Sulitnya Menjaga Keluarga dari Ancaman Liberalisasi
Oleh : Widy Tsabitah
(Muslimah HTI Sidoarjo)
Di tengah hiruk pikuk kasus Penistaan Agama yang dilakukan oleh Ahok tak kunjung berbuah keadilan hingga saat ini. Ada persoalan genting yang tak kalah pelik penyelesainya. Membutuhkan perhatian dan keseriusan dari pihak-pihak terkait untuk menuntaskannya. Adalah persoalan Ketahanan Keluarga yang sampai saat ini menjadi cikal bakal munculnya banyak ”penyakit” dalam masyarakat bahkan negara. Keluarga merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat. Dari keluargalah seseorang belajar bermasyarakat. Sebuah keluarga yang kuat akan cenderung harmonis dan mencetak anggotanya terbiasa menyelesaikan segala persoalan dengan akal sehat. Dan setiap keluarga tentulah mencitakan kondisi yang ideal seperti dalam impiannya Sakinah, Mawaddah Warahmah. Harmonis, sehat, mapan baik mental maupun financial. Namun, di jaman sekarang, di tengah masyarakat kapitalis matrialistis, keluarga “impian” menjadi cita-cita langka bahkan autopis tercapai. Apa pasal?
Masih ingat kasus Ibu memutilasi anak kandungnya sendiri beberapa waktu lalu? yang ternyata diketahui bahwa si ibu mengalami stress berat akibat kondisi ekonomi dan psikis yang menghimpit. Demikian juga angka perceraian yang semakin hari makin meningkat saja angkanya. Indonesia menempati ranking teratas dengan jumlah perceraian tertinggi di dunia. Tercatat ada sekitar 40 kasus perceraian yang terjadi di setiap jamnya. Dari data tersebut juga didapat bahwa ada sejumlah 70,5 % adalah gugat cerai (Khulu’), dan cerai talaq hanya sekitar 29,5 % kasus. Makin bertambahnya angka perceraian ini tentu membawa dampak besar bagi masa depan bangsa. Dan faktor keluarga merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap makin banyaknya generasi yang terjerumus dalam kenakalan remaja, narkoba, pergaulan bebas bahkan LGBT.
Belum lagi atas pemanfaatan Media Sosial yang sangat gencar akhir-akhir ini. Sejak tahun 2013 sudah tercatat kasus perceraian karena Facebook. Adanya berita-berita Online yang lebih banyak menyebar informasi negatif dalam membentuk persepsi dan pemahaman yang justru menjeruskan. Tanpa sadar masyarakat telah digiring memasuki dunia baru, dunia maya. Dunia yang tanpa batasan dan pengarahan akan penggunaanya. Banyak orang saat ini lebih suka menghabiskan waktunya dengan dunia mayanya ketimbang bercengkrama bersama keluarganya. Dan yang mencengankan, sebuah konsultan perkawinan Amerika mengungkap bahwa 80% perkawinan berakhir dengan perceraian karena dipicu media sosial.
Memang tidak mudah menjaga keluarga di tengah masyarakat yang dikenal lebih ganyeng dengan sistem hidupnya yang sekuler dan liberal/bebas. Apapun bisa dilakukan atas nama Hak Azasi Manusia, hak kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa dibatasi dengan aturan yang jelas dan tegas. Hal inilah menunjukkan bahwa Negara memiliki peran penting dalam mewujudkan keadaan yang kondusif bagi sebuah keluarga dapan mencapai impiannya. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan hubungan harmonis antar suami dan istri, kemapanan ekonomi, tahu pemanfaatan teknologi dan media untuk mewujudkan keluarga yang kuat, lahirnya generasi yang berkualitas, sehingga negara kuat dan bermartabat.
Negara sangat punya andil dalam menyediakn “habitat” yang kondusif supaya para keluarga bisa dengan “aman” mengakses media untuk ketahanan keluarganya. Memang, jika diperhatikan hancurnya keluarga secara internal tidak luput dari telah banyak ditinggalkannya nilai-nilai islam dalam keluarga. Terkikisnya pemahaman tentang menjaga kewajiban dan hak antar anggota keluarga, dan tiadanya kesadaran untuk menyelesaikan segala persoalannya sesuai dengan tuntunan syari’at. Ini dikarenakan adanya aspek eksternal, yakni Sistem hidup yang cenderung meliberalisasi keluarga Liberalisasi inilah yang membuat keluarga kehilangan pegangan agama dalam menerapakan hak dan kewajibannya dalam keluarga. Dan, disadari atau tidak liberalisasi ini berlaku bukanlah karena kebetulan semata. Pastilah telah melewati proses dan upaya sistematis yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini pemerintah.
Apa yang disepakati pemerintah bersama PBB dalam Konvensi CEDAW (Convention on Elimination of all Discrimination Against Women) sejak tahun 1984 mengenai hak azasi perempuan dan dihapuskannya segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus segera dihentikan. Karena kesepakatan itu tidak membuat kondisi perempuan membaik, justru sebaiknya. Dengan dalih adanya hak perempuan, mereka banyak meninggalkan rumah untuk mencari kemandirian ekonomi demi memenuhi kebutuhan keluarga yang semakin tinggi standartnya, sehingga peran utama seorang Ibu jadi terabaikan. Perusakan peran ini terjadi secara simultan seperti sekarang. Perempuan sebagai pencari nafkah, pengasuhan bisa dilakukan siapa saja tanpa memperhatikan sistem hadhonah dalam islam, pendidikan semua diserahkan pada lembaga/sekolah, kepemimpinan keluarga tidak boleh ada dominasi suami, dan sebagainya. Dan itu semua harus dtanggalkan, lalu munculkan negara sebagai pilar utama dalam Ketahanan Keluarga. Negaralah yang berperan sebagai tameng dan bertanggung jawab atas segala macam bentuk penghancuran keluarga. Dan ketahanan keluarga yang jadi impian itu hanya akan terwujud jika semua pihak baik individu keluarga dan negara kembali mengikatkan dirinya pada Syariat Islam secara paripurna di setiap akspek kehidupannya. karena hanya Islamlah yang memiliki problem solving tuntas bagi seluruh persoalan hidup umat manusia di dunia, karena islam berasal dari Sang Pencipta yang paling tahu kebutuhan ciptaanNya. [VM]
Posting Komentar untuk "Sulitnya Menjaga Keluarga dari Ancaman Liberalisasi"