Publik Mengakui Perjuangan HTI
Baru-baru ini menkopolhukam mengeluarkan pernyataan mengejutkan, yakni berencana memproses pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia, dengan beberapa alasan: Pertama, HTI dinilai tidak melaksanakan peran positif mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional; Kedua, terindikasi bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945; Ketiga, kegiatan yang dilakukan dianggap menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI.
Melihat alasan yang dikemukakan pemerintah, publik tentu dengan sangat jelas bisa menangkap ada keganjilan. Tuduhan pertama, disebutkan HTI tidak melaksanakan peran positif mengambil bagian dalam proses pembangunan. Padahal, publik justru melihat pemerintahlah selama ini yang gagal dalam proses pembangunan negeri ini. Berapa kali rakyat disuguhi berbagai kenaikan harga bahan kebutuhan pokok; terbaru masyarakat merasa keberatan dengan kenaikan tarif dasar listrik. Belum lagi kebijakan utang luar negeri dan kenaikan pajak tiap tahun, serta lemahnya pemerintah terhadap perusahaan multinasional Asing seperti Freeport, semakin menambah daftar kegagalan pemerintah dalam pembangunan.
Mengenai kiprah HTI sebagai organisasi yang kritis, publik justru menilai positif, sebab kritik-kritik yang selama ini disampaikan kepada setiap rezim yang berkuasa, sangat konstruktif. Perundangan liberal merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, juga UU lainnya, berhasil dijelaskan oleh HTI secara gamblang mengunakan perspektif Islam. Maka wajar jika Yusril Ihza Mahendra menyebut keberadaan HTI selama ini dihormati dan diakui kiprah dakwahnya (jpnn.com, 9/5/2017).
Tuduhan kedua, HTI bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, jelas mengada ngada. Sebab HTI adalah organisasi legal berbadan hukum perkumpulan (BHP), sehingga HTI memiliki hak konstitusional melakukan dakwah yang amat diperlukan demi perbaikan bangsa dan negara ini. Sebagai organisasi dakwah, kegiatan HTI adalah menyampaikan ajaran Islam, baik itu terkait aqidah, syakhsiyyah, syariah, dakwah maupun khilafah dan lainnya, itu semua adalah ajaran Islam. Sedangkan, menurut Pasal 59 UU No. 17/2013 Tentang Ormas, ajaran Islam tidaklah termasuk paham yang disebut bertentangan dengan Pancasila. KH. Ma’ruf Amin selaku ketua umum MUI pun sudah menjelaskan ke masyarakat bahwa HTI bukan ormas sesat dan bukan pula ormas menyimpang (hidayatullah.com, 09/5/2017).
Justru kalau diperhatikan secara seksama, malah publik menilai pemerintahlah yang melakukan tindakan melanggar Pancasila dan UUD 1945, sebab mengeluarkan pernyataan tanpa melalui proses pengadilan. Direktur Pusat Studi Konstitusional (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, menyebut pembubaran organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI oleh pemerintah inkonstitusional. Sebab, hak untuk berkumpul dan berserikat dijamin Undang-Undang Dasar (tempo.co, 8/5/2017). Hal senada disampaikan Lembaga Bantuan Hukum Padang, Sumatera Barat, yang menilai sikap pemerintah bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan seperti kembali ke orde baru (tempo.co, 09/5/2017).
Tentang tuduhan ketiga, bahwa kegiatan yang dilakukan HTI dianggap menimbulkan benturan di masyarakat, mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. Jelas adalah tuduhan keliru. Secara faktual, HTI selama lebih dari 20 tahun telah terbukti mampu melaksanakan kegiatan dakwahnya secara tertib, santun dan damai, serta diselenggarakan sesuai prosedur yang ada. Oleh karena itu, tudingan bahwa kegiatan HTI telah menimbulkan benturan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI adalah tudingan mengada-ada. Mengenai pro dan kontra ide atau gagasan, ini tentu bukan sebuah masalah. Demikian halnya dengan aksi penolakan yang dibarengi sikap anarkis organisasi tertentu terhadap HTI, juga bukan sebuah fakta yang bisa diangkat. Justru seharusnya pemerintah menindak dan membubarkan organisasi anarkis yang mengganggu kegiatan HTI yang sudah menempuh prosedural hukum. Termasuk juga, pemerintah seharusnya serius membubarkan organisasi separatis semisal di Papua, yang jelas-jelas mereka membakar bendera RI, melawan dan menembak aparat keamanan disana, serta terang-terangan menghendaki negara Papua merdeka.
Jadi ketika umat Islam dan ormas Islam selalu saja dikriminalisasi, sedangkan organisasi dan gerakan yang melanggar hukum, seperti separatis dan gerakan terindikasi komunis dibiarkan oleh pemerintah. Maka ini akan membentuk dengan sendirinya stigma negatif bagi pemerintah, bahwa rezim ini terindikasi anti Islam. Belum lagi kalau melihat maraknya kasus pembubaran pengajian dan tablig akbar umat Islam oleh aparat. Ini semakin menambah bukti dan citra buruk rezim dimata umat Islam.
Karena itu, sebaiknya pemerintah menghentikan segera sikapnya untuk membubarkan ormas Islam. Sebab sikap otoriter seperti inilah yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. Lebih jauh sikap seperti ini –meminjam istilah Ketua Komisi Yudisial– sebagai politik stigmatis yang dilakukan rezim fasis untuk memberangus pihak-pihak yang tidak sepaham dengan agenda politiknya. Dan negeri ini tentu sudah traumatik mendalam terhadap sikap-sikap represif ala orde baru itu.
Lokomotif Gerakan Politik Baru
Diakui atau tidak, kiprah dakwah dan gerakan politik HTI, mendapat respon positif dari banyak tokoh. Buktinya pasca pidato menkopolhukam berencana membubarkan HTI, organisasi ini malah banjir dukungan. Memang ada yang malah mendukung gertakan menkopolhukam tersebut, tapi melihat dengan kacamata politik, dukungan pembubaran terkesan masih satu kubu. Berbeda dengan dukungan terhadap HTI, terlihat tokoh-tokoh politik, pakar hukum dan para pengamat, menggunakan perspektif masing-masing dalam menyatakan penolakan sikap menkopolhukam. Ini menunjukan beragamnya kubu yang mendukung atau membela HTI. Memang berbarengan dengan pidato (rencana) pembubaran HTI, sang penista harus divonis penjara. Tentu ini adalah hal menyakitkan bagi rezim yang selama ini bersahabat dengan sang penista agama. Karena itu, sebagian pengamat, menyebut kebijakan rencana pembubaran HTI adalah politik perimbangan. Ahok divonis bersalah, namun harus ada yang jadi tumbal, dan konsultan politik rezim membidik HTI. Bisa dikatakan gara-gara HTI lah sang penista mesti mengalami kekalahan telak di Pilkada Jakarta, melalui isu strategis ‘tolak pemimpin kafir’, terpiculah aliansi besar umat Islam, mobilisasi masa luar biasa terjadi dalam sejarah negeri ini, isu mencari keadilan untuk penistaan agamapun ikut menggulung koalisi politik sang penista agama. Amunisi politik, finansial, dan media pro rezim, dikerahkan untuk membendung aliansi besar umat Islam tersebut. Namun itu tidak mengubah sejarah, bahwa sang penista harus kalah dan divonis penjara. Inilah setidaknya alasan kuat, sasaran pertama dan utama diarahkan kepada HTI, sebagai sebuah organisasi intelektual yang memicu gerakan umat.
Namun yang uniknya, HTI tidak gentar. Mungkin inilah salah satu sikap yang membanggakan umat Islam. Jika dalam politik konvensional, biasanya setelah ini ada tawar-menawar antara lawan politik. Tetapi tidak terjadi dalam politik ideologis HTI yang bersumber dari pemikiran Islam. Pengalaman menghadapi rezim-rezim tiran dan komunis di Timur Tengah dan Eropa, menjadikan HTI memiliki pengalaman politik yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Akan tetapi faktor terbesar kekuatan HTI adalah ideologi Islam itu sendiri, beserta kecintaan umat terhadap gerakan yang tidak bisa disuap jabatan dan harta sekalipun. Selama HTI istiqamah dalam metode yang sudah digariskan Rasulullah saw, maka kemenangan sejati umat Islam akan terwujud.
Melihat fenomena ini, penulis berkeyakinan kuat umat Islam akan ikut serta mendukung upaya HTI dalam memperjuangkan gagasannya secara damai, sebab pemenang dari konstelasi intelektual hari ini bisa jadi akan menjadi penentu Indonesia kedepan. Apakah negeri ini akan menjadi negeri yang terus dikuasai oleh rezim yang kebijakannya selalu pro Kapitalis Asing, ataukah menjadi negeri sejati umat Islam, yang menyinari dunia dengan syariah Islam dan membebaskan-mempersatukan seluruh negeri-negeri muslim.
Gerbong politik HTI secara alamai kini mulai menyusun kekuatan dan membuka aliansi besar kedua pasca aksi bela Islam. Deklarasi dukungan ormas-ormas dan tokoh-tokoh masyarakat terhadap HTI sudah tersebar di berbagai media. Sebagian ormas dan tokoh Islam, tentu sudah sangat cermat melakukan langkah dukungan ini, sebab rezim ini sudah terindikasi memiliki track record yang buruk terhadap umat Islam, sekarang mungkin HTI rencana dibubarkan, maka sangat kuat dugaan selanjutnya seluruh ormas-ormas Islam yang beraliansi dalam aksi bela Islam 212 akan dibubarkan pula.
Selain HTI didukung umat Islam, HTI pun akan mendapat dukungan dari rakyat secara umum. Alasannya sederhana, isu-isu kritik terhadap rezim, yang digulirkan selama 15 tahun terakhir cukup memberi citra positif bagi HTI, sebab HTI dalam melakukan kritik kebijakan, tidak melalui jalan anarkis, namun melalui jalan perdebatan dan transfer pemikiran intelektual. Isu-isu yang diusung HTI juga sangat pro rakyat, hampir tidak ada satu pun kebijakan politik dalam pengelolaan negara, pasti HTI sudah memiliki gagasan solusinya, uniknya ketajaman fakta setiap masalah diselesaikan dengan solusi-solusi Islam, layaknya seorang negarawan muslim. Contoh konkret adalah kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam perspektif Islam yang diedukasikan terus menerus tiada henti yang sangat menjual, sebab betul-betul berkesesuaian dengan cita-cita kemerdekaan negeri ini, sejahtera, adil dan bebas dari imperialisme. Sementara disisi lain, gurita korupsi yang menggerogoti banyak partai dan elit kekuasaan, menjadi faktor yang mendorong rakyat untuk segera mencari harapan baru bagi negeri dengan potensi yang besar ini. Jadi bagi yang sangat peduli pada kondisi negara ini, tentu tidak akan melewatkan setiap gerakan politik intelektual nan damai yang dilakukan HTI. Karena itu, bagi seluruh komponen bangsa Indonesia, sudah waktunya meninggalkan rasa saling curiga, dan bersegera mencari solusi terbaik bagi negeri ini, dan gagasan-gagasan HTI jelas sangat direkomendasikan agar negeri ini segera bebas dari krisis multi dimensi yang menimpanya. Wallahu a’lam. [VM]
Penulis : Yan S. Prasetiadi, M.Ag (Dosen STAI Muttaqien Purwakarta)
Posting Komentar untuk "Publik Mengakui Perjuangan HTI"