Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Eksploitasi ABK : Cermin Kegagalan Negara


Oleh : Umar Syarifudin 
(Pengamat Politik Internasional)

Direktur Perlindungan Warga Negara dan Badan Hukum Indonesia (PWNI-BHI) Kementerian Luar Negeri Indonesia, Lalu Muhammad Iqbal menyatakan, mayoritas anak buah kapal (ABK) asal Indonesia yang bekerja di kapal asing adalah korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Mereka hidup layaknya budak. 

Iqbal menuturkan, jika melihat TPPO ABK, 90 persen dari ABK yang bekerja di kapal asing akan mudah melihat adanya indikasi mereka sebagai korban eksploitasi. Hal ini, lanjut Iqbal, karena tata kelola di dalam negeri masih belum bagus, dan di tingkat internasional pun belum baik.

Dia menyebut ada beberapa alasan yang menyebabkan ini terjadi, salah satunya adalah karena tidak adanya sistem perekrutan ABK untuk bekerja di kapal asing di dalam negeri. Jadi tidak jarang mereka yang direkrut adalah yang tidak memiliki skil, tanpa paspor, dengan buku pelaut palsu, dan terkadang mereka direkrut oleh pihak ketiga di Indonesia. "Sektor yang paling rentan bukan hanya TKI, tapi ABK. Bahkan situasi kemanusiaan jauh lebih buruk ABK dibanding dengan TKI. 90 persen yang bermasalah adalah mereka yang bekerja di kapal Taiwan," tukas Iqbal. (dilansir sindonews.com 12/1/17).

Berdasarkan data pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu), jumlah ABK Indonesia di luar negeri sebanyak 262.869 jiwa, dimana mayoritas terpusat di kawasan Asia Pasifik, Amerika Selatan dan Afrika. Para ABK tersebut terbagi dalam beberapa kategori, yakni ABK yang bekerja di kapal kargo (6,57%), kapal pesiar (6,80%), kapal tanker (0,68%), tugboat (8,84%), dan kapal penangkap ikan (77,09%). Kemlu mencatat, kasus ABK Indonesia tahun 2013 hingga 2014 adalah sebanyak 1.617 kasus. Di antaranya terdiri dari kasus pidana (49,10%), perdata (0,06%), keimigrasian (3,95%), ketenagakerjaan (27,82%), dan lain-lain (19,04%).

Catatan di Situasi Krisis

Nasib Anak Buah Kapal (ABK) khususnya mereka yang bekerja di kapal asing penangkap ikan memprihatinkan. Kita memang pantas marah dan terluka jika ada buruh ABK yang disiksa secara brutal. Mereka bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai. Padahal, pemerintah sendiri mengakui saat ini cukup banyak ABK WNI yang bekerja di kapal-kapal asing. Kita juga prihatin, karena lapangan pekerjaan dan kesempatan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri dirasa kurang dapat memberikan harapan yang indah bagi masa depan, maka banyak masyarakat Indonesia yang mengadu nasib menjadi “buruh migran” atau TKI termasuk ABK di luar negeri. Dalam buku berjudul Migrasi Tanpa Dokumen: Strategi Perempuan Mempertahankan Kehidupan (Studi Kasus Lima Buruh Migran Perempuan Indonesia : 2005) yang diterbitkan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa diskriminasi dan eksploitasi berlapis tidak luput dari pengalaman buruh migran. 

Serangkaian insiden penculikan ABK asal Indonesia di perairan selatan Filipina tahun tahun lalu semakin membuka mata semua pemangku kepentingan, bahwa industri berbasis kelautan - baik milik asing maupun dalam negeri - terlalu lama dibiarkan bertindak serampangan tanpa memberi perlindungan memadai bagi para pekerjanya. Banyak sekali buruh kapal asal Tanah Air diiming-imingi upah besar, mencapai USD 300 per bulan, dengan pembekalan seadanya tanpa kejelasan seperti surat kontrak dari si perekrut. Hal mendasar adalah upah yang tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, kontrak kerja yang tidak dipegang salinannya (karena kebijakan perusahaan), dan kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan penggambaran saat pelatihan. Jalur perekrutan tidak jelas melalui calo lepas yang tidak diketahui juntrungannya. 

Data dari illegal fishing di seluruh dunia yang mempekerjakan 700 ribu ABK, diantaranya berasal dari Indonesia. Kebanyakan dari mereka dipekerjakan di wilayah kelautan yang bukan teritorial negara pembawa. Para ABK Indonesia ini juga banyak yang terputus interaksi dari keluarganya. Bahkan terdapat banyak laporan keluarga atau orang tua yang merasa kehilangan anaknya di kapal asing. Sebagian besar TKI berpotensi menjadi korban kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi.

Ironis, negeri yang sebenarnya kaya raya ini, sebagian penduduknya harus mengais rezeki di negeri orang, sementara orang asing (pekerja dan investor) berebut rezeki di negeri sendiri. Kasus eksploitasi buruh terjadi berulang-ulang dan sudah puluhan tahun. Semestinya, kita banyak belajar dari kejadian sebelumnya, sehingga ada penanganan khusus bagi TKI, terutama perlindungan hukum bagi mereka di tempat kerja di negeri orang. Ternyata, tidak banyak perubahan. Gambaran potret buram kegagalan negara mengurusi rakyat, khususnya  TKI termasuk ABK adalah Pertama, mendapat tindak kekerasan. Kedua, minimnya hak untuk melakukan perlawanan. Ketiga, tak adanya atau minimnya jaminan perlindungan, baik di tempat kerja maupun pemerintah Indonesia.

Aktivis buruh di Indonesia perlu menyadari bahwa telah lama terjadi simbiosis mutualisme antara ide kebebasan bekerja dengan ideologi Kapitalisme dan bahwa akar dari ide kebebasan bekerja adalah paham liberal yang justru menjadi sumber dan akar masalah kekerasan terhadap buruh. Kapitalisme mendoktrin manusia untuk mengejar kesenangan pribadi tanpa menghiraukan akibat yang ditimbulkannya kepada orang lain.

Kejadian yang menimpa para buruh migran juga menunjukkan betapa lemahnya koordinasi penyelenggara negara. Ini merupakan bukti lain, bahwa ide demokrasi memang bukan untuk mereka yang tertindas. Persoalan mendasar itu adalah perbudakan manusia. Yakni mereka yang terpaksa merantau ribuan kilometer dari negerinya hanya untuk sesuap nasi, namun hanya kekerasan dan kezhaliman yang mereka dapatkan. Demokrasi menjadi slogan kosong yang acapkali bisa ditunggangi oleh kepentingan jahat para Kapitalis. Demokrasi juga membutakan mata manusia dengan nafsu kebebasan dan egoisme, tanpa bisa lagi melihat penderitaan kaum lemah yang berada di sekitar mereka.

Indonesia adalah negeri muslim seharusnya bisa mandiri mengurusi tenaga kerja dengan menciptakan lapangan kerja dengan pengelolaan industri yang baik dan pengelolaan SDA yang bagus, tetapi karena penerapan sistem kapitalistik problem ketenagakerjaan makin runyam. Maka saatnya umat Islam sadar memperlakukan syariat Islam dan sistem kepemimpinan yang Islami untuk mengatasi ketenagakerjaan. [VM]

Posting Komentar untuk "Tentang Eksploitasi ABK : Cermin Kegagalan Negara"

close