Merajut Ukhuwah dengan Ikatan Terbaik
Oleh : A. R. Zakarya
(Aktivis HTI Kab. Jombang)
Salah satu ciri datangnya akhir zaman adalah badai fitnah mendera umat Islam. Masing-masing bangga dan fanatik terhadap golongannya sendiri, seolah-olah yang lain lebih buruk.
Perselesihan ini dilanjutkan dengan pertumpahan darah, mereka saling berperang antar sesama, hingga kehormatan mujahidin ikut dilecehkan.
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku ini berada dalam genggaman-Nya, dunia ini tidak akan musnah sehingga orang-orang saling bunuh satu sama lain tanpa mengetahui apa penyebabnya. Demikian juga orang yang dibunuh, dia tidak tahu apa penyebabnya sehingga dia harus dibunuh.” Maka, ditanyakanlah kepada beliau, “Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?” Beliau menjawab, “Itulah al-harj, yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama di neraka.” (HR. Muslim, Al-Fitan, hadits no. 2908 [Muslim bi Syarh An-Nawawi (9/230)).
Sering pecahnya konflik massa menunjukkan bahwa kohesi sosial yang diperlukan dalam integrasi sosial itu tidak terjadi. Artinya, di tengah-tengah masyarakat terjadi disintegrasi sosial. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa nilai-nilai dan sistem sekuler kapitalisme demokrasi yang eksis saat ini telah gagal melebur masyarakat dan membangun integrasi sosial.
Dari fakta berbagai kerusuhan dan konflik massa yang terjadi berikut faktor pemicunya ternyata bukanlah didominasi isu agama. Bisa dikatakan isu agama amat jarang menjadi pemicu konflik. Fakta yang ada menunjukkan faktor agama lebih sering dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Konflik yang terjadi justru kebanyakan disebabkan faktor lain selain faktor agama. Faktor solidaritis kelompok secara buta, premanisme, kepentingan politik atau ekonomi, ketidakadilan, perasaan terpinggirkan, ketimpangan ekonomi, dll, kerap menjadi pemicu meletusnya bentrok massa. Premanisme termasuk faktor yang sering menjadi pemicu, berjalinan dengan kepentingan ekonomi, kutipan “uang keamanan”, perebutan wilayah, seperti rebutan lahan parkir, dsb. Keterlibatan para preman hampir saja selalu tercium dalam setiap kerusuhan dan bentrokan yang terjadi. Celakanya premanisme itu terkesan dipelihara keberadaannya agar bisa “digunakan” untuk kepentingan tertentu. Hal itu terlihat dari tidak adanya tindakan tegas terhadap para preman dan keberadaan kelompok-kelompok preman yang terus saja ada dan terkesan dilindungi.
Faktor lain adalah faktor depresi karena tingginya tekanan hidup akibat himpitan ekonomi. Begitu pula adanya kesenjangan ekonomi, munculnya perasaan terpinggirkan dan adanya ketidakadilan. Masyarakat pun mudah terpancing emosi dan amarahnya. Semua perasaan itu terakumulasi. Ketika terpicu, semua itu dilampiaskan kepada pihak-pihak yang mereka anggap meminggirkan dan merugikan mereka dan meletus dalam bentuk kerusuhan sosial sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah dan kalangan ekonomi mapan.
Potensi konflik itu diperparah lagi dengan makin suburnya ikatan primordialisme, kepentingan dan kelompok di negeri ini. Parahnya lagi proses demokrasi, pemilihan langsung dan proses politik menciptakan kubu-kubu dan kelompok-kelompok yang saling bersaing, mengikis kohesi sosial yang ada di masyarakat. Bahkan dalam beberapa konflik justru dipicu langsung oleh proses demokrasi khususnya pilkada.
Oleh karena itu sangat penting bagi umat memiliki kesadaran politik dan ideologi agar tidak termakan oleh provokasi dan rekayasa yang mengantarkan pada terjadinya konflik di masyarakat. Kesadaran semacam itu hanya akan dimiliki umat ketika umat menjadikan Islam sebagai ideologinya dan menjadikan politik Islam yang berporos pada pemeliharaan urusan umat sebagai tolok ukur dalam menilai dan memandang perpolitikan yang ada.
Padahal Rasulullah Saw mewariskan ikatan Ukhuwah Islam di antara umat Islam yang tidak ada bandingannya, dimana ikatan ini lebih kuat dari ikatan kebangsaan bahkan ikatan darah sekalipun sehingga dakwah Rasulullah dianggap sebagai sihir oleh kaum kafir Qurais. Ikatan Islam ini juga yang membuat muslim Rohingya, Pattani dan Suriah menyatakan simpatinya terhadap Muslim Gaza meski merekapun juga menderita.
Penderitaan dan penindasan yang dirasakan umat justru kian menguatkan kebangkitan Islam. Dimanapun itu baik di Suriah, Gaza, Afrika Tengah, Myanmar, Xinjiang ataupun Papua telah mengguncang setiap dada Muslim yang beriman. Apapun yang terjadi di Timur, semua umat Islam di Barat peduli tentang hal itu, begitupun apapun peristiwa di Barat seluruh umat Islam di Timur akan bereaksi. Masya Allah, ikatan Ukhuwah Islam telah membuat umat Islam yang terserak menjelma menjadi umat yang satu, memiliki detak jantung yang satu, derap langkah yang satu dan suara global yang satu.
Islam menempatkan akidah sebagai pemersatu umat manusia. Dari sinilah terbangun ikatan ukhuwah Islamiyah dengan landasan keimanan. Perwujudan dari ukhuwah Islamiyah itu adalah adanya syariat untuk menjaga kehormatan dan keamanan sesama muslim. Haram hukumnya bagi muslim untuk menyebarkan fitnah, menghasut apalagi menyerang dan merusak harta dan jiwa saudaranya. Mengancam keselamatan sesama muslim apalagi sampai membunuhnya adalah perbuatan yang tercela. Oleh karena itu konflik horisontal yang sekarang kerap terjadi di antara sesama muslim, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Islam dan tidak boleh terjadi.
Ikatan Islam ini tidak saja menjaga kehormatan sesama muslim, tapi juga melindungi non muslim yang bergabung dalam masyarakat Islam sebagai kafir dzimmi. Kaedah syara’ mengatakan bahwa kafir dzimmi memiliki hak dan kewajiban setara dengan kaum muslim secara adil. Nyatalah bahwa hanya Islam yang mampu membangun intergasi sosial. Hanya di bawah sistem Islam sajalah masyarakat terlindungi dan integrasi sosial terbangun, yaitu terbentuk masyarakat heterogen yang damai, adil dan sejahtera. [VM]
Posting Komentar untuk "Merajut Ukhuwah dengan Ikatan Terbaik"