Magribi dan Murahnya “Harga” Perempuan


Oleh : Emma Lucya F, S.Si
(MHTI Kab. Bogor)

Petugas Imigrasi Bogor kembali menangkap warga negara ilegal asal Maroko, Kamis (19/1) di kawasan Puncak, Bogor. Empat perempuan yang diduga berprofesi sebagai PSK itu bernama Zanib (19), Busra (23), Aminah (19) dan Saimah (28). Penangkapan ini adalah operasi kedua kalinya dalam sepekan terakhir. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengelabui petugas. Seperti yang dilakukan oleh Aminah (19), kamuflase yang dilakukan Aminah adalah dengan mengenakan baju kurung, lengkap dengan cadar menutup mulut dan hidung. Dia tinggal di sebuah vila seperti turis kebanyakan dengan harga sewa jutaan rupiah (Radar Bogor, 20/01/2017).

Apa yang sudah dilakukan oleh para PSK ini menunjukkan betapa rendahnya harga diri seorang perempuan dalam sistem kapitalisme. Hanya demi materi para perempuan pelacur ini rela mengorbankan sesuatu yang paling berharga dari dirinya, yaitu kehormatan dan kesucian. Para perempuan menjadi begitu “murah”, bisa dibeli dengan uang, melayani nafsu biadab para lelaki hidung belang. Parahnya lagi, para PSK ini adalah warga negara asing ilegal yang berhasil melakukan perbuatan haram di Indonesia. Kebijakan bebas visa harusnya juga ditinjau ulang karena banyak penyimpangan terjadi di lapangan dan mudharat yang didapatkan negeri kita jauh lebih besar dibandingkan jumlah devisa yang bisa kita peroleh. Negara kita masih sangat lemah dari sisi pengawasan setiap kebijakan yang dikeluarkan.

Apapun alasannya, perbuatan melacur atau prostitusi jelas diharamkan dalam Islam. Ini termasuk zina dan dosa besar. Pelegalannya hanya akan merusak moral masyarakat, menambah-nambahi kemaksiatan dan memunculkan masalah baru. 

Menurut Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Iffah Ainur Rochmah, ada lima jalur yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi maraknya prostitusi. Pertama, penyediaan lapangan kerja. Dalam hal ini negara menyediakan lapangan pekerjaan –terutama bagi kaum laki-laki  sehingga masyarakat mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Para perempuan pun tidak dibebani untuk mencari nafkah utama bagi keluarganya. Kedua, pendidikan/edukasi yang seiring sejalan. Pun pendidikannya adalah yang bermutu, bebas biaya, mampu menanamkan pondasi keimanan yang kuat dan membekali keterampilan yang mumpuni sehingga para PSK tidak akan tergiur untuk kembali ke dunia kelam mereka.

Ketiga, jalur sosial. Pemerintah berupaya menanamkan kesadaran para masyarakat untuk care kepada apa yang terjadi di sekitarnya sehingga terbentuk kontrol sosial terhadap segala bentuk kemaksiatan. Keempat, jalur hukum atau supremasi hukum. Harus ada sanksi tegas terhadap para PSK, para pelanggan PSK, mucikari atau pihak-pihak yang terkait. Sanksi di dunia bagi pezina sudah jelas yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika ia sudah pernah menikah, atau dicambuk seratus kali kemudian diasingkan selama satu tahun jika ia belum pernah menikah. Yang terakhir, jalur politik. Negara harus menutup semua bentuk lokalisasi, menghapus situs prostitusi online, serta melarang produsen tayangan berbau seksualitas seperti pornografi dan pornoaksi.

Solusi dari masalah prostitusi membutuhkan pemahaman utuh bahwa akar permasalahannya adalah karena sistem permisif liberal yang diterapkan oleh negara. Sistem sekular negara inilah yang menyebabkan benih-benih kemaksiatan masih dapat leluasa bergerak. Maka seluruh masyarakat harus menyadari bahwa prostitusi tidak akan pernah bisa dibasmi habis jika kita masih bertahan dengan sistem kehidupan yang sekarang, tidak beralih kepada sistem Islam yang dari awalnya mencegah dan melarang tindakan kemaksiatan. Islam bahkan punya aturan yang tangguh dan mampu membuat jera para pelanggar hukum syariatnya. Dengan keadaan sistem negara yang kondusif seperti itu, harga diri perempuan akan terjaga dan kembali pada fitrahnya yang juga mulia secara kemanusiaan.[VM]

Posting Komentar untuk "Magribi dan Murahnya “Harga” Perempuan"