukkan mereka minus dalam mengamankan hak-hak kewarganegaraan Muslim dan membangun identitas mereka. Berbagai desain rekayasa sosial menciptakan atmosfer merendahkan Islam dan pembenaran untuk melanggar kehormatan dan hak Muslim. Berbagai upaya pengintaian dan intimidasi kepada kaum muslim bermakna merendahkan umat Islam dengan menanamkan tekanan nilai agar Muslim menerima nilai-nilai sekuler dengan mengorbankan ajaran Islam itu sendiri. Sehingga retorika upaya deradikalisasi sebenarnya adalah sebagai racun dalam mempropagandakan Islamophobia.
Ya, Barat sejak meruntuhkan negara kaum Muslim tahun 1924, daulah al-Khilafah, dan memecah belah persatuan mereka. Barat kafir terus saja meniupkan racunnya sebagai bentuk peperangan terhadap Islam dan kaum Muslim. Barat kafir lancang menyerang Islam mereka dan mendistorsi pergerakan mereka dengan menstigmatisasi mereka dengan sebutan radikal dan teroris. Amerika menodai mushhaf yang mulia. Setelah itu, beberapa media Denmark melakukan penistaan terhadap Rasulullah saw, keluarga dan para sahabat beliau. Media-media dan negara-negara Eropa lainnya merestui penistaan itu. Kemudian aksi-aksi yang mereka klaim sebagai aksi seni berturut-turut melakukan penistaan terhadap hudud dan ayat-ayat Allah di berbagai acara Paris, London, Roma dan ibu kota kekufuran dan penjajahan lainnya. Di Indonesia yang fenomenal adalah pelecehan al Qur’an oleh Ahok.
Selanjutnya, terhadap perempuan, gerakan eksploitasi perempuan secara sistemik yang didesain oleh rezim pasar bebas Kapitalis ini sungguh telah menghisap habis potensi ekonomi perempuan dan memaksa mereka meninggalkan peran keibuan terhadap jutaan anak-anak mereka. Ideologi Kapitalisme dengan rezim pasar bebasnya telah mengobarkan perang pada peran keibuan kaum perempuan. Rezim perdagangan bebas juga telah memaksa negeri-negeri Muslim menerapkan sistem pasar kerja bebas yang meniscayakan para Kapitalis bisa membeli tenaga kerja buruh semurah dan sebanyak mungkin di pasar tenaga kerja tanpa campur tangan negara dalam menjamin perlindungan dan kesejahteraan kaum buruh.
Dimiskinkan Paksa
Dampak negatif dari kelemahan ideologi Kapitalisme terlihat dalam setiap kelompok masyarakat. Status moral dan sosial-ekonomi dunia pada saat ini dapat dikaitkan dengan efek-efek buruk kapitalisme. Tingginya produktivitas dan kemajuan teknologi yang sering dipuji sebagai keistimewaan ideologi Kapitalisme. Ini justru ironis karena sebenarnya hal tersebut tidak berhubungan langsung dengan ideologi apapun, termasuk kemajuan ilmiah yang secara historis dipromosikan oleh semua ideologi. Masalahnya adalah bagaimana dan di mana produksi atau teknologi yang berhubungan dengan ideologi itu dikerahkan. Terpisahnya kelompok kaya dan kelompok miskin—akibat konsentrasi kekayaan yang kronis, di mana 20% orang memiliki barang dan mengkonsumsi 80% sumberdaya (sebuah prinsip Pareto tahun 1906 yang terkenal)—masih tetap berlaku setelah satu abad melalui Indikator World Bank tahun 2005). Sekitar 20% rakyat paling miskin hanya mampu membeli sekitar 1% dari apa yang tersedia. Peluang pendapatan yang tidak setara ini menyebabkan kesenjangan kesempatan yang melahirkan pengkelasan (stratifikasi) masyarakat, yang bertentangan dengan janji-janji mereka.
Secara budaya, Barat khususnya AS akan menggunakan media massa untuk membawa pandangannya dan mengekspor ide-ide itu kepada dunia Islam. Secara ekonomi, Pemerintah AS berupaya mengeruk habis kekayaan negeri-negeri Muslim. Melalui lembaga keuangan internasional yang bekerjasama dengan agen-agennya penguasa di negara berkembang, mereka membuat kebijakan yang menguntungkan kapitalis.
Untuk memuluskan intervensi di dunia, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, Pemerintah AS tetap akan mengandalkan dua lembaga: Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Lihat saja bagaimana pertemuan G20 di Washington yang menegaskan tetap memegang komitmen mekanisme pasar. Begitu juga pertemuan APECs di Lima-Peru yang konsisten melanjutkan liberalisasi pasar.
Melalui konsep neo-liberalis, Pemerintah AS berupaya menjajah negara-negara berkembang dengan gaya baru. Lembaga keuangan multilateral IMF dan Bank Dunia terus mendorong transaksi utang luar negeri kepada negara-negara berkembang. Cara itu untuk melanggengkan kepentingan AS dalam menguasai perekonomian nasional.
Sebagai anggota IMF dan Bank Dunia bersama 184 negara, AS memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan dua lembaga itu karena sistem pengambilan keputusan berdasarkan besarnya kepemilikan saham. Pemerintah AS memiliki saham di Bank Dunia sebesar 16,4% dan di IMF sekitar 17,10%. Padahal pengambilan keputusan setiap kebijakan di kedua lembaga itu membutuhkan persetujuan 85% suara. Praktis seluruh keputusan di IMF dan Bank Dunia berada di tangan AS. Wajar saja kedua lembaga ini digunakan sebagai alat kepentingan AS.
Dalam konsep neo-liberal setidaknya ada lima poin utama yang terus diperjuangkan AS sebagai negara pengemban utamanya. Pertama: mendorong kebebasan pasar. Untuk mencapai tujuan itu, AS berupaya membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Kemudian mereka akan membuka sebesar-besarnya perdagangan internasional dan investasi, mengurangi upah kerja dan penghapusan hak-hak pekerja.
Kedua: memangkas pengeluaran publik untuk pelayanan sosial; misalnya subsidi untuk sektor pendidikan, kesehatan, ‘jaring pengaman’ masyarakat miskin; bahkan pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih. Dengan cara ini peran pemerintah makin berkurang. Di lain pihak, mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.
Ketiga: paket kebijakan deregulasi. Melalui kaki tangannya, Mafia Berkeley, yang bercokol di negara-negara berkembang, Pemerintah AS akan mengurangi peraturan-peraturan pemerintah yang dianggap mendistorsi pasar dan bisa mengurangi keuntungan pengusaha; membuat kebijakan yang meliberalisasi seluruh kegiatan ekonomi, termasuk penghapusan segala jenis proteksi; membuat aturan yang memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
Keempat: privatisasi. Cara ini dianggap paling efektif menjual perusahaan milik negara kepada investor swasta. Dengan berlindung di balik alasan efisiensi, sasaran utama privatisasi adalah perusahaan plat merah strategis dan mengurusi hajat hidup orang banyak.
Kelima: menghapus konsep barang-barang publik dan menggantinya dengan “tanggung jawab individual”. Meski puluhan juta orang terdepak ke bawah garis kemiskinan, IMF dan Bank Dunia tetap memaksa Pemerintah Indonesia memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi dan menjalankan privatisasi perusahaan milik negara. Pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah.
Terbitnya Khilafah
Amerika tua terhuyung-huyung ingin mengontrol dan mengendalikannya seluruh negeri muslim, sambil memprovokasi atau melecehkan siapa yang dia kehendaki dengan menganggap dirinya sendiri sebagai pemimpin global. Hal itu tidak lain karena Amerika tidak mendapati negara yang memiliki bobot untuk menghadangnya.
Keadaan Amerika dengan negara-negara terikat dengannya itu akan terus berlanjut sampai fajar al-Khilafah menyingsing. Pada saat itu kekuatan Islam akan mendatangi mereka dari arah yang tidak mereka perhitungkan dan orang-orang yang jahat akan berbalik ke negeri asal mereka dan mereka tidak akan meraih kebaikan.
Pada dekade terakhir, kita telah melihat sebagian dari nilai-nilai inti Barat yang terkikis dan terlempar keluar atas nama terorisme: invasi ke Irak dan Afganistan, Guantanamo Bay, penggunaan senjata kimia dan praktik rendisi luar biasa yang menggantikan pengadilan atas orang-orang yang tidak bersalah hingga terbukti bersalah, dll. Krisis ekonomi global juga telah menggerogoti pasar bebas dan model ekonomi Barat. Korupsi di Amerika Serikat dan Inggris telah menggerogoti politik mereka. Semua ini menyajikan kesempatan yang ideal untuk menampilkan sistem alternatif bagi dunia. Negara-negara Eropa seperti Yunani menderita di tangan negara-negara yang lebih kaya yang berusaha untuk mempertahankan kapitalisme. Kapitalisme kini telah kehilangan otoritas moralnya. Inilah alasannya mengapa Barat sangat bersemangat untuk memastikan perubahan Islam tidak terjadi di Suriah karena akan menjadi alternatif bagi kapitalisme.
Tantangan utama yang dihadapi umat adalah upaya musuh untuk melemahkan Islam (deluting Islam) atau menerima kompromi kesepakatan, seperti yang telah terjadi di negara-negara seperti Mesir dan Tunisia. Umat harus memastikan terus tuntutannya bagi perubahan. Hal ini harus menjadi perubahan total dan bukan sekadar pergantian rezim saja.
Menurut J.O’Loughlin (2009), dalam 50 tahun terakhir terjadi siklus naik-turunnya kekuatan adidaya, yang pada puncaknya adalah timbulnya kekuatan armada laut sebagai mekanisme kendali global. Sejak kejatuhan Khilafah Uthmani dan menurunnya pamor Inggris pada awal abad 20 serta kegagalan usaha Jepang dan Jerman pada PD II untuk menjadi adidaya, kompetisi Amerika melawan Uni Soviet tampak sebagai konfrontasi sesama adidaya. Setelah kejatuhan Soviet, Amerika mencapai puncak kepemimpinan dengan mengendalikan negara besar lainnya dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, setelah 15 tahun mendominasi, kepemimpinan Amerika pun mulai dipertanyakan, dan persaingan adidaya bisa menjadi kenyataan kembali.
Dengan menunjukkan realita yang ada sekarang, intelijen Amerika menganggap bahwa tuntutan umat Islam untuk menginginkan Islam kembali adalah bentuk ancaman terhadap keamanan dan kepentingan Amerika. Perjuangan politik dan ideologi (bukan kekerasan) yang dilakukan oleh aktifis umat Muslim telah mencapai titik bahwa tuntutan terhadap Khilafah dan syariah adalah ancaman ideologis terserius yang Amerika pernah hadapi. Bekas Wakil Presiden Amerika Dick Cheney pada tanggal 23 Februari 2007 secara jelas menyatakan, “Mereka memiliki tujuan untuk menegakkan Khilafah yang berkuasa dari Spanyol, Afrika Utara, melewati Timur Tengah, Asia Selatan hingga mencapai Indonesia—dan tidak berhenti di sana.”
Pada akhirnya, dengan kenyataan yang ada dan berbagai pernyataan dari Barat, maka situasinya adalah menjajaki kondisi Dunia Islam seperti populasi, umat beragama, kekuatan dan keragaman budaya, besaran dan kendali terhadap benua, ekonomi dan militer, kemauan politik, dan kekuatan ideologi guna mengevaluasi apakah penyatuan umat Islam di bawah satu Khilafah merupakan kemungkinan realistik. Dengan demikian, Khilafah State bisa bangkit sebagai negara utama, unik dan global pada abad 21.
Saatnya kita untuk tidak melanjutkan racun kapitalisme yang dijalankan para rezim yang anti rakyat, yang membawa bencana. Sistem jahat yang melemparkan Islam sejauh-jauhnya, suatu sistem yang membuat umat Islam menghamba kepada kekuasaan kolonial, suatu sistem yang berbuah pahit yang kita rasakan terlalu lama. [VM]
Posting Komentar untuk "Menggugat Sistem dan Rezim Teror!"