Ambisi Srikandi Penopang Ekonomi
Peran perempuan tidak bisa dipandang remeh dalam pembangunan ekonomi, baik skala dunia hingga pedesaan. Pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah di dunia secara alami bahkan tidak menafikan peran perempuan di dalamnya. Dari sisi kapitalisme, perempuan dianggap ‘berdaya’ bila ia mampu mandiri di sektor ekonomi, berkiprah mengentaskan kemiskinan dalam masyarakat dan ikut serta menopang nafkah hidup keluarga. Hal ini membuat saya berpandangan betapa seorang perempuan akhirnya diposisikan sebagai superwoman dalam multitask yang harus ia tangani dalam kehidupan. Tidak capek?
Dunia menggalakkan pertumbuhan ekonomi inklusif dengan tidak menafikan peran perempuan. UN Women pada 15 Juli 2016 berkampanye dengan meluncurkan Global Coalition of Young Women Entrepeneurs (Koalisi Global Wirausaha Perempuan Muda). Nampaknya dunia memandang bahwa selama ini terjadi ketimpangan ekonomi dalam diri perempuan, yang berakibat dalam pengambilan keputusan pun perempuan dianggap terpasung. Saya simpulkan bahwa perempuan mandiri dalam materi maka ia memiliki peluang yang lebih besar meraih hak untuk mengambil berbagai keputusan di berbagai ranah hidupnya. Artinya kemandirian ekonomi perempuan adalah salah satu upaya menuju kesetaraan jender (gender equality).
Pemerintah pun memandang dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) adalah kegiatan ekonomi yang produktif & inklusif serta pas untuk para perempuan. Mengapa pas? Mengutip dari pernyataan Menteri Koperasi & Usaha Kecil Menengah Syarif Hasan dari Tempo.co (15/01/2014), “Kaum perempuan merupakan kelompok yang pro aktif dan dalam situasi tertentu memiliki keberanian mengambil inisiatif.” Demikian halnya Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo. Dilansir dari kbr.id (26/08/2016) ia menyatakan, “Kami ingin menggarisbawahi dua kalimat kunci, yakni pengembangan UMKM dan pengembangan ekonomi kreatif. Di dua area ini, Indonesia mempunyai potensi yang besar sekali, khususnya di kaum wanita Indonesia. Apabila kaum wanita Indonesia bisa meningkatkan rata-rata produktivitasnya, maka akan memberi sumbangsih tiada tara untuk Indonesia.”
Pembangunan ekonomi inklusif menjadi harapan baru bagi Indonesia untuk menambah pertumbuhan ekonomi. UKM & UMKM merupakan unit kegiatan ekonomi yang menjadi harapan besar. Fokus penggarapan adalah pada bidang kuliner, kerajinan tangan (handicraft) & garmen. Berbicara tentang suntikan dana, di sini pemerintah bersama berbagai organisasi perempuan yang fokus pada pemberdayaan ekonomi perempuan bekerja sama dengan pihak-pihak rente dunia – IMF, WTO, Bank Dunia melalui Financing for Development. Demikian halnya kemitraan dengan CSR dari perusahaan – perusahaan swasta. Jelas bahwa no free lunch dalam tatanan ekonomi kapitalis global. Berdirinya kredit usaha rakyat, bank perkreditan rakyat, koperasi simpan pinjam adalah perpanjangan tangan dari para rente dunia ini. Bunga kredit menjadi harapan untuk menyegarkan ekonomi yang kolaps, ditambah dengan pajak yang juga disasarkan kepada pelaku UKM & UMKM. Saya akhirnya terbayang bagaimana jika pebisnis menengah & mikro ini termasuk para perempuan ternyata menjadi ‘sapi perah’ para kapitalis walaupun disematkan label ‘entrepreneur sejati’ pada para pebisnis tersebut.
Hal yang menarik pernah pula diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagaimana dilansir dari cnn.indonesia.com (16/12/2015), “Kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial, kalau diteruskan, berbahaya dan akan kemungkinan menjadi bahan bakar bagi tumbuhnya masalah sosial, termasuk radikalisme, ekstremisme dan yang lebih ke sana lagi, terorisme.” Mungkin maksud dari presiden, dengan menyibukkan rakyatnya tak terkecuali perempuan dalam kegiatan UKM & UMKM maka perhatian rakyat teralihkan dari ide-ide radikal yang berpotensi memicu terorisme. Sayangnya, justru para pebisnis akhirnya dibuat lupa akan ‘Aturan Langit’. Aktivitas riba pun akhirnya mereka ‘halal’kan.
Laju produksi ekonomi yang optimal memang menjadi sebuah keharusan demi hidupnya perekonomian. Namun bila membiarkan sudut pandang kapitalisme membahas produksi, konsumsi & distribusi menjadi satu kesatuan maka jelas pemenuhan kebutuhan individu rakyat dan inklusivitas ekonomi tidak mampu terpenuhi secara optimal. Persaingan yang ketat dari produk UKM & UMKM di kelas nasional hingga internasional adalah salah satu contoh. Disini para pelaku bisnis dibuat sibuk dengan aktivitas produksi guna memenuhi kebutuhan kolektif. Di satu sisi produk-produk UKM & UMKM justru malah memperbesar cengkeraman gurita bisnis Trans National Corporation (TNC). Naik kelasnya produk lokal produksi UKM & UMKM bahkan hingga mendunia memang sebuah kabar gembira namun sebaiknya jangan gembira dulu bila sistem ekonomi baik makro & mikro masih dalam cengkeraman sistem kapitalisme.
Akhirnya saya menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dalam keterlibatan perempuan dalam UKM-UMKM, karena sebenarnya dalam aktivitas perekonomian dunia termasuk negara, pelaku bisnis tidaklah memandang jender. Di satu sisi bahkan membantu pemerintah membuka lapangan pekerjaan bagi rakyat, walaupun sebenarnya hal ini merupakan tanggung jawab negara. Namun sejatinya para perempuan harus paham bahwa terjunnya mereka ke dalam kancah UKM-UMKM tidak berarti kemudian menerima kredit modal ribawi yang ditawarkan, jangan sampai pula kesibukan berbisnis melalaikan perannya sebagai ‘anak’ bagi orang tuanya, istri & ibu bagi keluarganya serta kewajibannya sebagai muslimah kepada Allah SWT. Poin yang paling penting adalah perempuan tidak wajib menafkahi keluarganya, sebab bila ia belum menikah maka orang tua/wali yang wajib menafkahinya dan suaminya sebagai kepala keluarga berkewajiban menafkahinya bila perempuan tersebut sudah menikah.
Sebagai pelaku bisnis, perempuan juga harus memahami bahwa peran UKM & UMKM bukanlah tulang punggung bagi negara tetapi sebagai penunjang berputarnya roda ekonomi dunia termasuk negara guna memproduksi barang-barang kebutuhan individu rakyat.
Pemulihan ekonomi yang optimal akan sulit tercapai apabila masih bersikukuh dalam cengkeraman kapitalisme global. Apalagi bila tetap bertahan pada aplikasi teori Tickle & Down Effect yang diasumsikan oleh para ekonom Kapitalis mampu menyelesaikan kemiskinan dengan bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu bila perempuan tidak jeli dan terhipnotis dengan titel entrepreneur, maka ia akan merasa baik-baik saja menggunakan modal kredit ribawi, pasrah terbelit hutang ribawi, merasa bangga mandiri dalam pemenuhan ekonomi dan sibuk dengan bisnisnya hingga tak segan mengambil keputusan untuk tetap ‘stay single – single relationship ataupun single parent’. Demi pemenuhan ekonomi justru diri ikut tergadai. Kondisi seperti ini jelas sungguh mengenaskan!
Saya di sini menegaskan bahwa walaupun kini dunia masih dibelit dan dicengkeram oleh sistem kapitalisme maka bila memang berniat atau sudah menjadi pebisnis/entrepreneur salehah, tentu harus bersih dari aktivitas ribawi dan sesuai dengan syariah selain itu mengkaji bagaimana tatanan ekonomi Islam dan aplikasinya dalam kehidupan bahkan memperjuangkannya agar perekonomian Islam bisa diterapkan secara sempurna. Insya Allah, hal ini hanya akan bisa diwujudkan secara totalitas bila tatanan kehidupan berdasarkan Sistem Islam. Wallahu’alam bish shawab. [VM]
Posting Komentar untuk "Ambisi Srikandi Penopang Ekonomi"