Penelantaran Anak Bukti Abainya Perlindungan Negara


Oleh: Puput Hariyani, S.Si
(Staff Pengajar Salah Satu Sekolah di Jember)

Setiap anak tentu mendambakan hidup dalam sebuah keluarga yang harmonis. Ada ayah yang mencukupi semua kebutuhan keluarga, memberikan kehangatan, mencontohkan keteladanan dan ada ibu yang senantiasa menebarkan kasih sayang. Namun, realitas ideal itu nampaknya hanya sebuah mimpi disiang bolong bagi ratusan bahkan ribuan anak yang menjadi korban penelantaran oleh ibu kandungnya sendiri. Serasa tak percaya memang, ada seorang ibu yang rela menelantarkan anaknya. Bukankah ibu adalah sosok malaikat yang Allah turunkan untuk mahkluk kecil bernama anak? Bukankah ibu adalah sosok yang memiliki hubungan batin paling dekat dengan buah hatinya? Dimana naluri keibuannya hingga dia rela membiarkan darah dagingnya berjuang menghadapi kerasnya hidup seorang diri? Tentu sejuta pertanyaan terlintas untuk menggambarkan sedemikian matikah perasaan seorang ibu? Dan realitas tersebut adalah sebuah kenyataan yang tak bisa terelakkan lagi. 

Marcel, begitulah sapaannya. Bocah laki-laki asal Tangerang berusia 3.5 tahun yang menjadi korban penelantaran oleh ibu kandungnya sendiri sejak ayahnya meninggal. Marcel terpaksa harus hidup dalam keluarga yang keras dan sering mendapatkan penganiayaan dari tantenya yang diduga memiliki penyakit jiwa karena sering marah-marah tanpa sebab. “Marcel itu sekarang cacat, cacat karena disiksa sama tantenya, padahal tadinya ramah lama-lama jadi pendiam karena disiksa begitu. Sejak kecil, sejak lahir Marcel memang sudah ditinggal di sini, dititipin sama ibunya ke bibinya” ujar Tati sebagai tetangga korban. Bahkan menurut penuturan Eriyanti yang juga tetangga korban, setahun lalu Marcel juga pernah mengalami gizi buruk dan sempat dirawat di puskesmas (detik.com). Sangat miris mendengarnya, bisa jadi masih banyak di luar sana bocah-bocah kecil yang bernasib sama dengan Marcel bahkan mungkin lebih parah lagi kondisinya. 

Kasus Marcel ini langsung viral dan menarik perhatian netizen karena akun @ekasukmawati90 memposting video Marcel yang menyedihkan. Pada saat itu pula Menteri Sosial terpanggil untuk bertandang ke rumah Marcel dengan membawa buah-buahan, bubur bayi dan mainan anak. Namun raut wajah Marcel hanya datar, dia malah terlihat heran dengan benda berbentuk bola yang ada di tangannya (Liputan6.com). Banyak yang meng-apresiasi dinsos, tapi tak sedikit yang mempertanyakan. Apakah suatu kasus harus viral dulu baru mendapat perhatian dari dinsos ataupun dinkes? Apakah karena semua lembaga negeri ini bermodel seperti itu atau karena kebanyakan kasus? Pertanyaan yang bermunculan dari publik menegaskan bahwa selama ini pemerintah masih memposisikan diri sebagai “Pemadam Kebakaran”, baru bertindak jika ada korban dan ramai diperbincangkan. Jika kasus tersebut tidak disorot media, kecil kemungkinan akan segera mendapatkan penanganan. Kasus Marcel sebenarnya sudah cukup lama terjadi tapi belum juga ada reaksi, baru setelah viral ditangani. Dalam hal ini negara belum memiliki upaya yang terintegrasi untuk bisa mewujudkan perlindungan anak agar tidak ada lagi anak yang terlantar baik karena kesulitan ekonomi, salah asuh ataupun tidak adanya tanggungjawab dari orang tua dan kerabatnya.  

Di satu sisi, dalam menyikapi menjamurnya kasus-kasus yang serupa, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan bahwa pihaknya akan memaksimalkan program pendidikan pra nikah yang dinilai sangat penting dan sebagai salah satu upaya untuk mencegah maraknya kasus penelantaran anak. Edukasi memang penting bagi calon pengantin untuk memberikan pemahaman Islami sehingga harapan-harapan pemerintah akan terwujud. Meski demikian banyak pihak yang meragukan ke-efektifan dan keampuhan program ini dalam menyelesaikan satu kasus saja yaitu penelantaran anak, belum lagi kasus gugat cerai, dan permasalahan keluarga yang lain. Bisa jadi calon pengantin mengikuti kursus pra nikah hanya untuk mendapatkan sertifikat agar bisa menikah, seberapapun banyak waktu dan materi yang diberikan jika tidak tertangkap kepentingan dari kursus yang dilakukan maka menjadi sangat tidak efektif.

Belum lagi materi yang disajikan lebih fokus pada persoalan yang bersifat individual. Pendidikan pra nikah dirasa kurang relevan dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Karena program ini belum menjawab akar masalah yang sesungguhnya dihadapi masyarakat yakni kehidupan sekuler-liberal yang selama ini menjadi biang keladi. Kondisi sistemlah (kehidupan di luar rumah, lingkungan, pengaruh media, sistem pendidikan, dll) yang menjadikan permasalahan keluarga semakin rumit hingga anaknya yang menjadi korban. Salah  satu contoh di bidang ekonomi, roda ekonomi hanya bertumpu pada orang-orang yang bermodal saja. Sementara banyak keluarga yang menjerit karena tak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Kemudian sistem sanksi negeri ini juga sangat lemah, sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku.

Jelas, bahwa pendidikan pra nikah tak mampu menghentikan kasus penelantaran anak. Maka harus dilakukan upaya yang sistematik untuk mengakhirinya. Penyiapan mulai dari sistem pendidikan yang membentuk kepribadian Islami sehingga mereka memiliki bekal yang matang dan siap menjadi seorang ayah atau ibu yang berkualitas karena tuntutan akidah yang diyakininya. Perekonomian yang berpihak kepada semua masyarakat dengan menyediakan lapangan kerja yang luas sehingga para ayah mampu memberikan nafkah yang layak. Jika ayah telah tiada maka beralih tanggungjawab kepada kerabatnya. Jika kerabatnya tidak mampu maka negara akan menanggungnya dari Baitul Mal. Sistem sanksi juga memberikan hukuman yang tegas sehingga  pelaku berpikir ribuan kali jika melakukan sebuah kemaksiatan. Di sinilah peran negara mutlak dibutuhkan untuk menjadi soko guru ketahanan keluarga, dan tak ada lagi penelantaran anak yang terjadi. Negara inilah yang dalam khasanah Islam disebut sebagai Khilafah Islamiyah. Wallahu’alam bi ash-showab. [VM]

Posting Komentar untuk "Penelantaran Anak Bukti Abainya Perlindungan Negara "