“Seseorang yang Berprofesi Sebagai Pencuri Pasti Memiliki Hati yang Tidak Mudah Terkejut”


Oleh : Iit Supriatin

Adalah Buni Yani, seorang netizen yang beprofesi sebagai dosen di London School of Public Relation [LSPR] Jakarta, nama yang saat ini paling hangat dibicarakan, yang bermusabab aduan sekelompok pihak atas video unggahannya, mengharuskannya ‘meramah-tamahi’ ranah hukum dan membawanya menjadi tersangka. 

Pada video yang menjadi viral dengan durasi 31 detik tersebut, dalam transkripnya Buni Yani menuliskan, “Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu enggak bisa pilih saya. Dibohongin pakai surah Al-Maidah 51, macam-macam itu.” Kata Ahok kepada warga Kepulauan Seribu ketika itu.

Apabila kita putar dan simak rekaman videonya, sekilas tak ada kesalahan dalam tulisan, -yaitu yang kini diperkarakan-, yang Buni Yani bubuhkan dalam transkrip video berisi potongan pidato yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kunjungannya ke Kepulauan Seribu tersebut.

Secara eksplisit, apa yang Ahok sampaikan jelas tendensinya mengarah ke indikasi meng-under estimate kitab suci Al Qur’an surat Al-Maidah ayat 51. Maka bak api dalam sekam, sontak buah tutur Ahok pada video tersebut membuat Ummat Islam meradang dan berang. Puncaknya, pada tanggal 4 November 2016 Aksi Bela Qur’an secara massif dilakukan di depan Istana kepresidenan. Pada aksi damai yang dipimpin oleh Habaib, para Ulama dan tokoh Islam serta diikuti jutaan peserta aksi ini, mereka menuntut proses hukum terhadap Ahok terkait pasal 156a KUHP dan UU Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. 

Aksi 411 terjadi efek dari unggahan video Buni Yani. Demikian statement viral sekelompok orang yang disinyalir sebagai kelompok yang pro Ahok. Buni Yani dianggap sebagai orang paling bertanggung jawab dalam menyulut kemarahan publik dan kericuhan pada aksi damai 4 November lalu. 

“Saya bukan orang yang pertama kali meng-upload video. Saya mendapatkan dari media NKRI, jadi sama sekali bukan saya.  Sebelum media NKRI, di-upload di website Pemda [DKI Jakarta].”  Tutur Buni Yani saat gelar konferensi pers di Jakarta pada Senin 7 November 2016 dalam penjelasannya mengenai video unggahannya tersebut.

Kelompok relawan Ahok-Djarot kemudian menambahkan bahwa pangkal kericuhan terjadi karena adanya kesalahan teks pada isi transkrip video. Hal inilah katanya yang akhirnya membuat Ummat Islam marah. Maka atas hal ini pula, mereka melaporkan Buni Yani dengan tuduhan melanggar pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Secara argumentatif, statement-statement diatas dengan gamblang bisa kita maklumati sebagai babak baru perebakan isu. Sebuah drama defense-attack yang pengembangannya akan dibuat pelik dengan alur yang sangat rumit. Dialog-dialog improvitatif yang sarat intrik, konspirasi-konspirasi dengan representasi ter-skript, tak ayal membuat logika publik dibolak balik. Digiring kepada skenario yang ter-ingini dan dimaklumati dengan scene-scene apik yang ter-rencanai. Memasuki babak klimaksnya nanti, biasanya akan muncul segmen fragmentasi sekual politik yang lazimnya di dominasi kaum birokrat dan para pejawat kuat. Dalam domainnya yang terbatasi, seorang tokoh minoriti akan susah sekali untuk berkutat,  sehingga supaya genderang ini bisa termenangi di tuntut untuk memiliki banyak maneuver strategi dan backing yang lebih tinggi.

Selalu saja ada cerita yang dibuat ‘seru’. Lalu, bagaimana kira-kira akhir cerita Ahok dan Buni Yani dalam supremasi hukum di negeri drama ini? Siapa yang keluar sebagai pemenang? Dan siapa pula yang nantinya jadi pecundang? Akankah cerita ini menjadi drama pengganti serial tipi sidang Jessica yang menyianida durasi serta minim edukasi tempo hari? Ironis, mengingat resesi moral dan defisit akhlak yang kini mejangkit di masyarakat, -terutama di kalangan kawula muda-, telah memasuki stadium final yang semestinya menjadi central concern dan mendapatkan penanganan serius dengan segera, jadi teralih dan terabaikan oleh kepentingan-kepentingan ‘pesanan’ pihak-pihak di belakang layar. 

Adalah Al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah di dalam kitabnya Ath-Thuruq Al Hukmiyyah menuturkan, ada dua orang ditangkap karena tertuduh mencuri. Seorang pejabat yang bertugas untuk memutuskan kemudian meminta segelas air kepada salah seorang pegawainya. Setelah air segelas itu diserahkan, sang pejabat lalu membantingnya dengan sengaja di hadapan dua orang tersebut. Yang seorang terkejut sementara yang lainnya terlihat tenang.

“Pergilah! Engkau telah bebas.” Kata pejabat itu kepada yang terkejut kaget. Sementar kepada orang kedua yang terlihat tenang, pejabat itu mengatakan, “Keluarkan uang yang kau curi!” Lalu ada seseorang yang bertanya “Dari mana anda bisa mengetahui hal ini?”

Dia menjawab, “Seseorang yang berprofesi sebagai pencuri pasti memiliki hati yang tidak mudah terkejut. Sementara orang yang jujur pasti akan terkejut jika mendengar suara seekor tikus di sebuah rumah. Dengan demikian, tidak mungkin ia mencuri.”

Sedikit mengutip ucapan Yusril Ihza Mahendra dalam ceramahnya di Masjid Baiturrahman, Panakukkang, Makassar, pada 11 November lalu, bahwa kasus penodaan agama ini telah menarik perhatian baik nasional maupun internasional. Penegakan hukumnya haruslah dilakukan secara benar, adil dan obyektif. Kalau salah nyatakan salah. Kalau tidak salah nyatakan tidak salah. Yusril juga menambahkan dengan mengutip al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah telah menurunkan al Kitab dan al Hikmah supaya manusia menegakkan hukum dengan adil. 

"…. Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sekelompok orang, menyebabkan kalian berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah, karena sikap adil itu lebih dekat kepada taqwa…."  [QS. Al-Maidah: 8]. Wallahu a’lam. [VM]

Posting Komentar untuk "“Seseorang yang Berprofesi Sebagai Pencuri Pasti Memiliki Hati yang Tidak Mudah Terkejut”"