Ironi Festival HAM Indonesia dan Nasib Bojonegoro


(Respon Festival pada 30 November - 2 Desember 2016)

Oleh : Hanif Kristianto 
(Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia DPD Jawa Timur)

Bojonegoro senantiasa memiliki cerita. Banjir tahunan akibat luapan Bengawan Solo pun kerap menyapa. Pilkades serentak sarat money politik dan taruhan. Kekayaan alamnya (migas) belum membawa keberkahan untuk kehidupan. Bahkan yang lebih mengenaskan selama 9 bulan ada 21.230 orang pengangguran. Di tengah itu semua, Bojonegoro menjadi sasaran sebagai model kabupaten ramah HAM (Hak Asasi Manusia). Festival HAM pun dihelat pada 30 November hingga 2 Desember 2016.

Hal menarik untuk dikaji adalah apakah betul HAM mampu menyelesaiakan beragam persoalan di Bojonegoro. Ataukah HAM dijadikan sebagai alat penjajahan baru di tengah investor dan para kapital berebut untuk ekplorasi dan ekploitasi sumber daya alam? Ataukah Bojonegoro akan bernasib menjadi PAPUA kedua? Perlu diketahui, selain isu SDA di Papua, HAM dijadikan alat sebagai upaya agar Papua berpisah dari Indonesia.

HAM di Indonesia

Ide dasar HAM sengaja di hembuskan dunia internasional di negeri-negeri kaum muslim. Termasuk Indonesia. Sejalan dengan itu, HAM membonceng DEMOKRASI. Kebebasan (liberal) dan pemisahan agama dari kehidupan (sekular) menjadi dasar dari HAM dan Demokrasi. Sayang, tak banyak yang tahu dari kerusakan dua asas itu. Kebanyakan cenderung abai dan melihat dua ide itu dari kulitnya saja.

Komitmen Indonesia terkait HAM dan Demokrasi begitu kuat. Hal ini dituturkan Marty M. Natalegawa dalam suatu forum Internasional di Jenewa Swiss 28 Februari 2012:

“For Indonesia has gone through a similar process before. When we took a bold step to embrace democracy; to overhaul our system of governance; to advance human rights and fundamental freedom in every aspect of our life.”

(Karena Indonesia telah lulus suatu proses serupa sebelumnya. Ketika kita mengambil suatu langkah berani untuk memeluk demokrasi; untuk memeriksa secara seksama sistem pemerintahan kita; untuk membantu hak azasi manusia dan kebebasan pokok di (dalam) tiap-tiap aspek kehidupan kita.

It was not an easy process. The challenges were enormous. And they remain.Yet, we prevail. And we emerge stronger than ever. Today, Indonesia stands proud as an archipelago of peace. As the world’s 3rd biggest democracy. As a nation proud of its diversity. And as one of the world’s emerging economies. We are thankful that the world, too, has acknowledged our transformation. This is reflected, among others, when an overwhelming number of United Nations member States gave us their strong votes of confidence in May last year for our candidacy to the Human Rights Council.

(Itu bukanlah suatu proses gampang. Tantangan adalah mahabesar. Dan itu semua tinggal sisa. Memang bagi kita masih berlaku. Dan kita muncul lebih kuat dari sejak waktu itu. Hari ini, Indonesia berdiri bangga sebagai suatu kepulauan damai. Sebagai negara ketiga di dunia dengan demokrasi paling besar. Sebagai bangsa bangga akan keaneka ragamannya. Dan salah satu dari negara yang muncul pertumbuhan ekonominya. Kita berterimakasih pada dunia, juga, telah mengakui perubahan bentuk kita. Ini adalah dicerminkan, antar yang lain, ketika suatu jumlah berlimpahan Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi kami suara kepercayaan yang kuat mereka pada bulan Mei tahun lalu untuk pencalonan kami kepada Dewan Hak Azasi Manusia.

Di sisi lain Indonesia menerima sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh Negara-Negara lain, termasuk untuk melakukan pendidikan dan pelatihan HAM; menerima traktat-traktat internasional; mendukung pekerjaan masyarakat sipil, termasuk para pembela HAM; memberantas impunitas; dan menyelesaikan perumusan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, serta memasukkan tindak pidana penyiksaan di dalamnya, dengan berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan.

Tampaknya HAM dan Demokrasi menjadi intrumen baru dunia internasional untuk terus menyorot Indonesia, khususnya sebagai penduduk muslim terbesar. Upaya pembenturan HAM dengan pelaksanaan syariah kerap dilakukan melalui tangan-tangan LSM libeal dan lembaga resmi negara. Ujungnya, umat Islam sebagai tertuduh atas tindakan intoleransi dan mengancam keberagaman kehidupan. Dengan dalih HAM apapun SAH untuk dilakukan.

Bojonegoro sebagai Model

Di Indonesia, beberapa daerah telah menyatakan komitmennya untuk menjadi Kabupaten/Kota HAM (Human Rights Cities), antara lain Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Bojonegoro, Kota Palu, Kota Bandung, Kabupaten Lampung Timur dan lain-lain. Pada bulan Desember 2015, Kementerian Hukum dan HAM juga memberikan penghargaan kepada sekitar 132 Kabupaten/Kota yang masuk dalam kategori Kabupaten/Kota Peduli HAM dengan kriteria yang diatur oleh Permenkumham No. 25 tahun 2013.

Tema besar Festival HAM Indonesia 2016 adalah Merayakan Praktik Pancasila di Tingkat Lokal. Tahun 2016 ini Konferensi Nasional Tahunan Human Rights Cities digelar dalam format festival
dengan tujuan; 1) Memberikan tekanan pada capaian-capaian positif oleh Pemerintah Daerah; 2) Kegiatan lebih bernuansa gembira (fiesta), walaupun tetap serius, sehingga bisa menarik partisipasi warga yang lebih luas, termasuk anak-anak muda; 3) Kegiatan-kegiatan pembelajaran dan pertukaran gagasan bisa dikemas dengan kegiatan seni budaya, temuan karya, kampanye teknologi informasi, sosial media.

Kabupaten Bojonegoro merupakan Pemerintah Kabuaten/Kota yang pertama di Indonesia yang secara formal memiliki peraturan daerah yang secara komprehensif mengadopsi nilai-nilai dan standar HAM dalam bentuk Peraturan Bupati sejak bulan Maret 2015. Selain itu, Kabupaten Bojonegoro merupakan Pemerintah Daerah satusatunya di Indonesia yang dijadikan sebagai Kabupaten percontohan pelaksanaan Open Government. Kabupaten Bojonegoro juga telah memiliki berbagai pengalaman nyata yang dapat dibagi kepada daerah lain dan publik mengenai pelayanan publik, tata kelola pemerintahan terbuka, pengelolaan Migas dengan skema baru yang khas Bojonegoro, dan lain-lain. “Dari Bojonegoro untuk Indonesia” kiranya tidak berlebihan untuk diselenggarakan.
 
Penyelenggara festival HAM Indonesia 2016: 1. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro; 2. International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) ; 3. United in Diversity; 4. Compassionate Action Indonesia ; 5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); 6. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); 7. Kementerian Hukum dan HAM; 8. PUSDAKOTA Universitas Surabaya.

Agenda Terselubung

Sekilas tujuan dari festival itu tampak elok, namun sesungguhnya mengandung bahaya. Titik tekan bahayanya terletak pada liberalisasi pengelolaan MIGAS, pemberlakuan aturan yang jauh dari agama, serta dipaksa untuk mengikuti standar HAM dari asing. Nuansa penjajahan baru yang tak terasa di tengah-tengah kehidupan.

Sebelum festival dimulai, diadakan Seminar Publik terkait pengkritisan APBD Bojonegoro dinilai belum ramah HAM. Beberapa hasilnya menunjukan bahwa kesehatan yang menjadi hak dasar warga negara yang seharusnya dipenuhi pemerintah sebagai perwujudan HAM malah cenderung dijadikan lahan pendapatan. Belanja daerah yang terkait dengan indikator Kabupaten Ramah HAM secara umum masih rendah. Misalnya, alokasi anggaran untuk kebebasan berpendapat, berekspresi, dan budaya HAM serta kewarganegaraan, alokasi belanja perlindungan dari pelecehan dan kekerasan serta alokasi belanja kesetaraan gender dan hak perempuan. 
Tahun 1996, sebelum HAM ini benar-benar menjadi alat propaganda pegiatnya, Hizbut Tahrir telah menjelaskan kerusakan filosofi HAM ini dalam kutayyib (buku kecil) yang berjudul; al Hamlah al Amirikiyyah lil qadha’i ‘alal Islam/Serangan ide-ide Amerika untuk menghancurkan Dunia Islam”.

Ide HAM ini bermula dari pandangan filosofi Barat yang keliru atas; tabiat manusia, interaksi individu dengan komunitas di masyarakat, hakikat masyarakat, dan fungsi negara dalam memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

Atas tabiat manusia, Barat memandang bahwa tabiat dasar manusia adalah benar, tidak salah. Menurut mereka kesalahan terjadi justru ketika dilakukan pengekangan atas keinginan tabiat asli manusia itu. Karenanya wajar di dunia Barat selalu mengagung-agungkan ide kebebasan. Bahkan ide ini selalu menjadi inspirator dalam berbagai sisi kehidupan. Ada kebebasan beragama (berakidah), kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan berekonomi (memiliki), dan kebebasan dalam berperilaku. Semua tindak kebebasan ini akan sah dengan alasan HAM.

Kemudian segi hubungan antara ibdividu dengan komunitas di masyarakat. Barat melihat bahwa hubungan antara individu dengan komunitas di masyarakat adalah hubungan kontradiktif. Keinginan individu berbeda dengan keinginan masyarakat. Selanjutnya pandangan ini memenangkan kepentingan individu atas kepentingan masyarakat. Pola hidup individualis pada akhirnya menjadi ciri khas yang menonjol di masyarakat Barat.

Adapun tentang hakikat masyarakat, Barat memandang bahwa masyarakat adalah kumpulan dari individu-individu yang hidup di suatu tempat. Maka saat sempurna jaminan atas individu, akan sempurna pula jaminan atas masyarakat. Perhatian terhadap problematika masyarakat cukup dan bertumpu pada persoalan individu.

Sehingga peran negara dalam filosofi Barat adalah semata menjamin terealisirnya hak-hak individu dalam masyarakat. Negara seringkali “kalah” saat individu menggugat untuk diberikan perlindungan atas hak-hak asasinya. Contoh dilegalkannya LGBT di beberapa negara Barat merupakan bukti nyata kekalahan negara dan masyarakat, atas kepentingan individu.

Jika ditelisisk secara jernih, pandangan Barat tersebut adalah keliru. Tabiat dasar manusia itu hakikatnya tidak bisa dikatakan baik, atau juga tidak bisa dikatakan buruk –seperti yang diungkap oleh gereja dengan konsep dosa warisan–. Yang benar adalah, bahwa pada manusia ada memiliki potensi kehidupan, yakni potensi naluri (gharizah) dan potensi hajat/fisik (hajat adhawiyah) yang keduanya memerlukan pemenuhan. Selain juga juga, pada manusia ada potensi –keutamaan– akal yang memberi kemampuan bagi manusia untuk memilih cara yang baik atau yang buruk dalam pememenuhan kedua potensi hidup tadi. Jika dia memenuhi dengan cara yang benar maka perbuatannya dikatakan baik, dan jika dilakukan dengan cara yang salah, maka dikatakan perbuatan buruk.

Hubungan individu dengan masyarakat juga bukan hubungan kontradiktif sehingga harus memenangkan perilaku individu. Bukan pula individu bagaikan gerigi dalam roda –seperti pandangan Sosialias terhadap masyarakat–. Hakikat hubungan individu dalam masyarakat adalah layaknya anggota badan dengan tubuh. Badan tidak akan sempurna jika tidak ada mata, tangan atau kaki. Sementara tangan tidak berarti apa apa jika tidak melekat pada tubuh. 

Adapun tentang fakta masyarakat, bahwa masyarakat hakikatnya bukan sekedar sekumpulan individu yang hidup pada suatu tempat. Terwujudnya suatu masyarakat selain ada manusia (individu), juga meniscayakan adanya pemikiran, perasaan, dan peraturan, untuk terwujudnya hubungan yang kontinyu (masyarakat). Sekedar kumpulan individu tidak layak dikatakan sebuah masyarakat. Hanya sekedar kumpulan atau kelompok orang-orang unsich.

Demikian pula sejatinya peran negara. Negara bukanlah sarana untuk melindungi –kebebasan– perilaku individu semata. Sejatinya negara adalah institusi yang mengurusi persoalan individu, jama’ah, dan masyarakat, baik untuk persoalan dalam negeri maupun luar negeri, dengan sebuah sudut pandang yang menjamin hak dan kewajiban warga masyarakatnya secara utuh. Ini merupakan tugas kemanusiaan adanya negara, sehingga akan akan terwujud peradaban yang memanusiakan manusia.

Karenanya, HAM dalam pandangan Barat memiliki akar filosofis yang cacat dari awalnya. Dan saat ide ini dijajakan di negeri-negeri Islam, tidak lebih dari sekedar untuk menghancurkan entitas masyarakat muslim yang memiliki identitas, sekaligus sebagai legitimasi untuk menjajal ide-ide Barat yang rusak. Kaum muslimin wajib menentang keras ide HAM ini dan membongkar “bau busuk” yang melekat padanya. Jangan jadikan Bojonegoro sebagai Papua kedua.[VM]

Posting Komentar untuk "Ironi Festival HAM Indonesia dan Nasib Bojonegoro "