Lagi, Lembaga Pendidikan Jadi Ajang Bully
ilustrasi |
Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
(Dosen Jurusan Tarbiyah STAI al-Fattah Pacitan)
Geram! Mungkin itu yang dirasakan banyak orang, terkhusus keluarga korban penganiayaan di kampus STIP (Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran) Marunda. Bagaimana tidak, kasus-kasus penganiayaan serupa yang menimpa mahasiswa tingkat I telah berulang kali terjadi. Pelakunya tidak lain adalah taruna tingkat atasnya sendiri.
Tahun 2008 Agung Bastian Gultom dianiaya 10 seniornya di dalam kampus STIP. Misteri tewasnya taruna tingkat satu tersebut terkuak dari hasil otopsi yang dilakukan polisi dengan membongkar makam korban. Tim forensik menemukan beberapa luka bekas penganiayaan di tubuh korban yang diduga kuat dilakukan seniornya di dalam kampus. Dugaan itu diperkuat hasil reka ulang.
Masih di tahun 2008, mahasiswa tingkat dua STIP bernama Jegos juga menjadi korban tindak kekerasan seniornya. Akibat penganiayaan tersebut korban mengalami gegar otak dan dilarikan ke Rumah Sakit Pelabuhan Jakut. Menurut tim dokter RS Pelabuhan, Jegos dianiaya menggunakan benda tumpul.
Tahun 2014 pun berulang terjadi pada Dimas, taruna tingkat satu inipun meninggal setelah di-bully oleh kakak-kakak seniornya.
Setelah kasus-kasus tersebut, orang tua mendesak pihak kampus untuk menjamin keamanan putra-putri mereka yang menempuh pendidikan di STIP. Pihak kampus pun memberikan jaminan keamanan yang diminta. Sisi TV dipasang di berbagai sudut kampus untuk memantau para taruna dan diharapkan mereka urung melakukan tindakan aniaya terhadap adik tingkatnya. Kepala diberi sanksi pelepasan jabatan ketika teledor terdapat anak didiknya yang berbuat aniaya. Harapannya, dapat memberikan dorongan kepada kepala untuk meningkatkan pengawasannya jika tidak ingin jabatannya lepas begitu saja.
Namun kenyataan tak dapat dipungkiri. STIP tak kunjung belajar dari pengalaman pahit yang pernah dialami. Hingga kasus bully-pun kembali terjadi. Kali ini korbannya beberapa mahasiswa tingkat I hingga akhirnya salah satunya meninggal Dunia. Orangtua Amirullah, korban meninggal dunia, merasa sangat dikecewakan. Jaminan keamanan yang diberikan oleh kampus ternyata tidak menjadi nyata. Rabu dini hari (11/1) keluarga mendapat informasi dari pihak kampus bahwa putranya telah tiada. Amirullah mendapatkan pukulan di perut, ulu hati, dan dada. Tindakan aniaya ini dilakukan pada selasa malam (10/1) di gedung lantai dua. Setelah diperiksa, terdapat pendarahan di paru-paru dan jantung yang mengantarkan kematiannya.
Akankah Ini Terus Terjadi?
Kasus bully (penganiayaan) hingga mengantarkan korban meninggal telah berulangkali terjadi. tak hanya di STIP saja, namun di berbagai lembaga pendidikan di Indonesia. Dengan rentetan kasus kekerasan di kampus calon pelaut itu (dan juga di lembaga pendidikan lain), sudah seharusnya dilakukan evaluasi total tentang pembinaan anak didik. Apa yang telah dilakukan selama ini terbukti tidak bisa meredam tindakan brutal yang seharusnya dihapus di lembaga pendidikan manapun.
Ini juga menjadi peringatan keras bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan yang setiap kali ada kasus serupa tak pernah bisa menghapus kekerasan di dunia pendidikan secara menyeluruh. Langkah yang diambil umumnya hanya ampuh sesaat, untuk kemudian kembali terlupakan.
Jika kita tak ingin peristiwa semacam ini terulang lagi, tentu kita harus mencari akar masalahnya. Kita tegaskan bahwa akar masalah kekerasan yang melanda generasi umat ini adalah persoalan sistemik. Stidaknya, ada empat hal yang melandasi terjadinya kasus ini.
Pertama, kasus bullying, serupa dengan kekerasan lainnya adalah penyimpangan perilaku yang lahir dari paham kebebasan. Kebebasan adalah nilai utama dalam sistem demokrasi yang juga memfasilitasi prinsip survival of the fittest, hanya yang kuat yang akan bertahan. Maraknya bullying di berbagai lembaga pendidikan adalah gambaran dari berlakunya prinsip tersebut.
Kedua, lemahnya fungsi keluarga. Keluarga hanya menjadi terminal. Kondisi keluarga dalam tatanan masyarakat kapitalistik sebagaimana saat ini, dihimpit kesulitan ekonomi. Orang tua tersibukkan mencari nafkah ketimbang mencurahkan waktu, perhatian dan kasih sayang untuk anak-anak mereka. Dalam keluarga yang memiliki ekonomi mapan hal ini pun terjadi ketika banyak ibu yang menghabiskan waktunya untuk kegiatan di sektor publik baik di dunia kerja atau sosialita. Sehingga putra-putrinya menjadi generasi yang brutal, susah diarahkan.
Ketiga, rendahnya pengawasan sekolah dan kepedulian masyarakat. Deteksi dini terhadap perilaku negatif seharusnya bisa dilakukan oleh sekolah maupun lingkungan sekitar. Ketika muncul gejala perilaku negatif seperti kata-kata kasar, mencemooh, apalagi tindak kekerasan, sekolah maupun lingkungan sekitar selayaknya memberi perhatian untuk mengingatkan dan menghentikan.
Keempat, abainya pemerintah. Budaya kekerasan masuk ke dunia anak melalui tontonan televisi, film, komik dan video games. Pemerintah tidak tegas dalam menyetop segala jenis tontonan merusak tadi karena lemahnya pengawasan, minimnya keberpihakan maupun adanya keuntungan materi. Pemerintah lalai dalam melindungi anak dari media yang membahayakan, tidak mendukung tugas orang tua dan sekolah dalam mendidik generasi Indonesia yang berkepribadian mulia. Ditambah lagi, tak ada sanksi tegas yang membuat jera para pelaku dan mencegah orang di sekitarnya membuat kesalahan serupa.
Kata Kak Seto pernah menjelaskan bahwa kekerasan ini sudah menjadi kejadian ‘biasa’ bukan ‘luar biasa’. Banyak juga yang tidak direkam dan tidak diekspose.
Oleh Karena itu, sistem demokrasi dan kebebasan yang menjadi akar permasalahan pendidikan di negeri ini harus diganti. Kita tak boleh berdiam diri membiarkan bangsa ini kehilangan sumber daya manusia yang mumpuni di masa mendatang karena para remajanya rusak. Kita membutuhkan sistem pengganti untuk menuntaskan permasalahan tersebut. Sistem pengganti tersebut adalah Islam sebagai ideologi dan sumber aturan kehidupan. Islam memiliki sistem yang sempurna untuk mengatur kehidupan manusia termasuk remaja. Semua subsistem terintegrasi dalam kesamaan visi untuk taat kepada Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta yang disediakan untuk manusia.
Sistem pendidikan pun mendukung visi tersebut. Sekolah merupakan ajang untuk mendapatkan ilmu untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Anak didik dibekali pemahaman Islam yang kuat untuk kehidupannya. Ketika mereka terjun ke masyarakat, halal dan haram otomatis akan menjadi pedoman aktifitasnya. Perilaku yang menyimpang tidak akan teraplikasi dalam kehidupan.
Penulis pernah mengadakan penelitian di beberapa sekolah Islam yang subhanallah, anak didik satu dengan yang lain saling menyayangi dan mengayomi. Adik-adik kelas hormat dengan kakaknya. Dan kakak-kakak kelasnya pun dibiasakan untuk menyayangi dan mengarahkan siswa-siswi baru dalam proses adaptasi mereka. Ini masih dalam lingkup beberapa lembaga pendidikan Islam saja. Coba kalau kita bayangkan pendidikan seperti ini diberlakukan secara sistemik. Diatur dalam sebuah negara. Maka in syaa Allah generasi kita akan menjadi generasi berilmu yang penuh percaya diri, saling peduli, penuh empati, dan saling menghormati. Selayaknya generasi Imam Syafi’i, Imam Hanbali, al-Khawarizmi, Abbas Ibnu Firnas, al-Idrisi, al-Biruni dan masih banyak lagi. Sebagian besar dari mereka menjadi penemu dalam bidang sains dan teknologi. Namun, tsaqofah Islamnya, akhlaqnya, luar biasa untuk diteladani. Bukannya seperti generasi saat ini yang justru saling mem-bully ataupun menyakiti.
Oleh karena itu, Sudah selayaknya sistem kapitalisme sekularisme yang penuh dengan kerusakan ini diganti dengan sistem Islam yang penuh dengan keharmonisan dan kemaslahatan. Supaya tak ada Amirullah-Amirullah yang baru lagi. Marilah bersegera merealisasikannya! [VM]
Posting Komentar untuk "Lagi, Lembaga Pendidikan Jadi Ajang Bully"