Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Ibu Harus Berjuang Sendiri demi Generasi


Oleh : Ririn Umi Hanif
(Pemerhati Ibu dan Anak - Gresik)

Ibu adalah sosok mulia, yang dibawah kakinya surga Allah konon berada. Artinya, keridhoan ibu mampu menghantarkan kepada keridhoan Allah. Hal ini karena tugas mulia ibu sebagai pendidik generasi, penentu peradaban cemerlang. Tugas ini membutuhkan kecerdasan strategis dan politis yg tidak mudah. Mengingat tantangan yang ada saat ini sedemikian banyak dan berat.

Dari aspek ekonomi, tidak sedikit para ibu harus berjibaku mencari tambahan pendapatan demi mencukupi kebutuhan. Waktu berharga yang harusnya dioptimalkan untuk mendampingi tumbuh kembang anak, terpaksa dikorbankan. Kelelahan yang berlipat juga berpengaruh terhadap sikap ibu dalam mendidik anak - anaknya. Senyum dan pelukan adalah hal yng amat sulit mereka lakukan. Sehingga nilai - nilai kebaikan sulit mereka transfer ke anak - anaknya. Terlebih jika anak tumbuh ke arah yang salah. Maka pengadilan publik akan memberinya gelar sebagai ibu yang gagal. Hubungan dengan pasangan yang kurang harmonis, dikarenakan kebersamaan yang hampir hilang diantara mereka, membentuk hubungan yang jauh dari kata harmonis. Pertengkaran, perselingkuhan bahkan perceraian tak jarang menjadi ujung hubungan mereka.

Gerakan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan ala Kemen PP dan Gerakan Keluarga Sakinah yang digagas Dirjen Bimas Islam Kemenag, rupanya tak mampu memberi solusi bagi kian rapuhnya ketahanan keluarga  di negeri kita. Demikian juga dengan gagasan Suscatin (Kursus Calon Pengantin), nampaknya akan berakhir sama. Semua program-program itu terbukti tak efektif. 

Hal ini dikarenakan yang dibutuhkan seorang ibu bukan tukar peram dengan para suami atau bahkan dipaksa berperan ganda. Untuk mengoptimalkan pendidik generasi cemerlang, para ibu setidaknya membutuhkan tiga hal. Pertama, jaminan finansial yang aman untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga secara layak. Kedua, jaminan pendidikan untuk bekal mendidik anak menjadi generasi berkualitas pemimpin. Ketiga, jaminan keamanan agar proses pendidikan anak berjalan tanpa ada hambatan dan gangguan.

Sementara itu, dalam sistem demokrasi kaitalistik saat ini, tiga hal ini adalah hal langka. Yang hanya bisa dimiliki orang - orang tertentu saja. Sementara hampir semua ibu tidak dapat mengaksesnya. Keuangan yang serba kurang, rendahnya tingkat pendidikan karena mahal, serta tidak terjaminnya keamanan akibat budaya serba boleh yang merusak moral generasi adalah tantangan yang selalu ibu hadapi seorang diri.

Kondisi ini seharusnya menjadikan para ibu gerah dan bersegera untuk keluar dari kubangan demokrasi. Islam, sebagai agama yang datang dari sang pencipta sebenarnya telah mengatur dengan sempurna. Islam memberi tugas mulia bagi seorang ibu dan mendukungnya dengan sebuah sistem yang jika diterapkan secara sempurna akan menjadi penopang utama ketahanan keluarga.  Menurut Sistem Islam, penguasa atau negara sebagai pengurus dan penjaga bagi umat, bukan sebagai pedagang atau wasit sebagaimana dalam sistem demokrasi. Sistem ekonominya menjamin distribusi kekayaan secara adil dan manusiawi. Dimulai dengan kebijakan anti riba, moneter berbasis emas-perak yang anti krisis dan aturan kepemilikan yang memberi jaminan negara memiliki modal mensejahterakan rakyatnya. Juga aturan sosial yang kental suasana ruhiyah dan menata pergaulan laki-laki dan perempuan agar jauh dari hubungan seksualitas kecuali dalam institusi pernikahan. Semua itu kemudian dibingkai dengan sistem hukum dan persanksian yang memberi efek jera dan penebus dosa di sisi Allah SWT. 

Semoga dengan momen hari ibu, kita semakin peduli akan nasib para ibu. Sampai kapan kita akan mempertahankan sistem demokrasi ini? Belum saatnyakah kita melirik islam untuk memberi solusi? Masih haruskah seorang ibu harus berjuang sendiri untuk generasi? [VM]

Posting Komentar untuk "Ketika Ibu Harus Berjuang Sendiri demi Generasi"

close