Raih Keadilan dengan Hukum Islam
Jum’at, 4 November 2016 menjadi bagian dari sejarah bagi kaum Muslim di Indonesia. Ratusan ribu bahkan mungkin jutaan muslim turun ke jalan. Mereka datang dari berbagai daerah. Sebagian dari mereka ada yang menghabiskan malam di perjalanan, ada juga yang bermalam di berbagai masjid-masjid untuk menyampaikan perasaan hati mereka kepada pemerintah khususnya kepada tuan Presiden Jokowi terkait penistaan yang dilakukan oleh seorang gubernur bernama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Mereka yang datang berbus-bus itu diantaranya adalah para ulama, ajengan, pimpinan pondok pesantren, habaib, kyai dan ustadz datang dengan harapan ghirah keimanan mereka dapat direspon oleh pemerintah. Mereka bukan orang sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh umat, orang-orang alim, dan penyampai lidah umat.
Kedatangan jutaan kaum Muslim menghadap ke Istana Negara semata-mata adalah karena panggilan keimanan, tuntutan serta konsekuensi dari akidah mereka atas penghinaan yang didapat atas kitab suci Al-Qur’an. Mereka bukanlah orang-orang bayaran seperti sangkaan perempuan blonde, Sidney Jones, yang bertanya darimana dana sebesar itu didatangkan untuk membuat agenda ‘raksasa’ ini. Mereka juga bukan orang beringas seperti yang digembar-gemborkan banyak media massa yang gemar membuat cerita miring tentang umat Islam. Bahkan mereka tak rela lihat sampah berceceran. Ada pasukan pembersih sampah yang sebagai bukti kemuliaan akhlak Islam.
Menyakiti Hati Kaum Muslim
Masih dalam kondisi tersakiti karena kitab suci-Nya dihina oleh seorang kafir, namun kaum Muslim justru harus dihadapkan oleh rasa sakit kembali oleh sosok pemimpin Negeri yang justru pergi disaat jutaan kaum Muslim berbondong-bondong datang ke singgasananya. Presiden Joko Widodo mengunjungi proyek kereta api di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, usai salat Jumat di Masjid Nurul Barkah (liputan6.com). Tentulah hal tersebut mengecewakan serta melukai hati masyarakat.
Banyak pihak yang menilai sikap Bapak Presiden yang meninggalkan Istana tersebut merupakan sikap abainya seorang pemimpin atas keresahan yang dirasakan umat Islam yang tidak lain merupakan bagian dari masyarakat Indonesia. Sebab seorang pemimpin seharusnya menjadi orang nomor satu yang paling bertanggung jawab atas keadaan dan kondisi yang terjadi pada masyarakatnya.
Keabaian penguasa tersebut tidak hanya nampak pada saat aksi damai tersebut dilakukan, namun sudah terlihat dari sejak munculnya isu pensitaan agama tersebut dengan tidak cepatnya respon yang diberikan oleh jajaran pemerintahan ataupun tindak hukum oleh aparat kepolisian. Padahal sudah sangat jelas terjadi keresahan di elemen masyarakat saat beredarnya video peninstaan Al-Qur’an tersebut.
Omong Kosong Demokrasi!
Pada dasarnya, aksi damai yang dilakukan oleh kaum Muslim ini adalah efek dari lamanya respon penguasa atas kasus penistaan tersebut. Sejak awal, Pemerintah dan Kepolisian terkesan lamban dalam merespon gugatan umat terhadap Ahok. Polda Metro Jaya sempat menolak gugatan sejumlah tokoh dan elemen umat Islam dengan dalih tidak ada fatwa dari MUI. Sungguh kontras dengan tindak hukum yang dilakukan atas masyarakat kecil semisal nenek yang mencuri sandal, ataupun seorang anak yang mencuri sandal, dimana semua kasus tersebut di proses dengan sangat cepat dan tegas. Namun terhadap kasus yang dilakukan oleh seorang aparat pemerintahan justru berlarut-larut.
Melihat lamban dan alotnya proses penanganan terhadap Ahok, wajar bila sejumlah kalangan menilai ada skenario untuk menyelamatkan sang gubernur.
Inilah salah satu bukti dari ketidakadilan dalam negeri demokrasi. Aturan atau hukum yang ditegakkan didalam negeri demokrasi adalah tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Standar hukum dalam negeri demokrasi tidak menjadikan halal atau haram sebagai acuannya, maka akan menjadi sebuah dilema, bila dalam hukum yang berlaku di Neger ini pelaku harus dinyatakan bersalah terlebih dahulu dengan berbagai proses hukum yang ada sehingga pelaku bisa dijatuhkan sangsi atau hukuman. Padahal sudah sangat jelas dan nyata bahwa ucapan yang dilontarkan dari gubernur Ahok tersebut adalah perkataan yang menghina dan menistaan ayat suci al-Qur’an. Penistaan terhadap Al-Qur’an adalah sebuah kemaksiyan besar (dosa besar) yang harus diberikan sangsi serta hukuman yang keras dan tegas, sebagaimana Islam telah menerangkan dan memerintahkan dalam aturannya.
Tindak Tegas Penista Al-Qur’an!
Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)-nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, perangilah para pemimpin kaum kafir itu (TQS at-Taubah [9]: 12).
Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas kewajiban untuk memerangi setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir (Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 8/84).
Karena itu segala bentuk penistaan terhadap Islam dan syiar-syiarnya sama saja dengan ajakan berperang. Pelakunya akan ditindak tegas. Seorang Muslim yang melakukan penistaan dihukumi murtad dan dia akan dihukum mati. Jika pelakunya kafir ahludz-dzimmah, dia bisa dikenai ta’zir yang sangat berat; bisa sampai dihukum mati. Jika pelakunya kafir yang tinggal di negara kufur seperti AS, Eropa dan sebagainya, maka Khilafah akan memaklumkan perang terhadap mereka untuk menindak dan membungkam mereka. Dengan begitu, siapapun tidak akan berani melakukan penodaan terhadap kesucian Islam.
Rasulullah saw sebagai kepala Negara Islam juga pernah memaklumkan perang terhadap Yahudi Bani Qainuqa’—karena telah menodai kehormatan seorang Muslimah—dan mengusir mereka dari Madinah, karena dianggap menodai perjanjian mereka dengan negara. Tindakan tegas juga ditunjukkan oleh Khilafah Utsmani saat merespon penghinaan kepada Nabi saw. oleh seniman Inggris. Saat itu Khilafah Utsmani mengancam Inggris dengan perang jihad. Akhirnya, mereka pun tak berani berbuat lancang.
Tindak tegas dari seorang kepala Negara terhadap penista Al-Qur’an tersebut tentu hanya bisa direalisasikan bila keberadaan Negara adalah Negara yang mengambil seluruh aturan dan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah yakni menjadikan syari’at Islam sebagai acuannya dalam berhukum, sehingga akan memberikan sangsi yang tegas atas pelaku kemaksiyatan.
Inilah yang diinginkan oleh kaum Muslim dalam aksi damai yang dilakukan di beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, patut disadari dan dipahami oleh seluruh umat Muslim bahwa keadilan yang hakiki hanya bisa didapatkan bila sistem Demokrasi yang diterapkan di Neger ini di campakkan dan diganti dengan sistem shahih yakni sistem Islam dengan ditegakkannya Khilafah Rasyidah. Wallahua’lam. [VM]
Pengirim : Reisya M Darfiti, S.Pd (Alumni Pendidikan Matematika UNTIRTA, Praktisi Pendidikan, Anggota Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
Posting Komentar untuk "Raih Keadilan dengan Hukum Islam"