Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Dilibas Bayangan “Trump Effect” (2) (Efek Politik, Ekonomi, dan Teorirsme-Radikalisme)


Oleh : Hanif Kristianto 
(Analis Politik dan Media)


Bidang politik, keberadaan Kedutaan Besar dan Konsulat Jendral AS di Indonesia merupakan tanda nyata. Hal itu berarti ikatan Indonesia-AS terjalin kuat dan bahkan tidak dapat dilepaskan lagi. AS mencitrakan dirinya sebagai superior dan pengendali. Akibatnya setiap keputusan dan pergolakan politik di Indonesia AS mampu menentukan langkah dan sikap. Hal yang terburuk pun akan diambil demi menyelamatkan kepentingan politik AS.

Presiden Jokowi memberikan ucapan selamat seperti yang dilansir di laman Kesekretariatan Negara www.setneg.go.id, sebagai berikut :

Atas nama Pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia, 
  1. Saya mengucapkan selamat kepada rakyat Amerika Serikat atas terselenggaranya pemilihan Presiden Amerika Serikat.
  2. Hasil pemilihan Presiden tersebut mencerminkan kehendak mayoritas rakyat Amerika Serikat. 
  3. Saya mengucapkan selamat kepada Presiden Terpilih Donald J. Trump. Indonesia siap untuk melanjutkan kerja sama yang saling menguntungkan dengan Amerika Serikat.
  4. Saya juga mengajak kepada Presiden Amerika Serikat terpilih untuk terus melanjutkan kerja sama membangun perdamaian dan menciptakan kesejahteraan dunia.

Isu inti dari AS yang akan terus dicengkramkan di Indoneisa adalah demokrasi. Indonesia dijadikan role model pembangunan demokrasi di negeri muslim lainnya. Hal lazim bagi AS untuk semakin mengkapanyekan demokrasi sebagai prioritas utama di setiap negara mitra. Demokrasi akhirnya membonceng liberalisme, HAM, gender, pluralisme, dan isu asing lainnya. Demi upaya itu puluhan LSM, akademisi, kelompok kajian, pusat study, dan penggerak isu-isu tadi didanai dalam proyek skala besar dan terus-menerus. Laporan disusun untuk memberikan masukan kebijakan AS di Indonesia.

AS menyadari betul potensi politik Islam yang menginginkan penerapan syariah dan penyatuan negara dalam negara global (Khilafah). Isu inilah yang menjadi persoalan strategis di Indonesia dan Asia Tenggara. Hal ini tentu menjadi penghalang kepentingan AS di Indonesia dan negeri muslim lainnya. Karena akan terjadi benturan ideologi AS (Kapitalisme) dengan ideologi Islam yang diyakini umatnya. Karenanya, upaya AS siang dan malam untuk terus bekerja: dengan mengangkat penguasa boneka, mendukung intelektual pro Barat yang bertugas menyebarkan ide-ide AS, dan dana bagi kelompok-kelompok massa untuk meredam politik Islam. Bahkan politik adu domba akan senantiasa dilakukan meski berjatuhan korban. 
 
Kemahiran politik AS inilah yang telah menyilaukan umat Islam. Demokrasi dipuja-puja sebagai alternatif sistem yang terbaik. Bebarapa forum demokrasi kerap dilakukan di Indonesia. Demokrasi pun telah menjebak pejuang yang berghirah Islam untuk parlemen yang didesai berdasar kepentingan demokrasi. Lambat-laun, demokrasi pun menunjukan bukti telah gagal memberikan kebaikan bagi penduduk negeri ini. 

Dino Patti Jalal, mantan Kedubes Indonesia untuk AS mengingatkan DT agar tidak angkuh dan takbur. Hal ini dipahami betul dalam kajian kebijakan strategis DT, pusaran politik AS akan menyeret Indonesia dalam keputusan-keputusan penting. Indonesia juga akan dilibatkan AS dalam isu Laut Cina Selatan, perdamaian Timur-Tengah (Suriah dan Palestina), dan pelaksana demokrasi. Sesungguhnya ucapan dan pernyataan DT selama kampanye akan betul-betul diwujudkan, meski publik memandang itu tindakan arogan dan brutal. 

Jika banyak pejabat dan politisin Indonesia tidak perlu khawatir atas keterpilihan DT. Maka perlu diingatkan kembali, bahasa politik dan dunia politik ibaratkan rimba. Semua dinamis dan bisa berubah pada detik terakhir. Jangan pernah memandang politisi AS dengan pandangan lugu dan apa adanya. Mengingat AS memiliki karakter tersendiri dalam melakukan manuver politik. Sikap skeptis perlu dibangung ketika memandang politisi AS dan manuvernya. Karena itu upaya bersikap tenang yang ditujukan pejabat dan politisi Indonesia sungguh tidak berarti apapun. Hal itu justru menunjukan ketertundukan politik kepada AS.

Bidang ekonomi. Indonesia tidak akan lepas dari AS. Kepentingan AS di Indonesia terkait ekonomi erat dengan investasi, perjanjian perdagangan, dan sumber AS untuk menghidupi kepentingan dalam negerinya. Pernyataan penting diungkapkan Jokowi terkait keseriusannya menjalin hubungan ekonomi dengan AS. 

"Hubungan kita tetap akan baik, terutama hubungan dagang, investasi kita tahu Amerika Serikat termasuk investor 5 besar di Indonesia. Saya kira tidak akan ada perubahan," ujar Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (9/11/2016). (http://m.liputan6.com/news/read/2647702/donald-trump-jadi-presiden-amerika-apa-kata-jokowi)

Ke depannya, Jokowi mengaku tidak akan segan meminta bantuan Novanto apabila ada hal-hal yang ingin dikomunikasikan dengan Trump.Misalnya, terkait pernyataan Donald Trump bahwa Amerika Serikat akan keluar dari Trans Pacific Partnership. Jokowi menegaskan bahwa keputusan AS keluar dari TPP belum terjadi dan masih bisa dibicarakan."Yang jelas kami senang karena kedekatan Pak Setya Novanto dengan Donald Trump. Jadi nanti kalau ada apa-apa, ya bisa nanti minta tolong ke Pak Setya Novanto," kata Jokowi sambil tertawa (kompas.com, 22/11/2016)

Bisa dipahami perusahaan multinasional AS mendapatkan previlage tersendiri dari pemerintah melalui beragam regulasi resmi. Kunjungan Jokowi ke AS tahun 2016 telah mengokohkan deal investasi itu. Corpus Christie Liquefaction bersama Pertamina terkait perjanjian jual beli gas alam cair sebesar US$ 13 miliar. Philips Moris bersama HM Sampoerna terkait perluasan pabrik dan kantor sebesar US$ 1,9 miliar. General Electric bersama Cikarang Listrindo, PT Indonesia Power, PT Kereta Api Indonesia, dan PT PLN terkait investasi pembangkit listrik dan perawatan otomotif sebesar US$ 1,7 miliar. UPC Renewables bersama PT PLN terkait pembangkit listrik 350 MW sebesar US$ 0,85 miliar. Bechtel Corporation bersama Pertamina terkait pembangunan dan pengembangan kilang minyak sebesar US$ 0,80 miliar. Cargill bersama PT Cargill Indonesia terkait pembangunan pakan ternak berteknologi tinggi sebesar US$ 0,75 miliar. Hubbell Power Systems bersama Kilat Wahan Jenggala terkait pembangunan pabrik pembuatan insulator transmisi polimer sebesar US$ 0,01 miliar. Skychaser Energy bersama Universitas Udayana terkait program konservasi air dan reduce power consumption  sebesar US$ 0,03 miliar. Jarden Zinc dan Crane Currency bersama Perum Peruri terkait pabrik Blank Coin dan Pengamanan uang kertas sebesar US$ 0,04 miliar. Swift Energi bersama PT Saka Energi Indonesia  terkait pengembangan shale gas di Blok Eagle Ford sebesar US$ 0,18 miliar. Coca-Cola bersama Coca-Cola Indonesia terkait perluasan produksi dan infrastruktur pabrik minuman ringan sebesar US$ 0,50 miliar. Caterpillar bersama PT PLN N/A terkait pembangunan tenaga hybrid dan proyek solar PV+. 

Selain itu, isu Freeport, Exxon Mobile, dan lainnya yang sudah bertahun-tahun di Indonesia merupakan bukti tak terbantahkan. Meski persuhaan asing itu kerap dipersoalakan oleh rakyat negeri ini, tak membuat Indonesia bergeming. Justru berupaya memperbaiki dan meredam suara rakyat untuk tak banyak protes. Upaya pengerukan SDA merupakan bentuk neo-imprealisme tanpa melibatkan kontak senjata. Isu ekonomi AS ditopang dengan kepentingan politiknya di luar negeri. Seringnya keputusan ekonomi yang diambil Indonesia malah merugikan dirinya sendiri dan dalam pusaran AS.

Bidang terorisme-radikalisme. Demi urusan keamanan dan pencegahan tindakan teror, AS berkoban besar untuk menyelamatkan asetnya di luar negeri. War on Terorrism (WOT) yang dikumandangkkanya menjadi pertanda perang bagi siapa pun yang mencoba menghadang tingkah pola AS. Soft power dan hard power digunakan sesuai kebutuhan dan anggaran. Pola-pola yang dijalankan di Indonesia terbilang smart dan elegan. Setalah mengesahkan UU Terorisme di Indonesia, usaha ini didukung beragam kalangan dan mendapatkan tempatnya.

WOT telah menghasilakan beberapa kajian, pengamat, dan seminar-seminar. Tujuannya meredam semangat umat Islam untuk kembali kepada Islam Kaffah yang rahmatan lil ‘alamin. Jika kesadaran politik umat Islam ini muncul dan tampil, maka berarti mimpi buruk AS di Indonesia dan negeri muslim lainnya. Gerakan Islam dan Pengembannya pun tak lepas dari radar pantaun AS. Yang kemudian pantauan itu dilaporkan terus menerus melalui kedubes dan konjen ke pusat pemerintahan AS.

Hampir tidak ada satu pun gerakan Islam yang ada saat ini, kecuali harus siap-siap dicap sebagai teroris oleh Amerika. Ya, AS, Barat, dan sekutunyalah yang mewacanakan War On Terorrism ini yang sejatinya adalah War on Islam. Cap ini pun bahkan tidak dapat dihindarkan oleh gerakan-gerakan dan partai-partai Islam yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk mencapai target-targetnya. Sebab, Amerika telah menganggap bahwa aktivitas semua gerakan, partai, atau negara yang menyerukan kembalinya Islam adalah aksi “teroris” yang bertentangan dengan Undang-Undang Internasional. Selanjutnya, berdasarkan justifikasi ini dan berdasarkan ketentuan yang harus dijalankan oleh negara-negara penandatangan Undang-Undang Terorisme, Amerika dapat menghimpun kekuatan negara-negara tersebut di bawah kepemimpinannya untuk memukul berbagai gerakan, partai, atau negara tersebut.

Anggota DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu) Nurhidayat Sardini menyatakan bahwa kebijakan Indonesia dalam menangani terorisme sejalan dengan AS. Pemerintah didorong untuk pro-aktif bekerja sama dengan AS. Siapapun presidennya isu yang akan dibawa Amerika yakni demokrasi dan pemberantasan terorisme. Kebijakan itu paralel khususnya di Timur Tengah dan Indonesia berada di dalamnya. Bahkan Nurhidayat mendorong pemerintah Indonesia untuk membangun isu khusus terkait Papua karena erat dengan integrasi (siaran Radio Elshinta News and Talks).

Sungguh kebijakan DT dalam WOT bukan isapan jempol. Sesumbarnya jelas untuk membasmi Islam Radikal dari muka bumi. Jelas pula dia membuka front head to head dengan umat Islam. Sebelumnya pun dia sudah melarang umat Islam untuk masuk ke Amerika, dengan alasan akan melakukan tindakan terorisme. Suatu tindakan gegabah dan cepat khas DT. Indonesia sendiri akan senantiasa menjadi pelayan setia dan teman dekat dalam WOT. Maka sungguh sangat disayangkan sikap Indonesia yang dibawa terlalu ke dalam dalam pusaran WOT yang sesungguhnya Indonesia memerangi rakyatnya sendiri. [VM]

Bersambung....

Posting Komentar untuk "Indonesia Dilibas Bayangan “Trump Effect” (2) (Efek Politik, Ekonomi, dan Teorirsme-Radikalisme)"

close