Suu Kyi, Nasionalisme Buta, Racun Demokrasi


Oleh : Pipit Agustin R.

Kekerasan yang terbaru ini terjadi terhadap komunitas Muslim Rohingya oleh Militer Myanmar terjadi semenjak pos polisi perbatasan telah disernag oleh orang bersenjata yang tidak dikenal. Akibat dari kejadian itu adalah sebanyak 9 orang polisi telah meninggal dunia pada tanggal 9 Oktober 2016. Beberapa pejabat Myanmar pun teloah melancarkan tuduhannya kepada militan Rohingya atas kejadian ini. Oleh sebab itu militer Myanmar telah merespon hal tersebut dengan meluncurkan operasi di beberapa desa komunitas Rohingya di negara bagian Rakhine.

Aung San Suu Kyi yang merupakan pimpinan dari faksi politik berkuasa di Myanmar dan juga peraih Hadiah Nobel Perdamaian ini telah dituduh melakukan legitimasi genosida terhadap komunitas Muslim Rohingya di Rakhine. Hal ini dikarenakan Suu Kyi yang pada saat ini mempunyai kekuasaan ini masih bersikap acuh terhadap penderitaan yang dialami oleh Komunitas Rohingya.

Tuduhan tersebut telah disampaikan oleh aktivis Hak Asasi Manusia  yang bernama David Mathieson dai Human Rights Watch atau HRW. Tuduhan ini telah muncul setelah PBB menyatakan bahwa Myanmar telah melakukan pembersihan etnis Rohingya. Terhadap militer yang membakar desa, melakukan pelecehan terhadap wanita dan juga membunuh para warga sipil Rohingya.

Pemimpin nasional tentu bekerja pada batas teritorialnya. Tapi pemimpin umat akan bekerja pada tiap jengkal bumi Allah dimana makhluk berpijak. Kebijakannya lintas benua, lintas samudera. Siap menerjang benteng teritorialnya bila dirasa umat meminta perlindungannya. Karena baginya, memperhatikan urusan umat -dimanapun berada- menjadi urusannya. Rohingnya, bukan sekedar persoalan suku/etnik dalam negeri Myanmar melainkan persoalan penyelamatan umat dari kebinasaan.

Mathieson mengatakan bawha kegagalan dari Suu Kyi berbicara dalam mendukung Rohingya ini telah membingungkan audiens internasional. Terlebih lagi Suu Kyi adalah seorang yang dipandang sebagai ikon pejuang HAM.

Mathieson mengatakan “Salah satu versi untuk menjelaskan diamnya adalah sikap ketidakpedulian, yang lain dihitung sebagai pesan terbatas, tapi yang paling mungkin adalah dia tidak memiliki kontrol atas militer Burma (Myanmar)”.

Sementara itu para peneliti di Queen Mary University London telah mengatakan bahwa diamnya Suu Kyi ini telah melegitimasi genosida dan juga berpihak kepada penganiayaan terhadap minoritas Rohingya. Militer Myanmar sendiri telah menyatakan bahwa mereka akan berperang untuk melawan pemberontakan bersenjata di wilayah Rakhine.

Pemerintah Myanmar sendiri telah menyatakan bahwa pihaknya menyangkal telah terjadi pelanggaran. Juru bicara Kepresidenan Myanmar yakni Zaw Htay telah mengatakan “Masyarakat internasional salah paham pada kami karena pelobi Rohingya mendistribusikan berita palsu’.

Maka sebagai pemimpin tertinggi suatu negara harusnya peka dan segera mengambil sikap serta tindakan atas kepedihan yang menimpa suku Rohingnya.  Kemana para pemimpin negeri-negeri muslim, khususnya Indonesia dan Malaysia sebagai tetangga dan berpenduduk muslim mayoritas? Jangankan bertindak, bicara saja tidak. Belum bicara, tidak tau mau bicara apa, atau tidak mau bicara? Betapa mereka lamban bersikap, seolah masa bodoh terhadap persimbahan darah di Rohingnya. Mengapa sinyal kemanusiaan yang adil dan beradab itu tidak menjangkau muslim Rohingnya? Apakah pagar nasionalisme telah mengurung rapat sensitivitas fitrah kemanusiaan, dan belas kasih sesama?

Sungguh, paham nasionalisme telah ditempatkan secara sengaja oleh penjajah modern (AS dan sekutunya) agar menjadi penghalang antara muslim suatu negeri dengan muslim di negeri lainnya. Lebih parahnya paham nasionalis menjadi penghalang untuk menyelamatkan umat manusia dari kekejaman oleh sesamanya. Suatu ironi, ketika pada saat yang sama merekapun meneriakkan sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

Nasionalisme ini pulalah yang menyekat-nyekat negeri Islam. Dengan alasan beda negara dan beda bangsa, dan beda kepentingan, tentara-tentara negeri Islam lumpuh untuk digerakkan membebaskan negeri-negeri Islam yang terjajah. Selalu yang menjadi alasan harus di bawah payung PBB, baru bisa digerakkan. Padahal PBB, merupakan organisasi organ penjajah Barat yang tidak pernah membela umat Islam. Sementara di depan tentara-tentara umat itu, kaum Muslim dibunuh dan dibantai. 

Ketiadaan persatuan dan kehilangan kepedulian terhadap nasib umat Islam merupakan buah nasionalisme. Ini pula yang menyebabkan kaum Muslim Rohingya menderita kepanjangan tanpa ada yang menyelamatkan. Padahal negeri Muslim Arakan ini dikelilingi negeri-negeri Islam seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Pemerintah Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta juga tidak melakukan tindakan yang serius untuk menghentikan pembantaian ini. 

Kita perlu ingatkan kembali, sesungguhnya umat Islam merupakan umat yang satu (ummatan wahidah). Rasulullah SAW menggambarkan umat Islam sebagai satu tubuh, sehingga kalau ada satu bagian tubuh umat yang sakit dirasakan sebagai rasa sakit yang sama. Derita Muslim Rohingya adalah derita kita. Tangis anak-anak yatim dan janda-janda akibat kekejaman rezim Myanmar adalah tangis kita juga. 

Sesungguhnya umat Islam memiliki puluhan juta tentara dengan persenjataan yang lengkap. Negeri Islam juga memiliki ratusan juta penduduk yang siap membantu para tentara membebaskan negeri-negeri Islam itu. Siap melaksanakan perintah Allah SWT untuk jihad fi sabilillah, merindukan mati syahid membebaskan negeri Islam. Yang tidak dimiliki umat Islam sekarang adalah negara Khilafah yang menggerakkan dan memberikan komando terhadap tentara-tentara itu. [VM]

Posting Komentar untuk "Suu Kyi, Nasionalisme Buta, Racun Demokrasi"