Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mencermati New World Order China


Oleh : Umar Syarifudin – Syabab HTI 
(Pengamat Politik Internasional)

Berbicara tentang tranformasi China menjadi kekuatan ekonomi dan menerjemahkan kekuatan ekonomi itu menjadi kekuatan militer yang bisa mempertahankan kepentingan-kepentingan ekonomi dan perdagangan China. China mengembangkan perekonomiannya melalui dua tahap: pertama, reformasi pedesaan. Kedua, industrialisasi pedesaan dan reformasi perusahaan.  Hal itu didukung oleh beberapa faktor diantaranya upah buruh lokal yang murah, penguasaan teknologi maju dari barat – teknologi maju dirahasiakan- dan Rusia, urbanisasi yang cepat, eksport yang digerakkan oleh industri dan penjualan barang-barang murah ke seluruh dunia.  Sebagian besar ekspor industri China adalah ke Jepang dan Jerman.

Pada konteks ekonomi tampak bagi seluruh dunia bahwa perekonomian China telah melewati badai finansial dengan lebih baik dari Amerika dan Eropa.  Oleh karena itu, para pemimpin politik dan ekonomi Amerika menyerang kebijakan Beijing secara agresiv terkait masalah penjagaan nilai kurs Renminbi (Yuan) yang rendah.  Mereka percaya hal itu akan menyakiti prospek ekonomi Amerika untuk bangkit dari sakit dan membahayakan kemampuan Amerika untuk bersaing di pasar global. 

Pertumbuhan ekonomi yang stabil mendorong China terus memperluas investasinya. China telah menyiapkan dana investasi senilai € 10 miliar euro atau setara dengan US$ 11,15 miliar untuk investasi di Eropa.Dana tersebut untuk membiayai proyek-proyek di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, Minggu (6/11), dana tersebut akan dikucurkan melalui Commercial Bank Of China.

 Dana investasi China untuk Eropa Timur dan Eropa Tengah tersebut akan dikelola The Sino CEE Financial Holdings, perusahaan yang didirikan oleh Commercial Bank Of China. China Life Insurance dan Fosun Grup akan terlibat dalam pengelolaan dana ini. Dikutip dari China Daily, Sino CEE khusus didirikan dalam rangka kerjasama antara China dengan 16 negara di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Tak hanya mendanai proyek, Sino CEE juga menjadi lembaga yang menawarkan layanan keuangan lainnya,  termasuk kemungkinan investasi efek.

Ke depan, investasi terbuka tidak hanya di Eropa Tengah dan Eropa Timur namun juga negara lain. CEE Financial Holdings resmi diluncurkan Perdana Menteri China Li Keqiang selama kunjungannya ke Riga, Latvia, Sabtu (5/11). Sementara ini, proyek yang dibiayai baru sebatas di Eropa Tengah dan Eropa Timur. Namun tidak menutup kemungkinan merambah wilayah lain di Eropa. Meski dana disokong Pemerintah China, namun tetap beroperasi di bawah prinsip-prinsip bisnis dan aturan main pasar. Eropa Tengah dan Eropa Timur telah menjadi bagian dari pintu gerbang investasi China ke Uni Eropa. Negara Tembok Besar ini berharap mendapat pasar baru ekspor di tengah ekonomi domestik yang tengah melambat. Wakil Menteri Perdagangan China Gao Yan mengatakan,  perusahaan China telah menginvestasikan lebih dari US$ 5 miliar di kawasan Eropa Tengah pada tahun lalu. Pembatasan investasi China di beberapa sektor oleh Jerman membuat China lebih banyak menempatkan investasinya ke Eropa Timur dan Tengah.

Kekuatan Baru

Setelah kemajuan yang dicapai China, Amerika mulai menghembuskan racun kebencian terhadap China melalui berbagai media Amerika. Penulis terkenal Amerika, Thomas Friedman berkata: “Sesungguhnya peristiwa terbesar yang terjadi dalam dekade pertama abad kedua puluh satu adalah lompatan China yang jauh ke depan.” Ia menambahkan: “Ketika para pemimpin negara Naga itu menyadari betul pentingnya dan kebutuhannya akan kekuatan teknologi. Mereka menemukan kesempatan dan tidak menyia-nyiakannya. Sedang Barat dan Amerika Serikat sibuk berusaha mereformasi Afghanistan.” Friedman  mencemooh usaha yang gagal ini, dan dengan sinis ia berkata: “Sebuah perjalanan yang sukses”.

Suka tidak suka, China adalah kekuatan baru negara adidaya. Meski punya militer yang cukup kuat - yang mampu menahan manuver AS di Laut Cina Selatan (LCS) untuk saat ini - namun bagi Beijing, ekonomi adalah senjata utama. One Belt One Road (OBOR) adalah salah satu inisiasi China untuk mewujudkan area perdagangan trans-Asia - sebagai antidot Trans-Pacific Partnership (TPP) yang digagas AS. OBOR meghubungkan China dengan Jalur Sutera baru yang dibangun melalui Asia Tengah, hingga Mediterania melalui Syria dan Lebanon, yang saling melengkapi visi Eurasia milik Putin. Yuan kini juga menjadi salah satu mata uang resmi IMF, yang membuatnya harus ada di tiap bank sentral negara-negara yang terkait di dalamnya dan memiliki potensi besar untuk menggeser dolar dalam beberapa kasus perdagangan.

Masalah utama kedaulatan perekonomian China adalah bagaimana menjaga kurs mata uang China Renminbi (juga dikenal dengan Yuan) pada tingkat tertentu terhadap Dolar Amerika sehingga bisa menjamin ekspornya akan tetap (harganya) murah dan atraktif mendorong negara-negara di seluruh dunia mengimpor dari China.

Bank Sentral China juga mengembalikan dolar yang diperolehnya ke perekonomian Amerika Serikat melalui pembelian surat utang Amerika Serikat.  Dengan jalan ini pemerintah China mampu menghalangi naiknya nilai (kurs) mata uangnya terhadap dolar.  Dengan jalan ini China menjadi negara utama pemberi utang kepada Amerika Serikat. Washington menyadari hal ini, namun untuk bereaksi keras akibat dolarnya diganggu - seperti pada Saddam dan Khadaffi - efek domino dari aksi serupa akan membuat AS sendiri runtuh. Bagi AS, untuk saat ini, China merupakan 'teman' yang menyusahkan.

Washington memandang Indonesia memiliki peran besar di kawasan Asia Tenggara dan negara-negara anggota ASEAN. Karena itu, sejumlah kalangan analis AS mengatakan Washington akan terus mendukung Jakarta. Apalagi Menlu RI terus mendorong para pemimpin negara kawasan Asia Tenggara untuk menjalin kerja sama erat. Namun, China adalah negara pertama yang menjalin kemitraan strategis dengan ASEAN. Dalam berbagai kesempatan China menegaskan ASEAN adalah mitra dalam derap diplomasinya dan mendukung komunitas ASEAN untuk bersama-sama memelihara perdamaian dan stabilitas kerja sama keamanan kawasan.

Amerika Serikat menurunkan kemampuan China dalam memainkan peran lebih besar di dalam urusan-urusan kawasan dan global.  Amerika bekerja agar pemerintahan China terus disibukkan oleh berbagai persoalan dalam negeri dan luar negeri yang terjadi di sekitar China.  Dan berikutnya bisa diekploitasi masalah HAM berkaitan dengan perlakuan China terhadap Tibet dan Xinjiang untuk menentang Beijing.  Amerika juga memanfaatkan masalah Taiwan, Korea Utara dan keamanan di kawasan Asia Pasifik untuk menjamin penyerapan tenaga para politisi China dan menyibukkan mereka dengan berbagai persoalan yang tiada putusnya.

Keterlibatan China di Suriah memang tidak sebesar Rusia. Hal yang bisa dipahami mengingat Beijing terang-terangan menolak kebijakan Moskow untuk ikut berperang di Syria sejak awal. Dan perlu dicatat bahwa meski China mendukung sepenuhnya pemerintahan Syria yang sah, namun dengan visi ekonomi yang begitu besar di kawasan, China juga tak siap untuk bermusuhan dengan Saudi dan Qatar, yang akan menjadi elemen krusial dalam Jalur Sutera barunya. 

Dalam kasus Crimea, Beijing terjebak dalam situasi 'damned if you do, damned if you don't'. China bisa menghitung kesusahan yang dialaminya jika all-out mendukung Rusia, namun juga tak siap bermusuhan dengan Moskow. Tibet juga bisa menjadi bumerang jika Beijing salah mengambil keputusan dan tentunya, rencana penjualan senjata AS ke Taiwan juga menjadi pertimbangan khusus. Belum lagi jika kita bahas Xinjiang. Kasarnya, China dan hampir setiap negara lainnya mempunyai perhitungan untung-rugi sendiri, terutama jika dikaitkan dengan keputusan geopolitik yang memiliki implikasi mendalam ke dalam negeri. Semuanya berakar pada kepentingan dalam negeri, dengan faktor sejarah dan ideologis.

Grand Strategy

Maka memasuki abad ke 21, tampaknya Cina tak main-main dalam upaya mengembangkan (geo) strateginya terutama dalam rangka mengamankan berbagai  kepentingan nasional yang mana salah satu yang urgen ialah energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi), mengingat Cina masih tergolong net oil importer sepertinya halnya Indonesia, yaitu negeri yang memiliki ketergantungan terhadap negara lain atas kebutuhan (impor) minyak dan gas (migas), kendati impor migas Indonesia semata-mata karena salah (urus) kelola saja, namun tak dibahas pada tulisan ini.

Program spektakuler pun ia langkahkan dengan rencana membangun dua kanal (terusan) sekaligus di dua benua berbeda. Pertama, rencana ‘memotong’ (membuat kanal) di Brito, Nikaragua; dan kedua, menerabas (dan membangun) Terusan Isthmus, Thailand. Ini sungguh luar biasa. Kanal di Nikaragua akan menyambungkan dua samudera yaitu Lautan Atlantik dan Pasifik, sedang Kanal Isthmus di Thailand bakal menghubungkan antara perairan Cina Selatan, Teluk Thailand dan Lautan Hindia.

Wang Jing, Senin (22/12/2014),  Presiden HKND Group, perusahaan Cina yang dipercaya membangun terusan ini mengatakan, bahwa kanal ini akan masuk dalam sejarah. Ya. Terusan sepanjang 200-an kilometer (km) yang pembangunannya memakan biaya sekitar USD 50 miliar atau sekitar Rp 600-an triliun dipastikan akan beroperasi dalam lima tahun ke depan (sekitar tahun 2020). Nantinya, ia akan lebih dalam dan lebih lebar daripada Terusan Panama.

Berbeda dengan panjang Kanal Brito di Nikaragua (200-an km), Kanal Isthmus meski hanya 100-an km ---bila sudah beroperasi kelak akan mempersingkat jarak tempuh 1.000-an km dibanding jalur pelayaran sebelumnya yang melintas dari Laut Cina via Selat Malaka ke Teluk Thailand, Lautan Hindia dan sekitarnya. Adapun badan hukum yang dipercaya untuk membangun Terusan Isthmus adalah perusahaan plat merah Cina yaitu Liu Gong Machinery Co. Ltd dan XCMG, serta perusahaan swasta Sany Heavy Industry Co. Ldd.

Terkait alasan rencana pembangunan Kanal Isthmus, data-data China Daily Mail menyatakan bahwa pelayaran melalui Selat Malaka dinilai dua kali lebih berbahaya daripada  pelayaran via Terusan Suez di Mesir, bahkan empat kali lebih berbahaya dibanding lintasan Terusan Panama di Amerika Latin.

Berikutnya, meski ada lima samudera di dunia, namun hanya tiga yang sangat populer di kancah politik global yaitu Atlantik, Pasifik dan Lautan Hindia. Itulah yang diincar adidaya-adidaya dunia oleh sebab dominannya pelayaran internasional melalui jalur-jalur tersebut. Sedang Lautan Artik dan Antartika kurang ‘moncer’ di mata global karena faktor alam serta kharateristiknya kurang bersahabat bagi dunia pelayaran.  

Sejalan dengan ajaran Mahan, lalu selaras pula dengan data-data hampir 80% perdagangan dunia melalui perairan, agaknya geopolitical shift dari Atlantik ke Pasifik sebagai isue aktual abad ke 21 ini mampu disikapi secara cerdas oleh Sang Naga ---sebutan lain Cina. Ia kini, tengah membesarkan armada lautnya agar meraih level Blue Water Navy sebagaimana AL-nya Inggris, atau selevel AL Paman Sam yang mampu menjelajah lautan lepas berhari-hari, bukan sekedar kelas Brown Water ataupun Green Water Navy yang daya jelajahnya hanya 200-an mil/370 km saja.

Selain pengembangan peralatan militer Cina baik secara kuantitatif maupun kualitatif relatif signifikan, anggaran militer pun naik empat kali lipat antara USD 90-120 miliar (2011). Ini merupakan anggaran militer terbesar kedua setelah AS. Ia kini terlihat aktif meningkatkan diplomasi militer dengan berkunjung ke 14 negara seperti Vietnam, Myanmar, Nepal, Belarus, Singapore, Philipina, dll juga tak kalah penting, Cina ikut serta pada latihan-latihan militer bersama dengan negara lain termasuk di Pakisan dan Indonesia.

Dari sisi geopolitik terutama sisi ideologi, politik dan keamanan, Cina kini mengubah orientasinya via penerapan sistem one country and two system yaitu elaborasi dua ideologi (kapitalis dan komunis) hidup berdampingan. Dengan perkataan lain, model ekonomi boleh mengadopsi dan beperilaku sebagaimana kapitalisme, namun sistem politik tetap dalam kendali komunisme cq Partai Komunis Cina (PKC).

Tidak kalah penting adalah penguatan String of Pearls. Inilah strategi handal Cina di perairan dalam rangka mengamankan energy security melalui pembangunan pelabuhan-pelabuhan di koridor String of Pearls, termasuk pengawalan ketat terhadap lalu-lalang ekspor impornya di perairan. Demikian sekilas langkah dan strategi Cina terkait perkembangan dinamika politik khususnya dalam menyikapi pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik.

Topik Kanal Isthmus telah dibahas sekilas pada awal tulisan ini, selanjutnya kini mengulas sedikit seluk beluk Terusan Brito di Nikaragua. Tanah genting yang akan dibelah oleh sang Naga.

Dalam prinsip kapitalis, setiap pembangunan pasti membawa korban, setiap tujuan (politik) niscaya ada tumbal. Hal ini jamak dalam dunia politik pragmatis. Ada gejolak masyarakat di sekitar Kanal Brito. Meski Pemerintah Nikaragua mengatakan, bahwa proyek ini akan mengangkat mereka dari kemiskinan, namun para warga yang tidak setuju pembangunan terusan ini mengatakan, selain jalur pelayaran ini nantinya merusak lingkungan, kemanfaatan ekonominya diragukan, juga ribuan warga yang tanahnya terkena proyek ini melancarkan protes dan mengklaim bahwa mereka mendapatkan ganti rugi uang yang tidak sesuai dengan harga pasar. Itulah contoh tumbal politik atas suatu keputusan atau kebijakan politik.

Bahwa (rencana) pembangunan terusan sepanjang 200-an km yang prakiraan biaya sebesar USD 50 miliar atau sekitar Rp 600-an triliun dengan target tahun 2020 selesai, secara fisik kanal tersebut akan lebih dalam, lebih lebar dan lebih panjang daripada Kanal Panama itu sendiri. Boleh ditebak bersama, seperti halnya Kanal Isthmus di Thailand yang diramal dapat ‘mematikan’ Selat Malaka secara geopolitik, Terusan Brito pun tampaknya demikian, artinya selain bakal menjadi pesaing utama bagi kanal yang berdiri dekade 1994-an, Brito juga berpotensi ‘membunuh’salah satu sumber (devisa) dari Pemerintah Panama.

Di Selat Malaka, keberadaan USS Freedom cukup mengganggu secara psikis, terutama jika kelak meletus friksi (militer) terbuka antara kedua adidaya, maka pelayaran di Selat Malaka bakal mengendala bagi hilir mudik kapal-kapal Cina, mengingat selama ini (Cina) telah merajut hubungan baik tak hanya dengan Thailand, tetapi juga dengan beberapa negara ASEAN lain. Itulah urgensi dibangun Kanal Isthmus oleh Cina.

Bagi China, makna strategis selat tersebut meningkat setiap tahun. Betapa sekitar 80% impor minyak mentah Cina berasal dari Timur Tengah melintas di Selat Malaka, dan diprakirakan angka persentasenya akan meningkat lagi pada tahun 2015. Juga minyak dari Teluk Persia dan Afrika dikirim ke Cina melalui Jakarta (Selat Sunda), Selat Lombok, Selat Makkasar, dll. Media-media Cina memberikan perhatian serius soal malacca dilemma, bahkan salah satu pimpinan media menyatakan, "Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa siapa pun yang mengendalikan Selat Malaka juga akan memiliki cengkeraman pada rute energi Cina" (China Youth Daily, 15/6/ 2004).

Hal lain yang tak boleh dipungkiri, bahwa nilai perdagangan Cina dengan ASEAN meningkat dari USD 54,8 miliar (2002) menjadi USD 443,6 miliar (2013). Dalam jangka waktu 10-an tahun ia mampu menaikkan delapan kali lipat. Menakjubkan. Sementara pada periode sama, nilai investasi Cina di kawasan tersebut juga meningkat sebesar USD 100 miliar. Prakiraan nilai investasi dan perdagangan Cina niscaya akan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring beroperasinya fee trade agreement di ASEAN dan di berbagai kawasan lain dalam payung World Trade Organization (WTO).  
Sebenarnya, tidak cuma Cina yang akan diuntungkan dengan keberadaan Kanal Isthmus, beberapa negara industri seperti Jepang, India, dll yang sering melintas di Selat Malaka juga akan diuntungkan karena jarak yang relatif lebih dekat jika menuju Lautan Hindia – Laut Cina dan sekitarnya. Selain Thailand itu sendiri, Vietnam pun bakal ketiban berkah. Kota di bagian selatan Vietnam seperti Can Tho akan menjadi pelabuhan transisi di antara Teluk Thailand dan Laut Cina Selatan. Dengan demikian, secara politis, rencana Cina membangun Terusan Isthmus akan didukung sepenuhnya oleh negara-negara sekeliling terutama negara yang sebelumnya kerap melintas di Selat Malaka.  

Sebuah Tantangan 

Sebelum China bisa menggertak Amerika Serikat, China harus mengatasi sejumlah tantangan dalam negeri, yaitu: fokus berlebihan terhadap ekspor, dan ancaman perekonomiannya mengalami pelambatan. Masalah makin kecilnya angkatan kerja, akan tetapi masalah pemeliharaan orang-orang yang sudah pensiun juga akan menjadi permasalahan sosial yang besar.

 Beijing belakangan bersikap melawan Amerika Serikat dan Barat di PBB dan memveto resolusi Dewan Keamanan terkait Suria.  Pada saat yang sama, kekuatan militer China belum sanggup menghadapi Amerika Serikat.  Namun kekuatan militer China tetap siap untuk menghalangi sampainya kapal perang Amerika ke sebagian jalur perairan dan pelabuhan -awal dari semacam doktrin Monroe untuk China-.  Pada saat yang sama, Amerika Serikat bekerja menilai permusuhan China yang belakangan terbongkar.  Amerika Serikat siap menggunakan semua resourcesnya untuk menghalangi China menggantikan posisinya pada dekade mendatang. 

Tantangan terbesar jauh melampaui AS adalah berdirinya Khilafah Islamiyah. Di China sendiri, pertumbuhan gerakan yang mengingkan syariat Islam ditegakkan melalui Khilafah Islamiyyah seperti Hizbut Tahrir  tumbuh dengan pesat. Sampai-sampai beberapa pihak khwatir atas pesatnya dakwah yang diemban oleh para aktivis Hizbut Tahrir di negeri tersebut. China menghendaki pelarangan atas Hizbut Tahrir, namun gerakan ini tak pernah menggunakan kekerasan dalam perjuangannya. Pemerintah China telah memperingatkan sebuah gerakan Islam global sebagai salah satu musuh baru di Xinjiang. Ini membuktikan rejim China secara kejam telah menindas warga Musim dibawah jubah “perang melawan teror”. Masjid-masjid telah dimusnahkan, para Imam ditahan untuk berhaji ke Makkah dan kaum Muslim dintimidasi.

Pemerintah China akan terus berlanjut untuk mencegah, memenjarakan, menyiksa, dan mengintimidasi kaum Muslim di China, tidak lebih dari menyaingi model pemerintah Barat yang telah konsisten menggunakan “war on terror” untuk membisukan penolakan politik dan penyerangan mereka atas dukungan yang terus tumbuh terhadap Khilafah di dunia Muslim.

Ketika Khilafah Tegak, memungkinkan memaksa China merubah perilakunya terhadap kaum muslimin di Turkistan Timur dan juga terhadap kaum muslimin yang hidup di bagian lain dari China.  Wilayah Turkistan Timur merupakan pintu gerbang untuk menyampaikan Islam ke China.  Pintu gerbang lainnya adalah Taiwan.  Jika Taiwan dikuasai oleh daulah al-Khilafah maka Taiwan akan menjadi semacam pengangkut pesawat yang tidak bisa ditenggelamkan dan bisa digunakan untuk mengekspos kekuatan al-Khilafah terhadap daratan China dan laut China selatan.  Hal itu masih ditambah dengan dekatnya Indonesia dan Malaysia.  Semua itu akan memberi kekuatan besar kepada daulah al-Khilafah di kawasan Asia Pasifik. [VM]

Posting Komentar untuk "Mencermati New World Order China"

close