Serbuan Buruh Asing : Investasi Atau Invasi?
Oleh : Umar Syarifudin
(Pengamat Perburuhan)
Masalah ketenagakerjaan umum di Indonesia sampai saat ini masih terkait dengan sempitnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, upah murah dan sekarang ditambah masuknya buruh Cina. Jaminan perlindungan terhadap buruh lokal telah dihapuskan seperti di Permenaker No.35/2015. Terutama pasal jaminan 10 posisi pekerjaan buruh lokal untuk setiap 1 TKA yang direkrut. Di saat yang sama pemerintah menerapkan kebijakan bebas visa yang memperbolehkan 174 negara mendapatkan fasilitas bebas visa kunjungan ke Indonesia. Kebijakan bebas visa yang diterapkan pemerintah membuat serbuan buruh asing tidak bisa dibendung. Hal ini merupakan pengaruh dari besarnya pinjaman dan investasi Cina di Indonesia Kebijakan bebas visa menjadi celah masuknya tenaga kerja kasar dari Cina.
KSPI mencatat, pekerja ilegal China yang tidak berketerampilan atau unskill worker, jumlahnya mencapai ratusan ribu orang. pekerja ilegal asal China ini bekerja di sektor manufaktur, pembangkit listrik, perdagangan, jasa, dan sektor lainnya yang tersebar di Bali, Kalimantan, Sulawesi Tenggara, Banten, Papua, Jakarta, dan daerah lainnya. Pekerja China ini melanggar UU Nomor 13 Tahun 2003 karena faktanya pekerja China, seperti supir forklift, tukang batu, operator mesin bisa bekerja di sini. Ini menghilangkan kesempatan kerja bagi pekerja lokal.
Kebijakan untuk mendatangkan warga Cina ke Indonesia, merupakan kebijakan rezim Joko Widodo yang memang berniat ‘membinasakan’ pekerja pribumi. Pendapat itu disampaikan pengamat politik Muslim Arbi kepada intelijen.co.id (26/06). “Di Banten ada pekerja dari Cina yang mengerjakan proyek. Ini penghinaan terhadap rakyat Indonesia. Ini akibat kebijakan Jokowi dengan Cina,” kata Muslim Arbi. Menurut mantan aktivis ITB era 80-an ini, dalih investasi Cina yang diungkapkan Jokowi itu merupakan penguasaan Cina terhadap NKRI. “Mulai dari pekerja kasar sampai bosnya dari Cina semua. Ini sama saja mengusir orang Indonesia,” jelas Muslim.
Sebelumnya 21 Desember 2016, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membantah adanya serbuan pekerja China ke Indonesia. Menurut dia, isu terkait serbuan tersebut hanya isapan jembol belaka. Ditegaskan secara prinsip, Indonesia negara yang terbuka. Sehingga masuknya pekerja asing ini harus dipandang sebagai dinamika keterbukaan global," kata dia.
Kenyataannya di Jawa Timur, serbuan tenaga kerja asing (TKA) asal China menjadi perhatian publik sejak akhir tahun lalu. Aliansi Buruh Jatim (ABJ) mencatat adanya sekitar dua ribu tenaga kerja asing (TKA) ilegal yang bekerja di Jatim selama Januari sampai September 2016. Dari jumlah itu, mayoritas berasal dari China. Ironisnya, mereka yang dipekerjakan oleh sejumlah industri itu tergolong buruh kasar, bukan tenaga ahli. Bahkan, status pekerja asal Negeri Tirai Bambu itu tak memiliki dokumen lengkap alias illegal. Di sisi lain, saat ini sudah diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ini bisa menjadi hambatan masyarakat Jatim. Apalagi keberadaan mereka sudah menyebar di sejumlah daerah di Jatim. Khususnya di Ring I, yakni Surabaya, Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto.
Resonansi
Reformasi yang telah berjalan di Indonesia lebih dari satu dasawarsa tidak banyak memberikan perubahan yang berarti dari sisi politik, ekonomi dan hukum. Seperti masa-masa sebelumnya, hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus-kasus tebang pilih atau pilih kasih masih saja terjadi. Sedangkan politik dan ekonomi masih kapitalistik dan pragmatis. Masyarakat sendiri merasakan ketidakadilan itu dengan jelas. Kebijakan pemerintah selama ini selalu berpihak kepada perusahaan swasta baik lokal maupun asing, sehingga banyak menimbulkan reaksi dari masyarakat.
Problem korupsi masih menyala, aktor dan bentuknya bervariasi, di sisi lain, kebijakan pemerintah justru memberikan keuntungan yang sangat besar pada pihak-pahak tertentu, yakni korporasi-korporasi besar, terutama korporasi asing. Oleh karena itu, kejahatan korupsi oleh negara untuk kepentingan pihak korporasi besar ini kemudian lebih dikenal dengan istilah korporatokrasi. Dalam masyarakat kapitalis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.
Maraknya TKA ilegal akan terjadi, sehingga dapat menimbulkan ancaman berkurangnya kesempatan pekerja lokal. Akibatnya akan muncul kerusuhan sosial, persaingan tidak sehat antar pelaku ekonomi, dominannya kaum kapital terhadap warga lokal dan menguatnya neo-liberalisme dan neo-imperialisme di Indonesia. Pada saat yang sama kita menghadapi problem eksploitasi tenaga kerja atau perbudakan modern yang ditelantarkan oleh pemerintah di negara-negara berkembang. Hal ini terkait dengan besarnya nilai investasi dan berbagai pajak yang akan ditargetkan oleh para penguasa dari keberadaan industri-industri tersebut. Dengan kata lain, eksploitasi dan perbudakan modern terhadap tenaga kerja terjadi sebagai hasil konspirasi antara penguasa dan pengusaha. Inilah ciri khas demokrasi dan kapitalisme.
Kita juga menemukan realitas perlakuan yang merugikan bagi para pekerja Indonesia seperti penganiayaan, tindak asusila, penghinaan, intimidasi sampai pelecehan seksual. Akhirnya banyak warga negara Indonesia yang menjadi tenaga kerja di luar negeri dan ini pun menyisakan masalah dengan kurangnya perlindungan dan pengawasan dari negara terhadap para tenaga kerja Indonesia tersebut. Di sisi lain PHK menjadi hal yang menakutkan bagi kaum pekerja dan menambah kontribusi bagi pengangguran di Indonesia. Dalam kondisi ketika tidak terjadi ketidakseimbangan posisi tawar menawar dan pekerjaan merupakan satu-satunya sumber pendapatan untuk hidup, maka PHK menjadi bencana besar yang dapat membuat buruh menjadi traumatis.
Mengadopsi sistem kapitalistis seperti saat ini, tugas negara lebih pada fungsi regulasi, yakni pengatur kebebasan warga negaranya. Karena itu, sistem ini tidak mengenal tugas negara sebagai “pengurus dan penanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya”. Rakyat yang ingin memenuhi kebutuhannya harus bekerja secara mutlak, baik untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maupun kebutuhan pelengkapnya sehingga prinsip struggle for life benar-benar terjadi. Jika seseorang terkena bencana atau kebutuhan hidupnya meningkat, ia harus bekerja lebih keras secara mutlak. Begitu pula ketika ia sudah tidak mampu bekerja karena usia, kecelakaan, PHK atau sebab lainnya, maka ia tidak punya pintu pemasukan dana lagi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan hidup luar biasa, terutama bagi seorang warga negara yang sudah tidak dapat bekerja atau bekerja dengan gaji sangat minim hingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sudah menjadi pengetahuan umum kiranya bahwa negara cenderung berpihak pada kaum kapitalis. hal itu terjadi akibat liberalisasi ekonomi. Negara tidak terlihat membangun ekonomi sektor publik, bahkan cenderung merusaknya dengan melakukan privatisasi. Itulah kenapa Negara memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan investor swasta dan berusaha menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi mereka, meski kondisi itu bertentangan dengan kepentingan kesejahteraan masyarakat, termasuk kaum buruh.
Dalam berbagai proyek pengembangan infrastruktur di negara ini, kehadiran dan peran perusahaan-perusahaan Cina menjadi sangat dominan mulai dari perencanaan, pengadaan barang dan jasa hingga konstruksi (engineering, procurement, construction[EPC]). Membanjirnya barang-barang yang terkait dengan konstruksi infrastruktur seperti mesin-mesin dan baja serta pekerja ahli hingga buruh kasar dari Cina merupakan konsekuensi dari pemberian utang tersebut. Padahal sebagian besar dari barang dan jasa tersebut sejatinya amat melimpah di negara ini. Pada saat yang sama, Cina 2014 lalu juga menjadi eksportir terbesar di Indonesia dengan nilai US$30 miliar. Bahkan sejak tahun 2008 transaksi perdagangan barang Indonesia dengan Cina terus mengalami defisit. Jika pada tahun 2008, defisit tersebut hanya US$ 3,6 miliar, misal tahun 2014 lalu, nilainya membengkak ke angka US$ 13 miliar.
Strategi pembangunan yang ditempuh Pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Dengan berkedok mendorong investasi, Pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang dan masalah perburuhan. Makin besarnya keterlibatan Cina dalam perekonomian Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah Indonesia yang ‘haus’ investasi asing.
Ini disebabkan karena demokrasi, secara politik, telah menjadi pintu, munculnya pemimpin-pemimpin pro negara imperialis. Lewat pencitraan yang dibangun oleh media-media liberal, pemimpin boneka ini muncul sebagai pemenang dalam pemilu. Apa yang terjadi? Setelah memimpin, pemimpin boneka ini mengabdi 100% bagi kepentingan tuan Kapitalis yang telah mengangkatnya, bukan kepada rakyat. Maka tidaklah mengherankan kalau kebijakan-kebijakannya justru menyengsarakan rakyat.
Jadi problem perburuhan terjadi akibat penerapan kapitalisme untuk mengatur masalah perburuhan secara khusus dan mengelola urusan masyarakat secara umum. Maka problem perburuhan itu akan terus ada selama masalah tersebut masih diatur dengan kapitalisme.
Melihat persoalan ketenagakerjaan yang demikian kompleks di atas, tentu saja juga membutuhkan pemecahan yang komprehensip dan sistemis. Sebab, persoalan tenaga kerja, bukan lagi merupakan persoalan individu, yang bisa diselesaikan dengan pendekatan individual. Akan tetapi, persoalan tenaga kerja di atas merupakan persoalan sosial, yang akhirnya membutuhkan penyelesaian yang mendasar dan menyeluruh. Jadi, problem utamanya adalah sistem Kapitalisme yang saat ini diterapkan. Dalam hal ini syariat Islam sebagai aturan yang berasal dari Allah, akan mampu menyelesaikan persoalan ini. Mengingat syariat Islam adalah aturan yang menyeluruh yang secara praktis akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia. Sudah saatnya kita mengganti sistem Kapitalisme yang telah membuat buruh dan manusia lainnya menderita, dan menggantinya dengan syariat Islam. Kita diam atau berubah? [VM]
Posting Komentar untuk "Serbuan Buruh Asing : Investasi Atau Invasi?"