Mewaspadai Revisi UU Terorisme
Ditengah-tengah hiruk pikuk perpolitikan nasional, tanpa disadari umat, pemerintah saat ini sedang mentargetkan untuk secepat mungkin merampungkan pembahasan revisi UU tindak Pidana Terorisme. Di saat sentimen anti Islam dan bagaimana represifnya sikap pemerintah saat ini terhadap umat Islam dan para ulamanya, tentu dibalik kengototan untuk segera mensahkan revisi UU ini, patut dicermati. Mengapa demikian terburu-buru? Apa yang hendak dikejar?
Pemerintah menganggap bahwa UU Tindak Pidana Terorisme saat ini tidak cukup memadai untuk penanganan kasus-kasus terorisme. Apalagi pasca peledakan Kampung Melayu kemarin. Mereka menganggap UU yang ada kurang memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah antisipatif, guna mencegah kasus terorisme.
Hal itu diakui sendiri oleh Muh syafii, selaku ketua pansus revisi UU Tindak Pidana Terorisme. Bahwa dalam RUU Terorisme, pemerintah meminta kewenangan lebih untuk bisa melakukan penindakan. Karena itu mereka ingin merubah beberapa pasal yang dianggap krusial. Diantaranya keinginan untuk mengasingkan orang yang dicurigai teroris ke tempat tertentu selama enam bulan. "Bayangkan, itu bukan penangkapan dan bukan penyelidikan. Hanya diambil saja, simpan di tempat tertentu yang terserah mereka, selama enam bulan” ucap Syafii dalam wawancaranya dengan Kiblat TV awal Mei lalu.
Politisi Partai Gerindra itu menambahkan, pemerintah juga meminta penambahan masa penahanan terduga teroris dari yang sebelumnya 7×24 jam menjadi 500 hari lebih.
Selain itu, UU ini dapat dianggap memberikan legitimasi pada pemerintah untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya, terutama dari kalangan ulama dan aktivis Islam yang dianggap sebagai hambatan terbesar dimata mereka. Muh Syafi'i pun juga melihat potensi upaya mengkriminalisasi ceramah-ceramah agama. Sebab, pemerintah bisa saja menetapkan suatu ceramah dianggap radikal tanpa standar jelas.
Tak hanya itu saja, dalam UU Terorisme juga ada upaya menetapkan pidana kepada orang yang menjadi anggota dari satu organisasi yang dicapsebagai organisasi teroris. Maka siapapun yang menjadi anggotanya, dapat dijadikan sasaran pelaksanaan UU ini nantinya.
Demikian tergambar bagaimana semakin represifnya rezim ini kedepan, jika UU revisi ini telah diterapkan. Bayangan adanya Dinas Rahasia, kasus petrus dimasa Orba, dan beragam penculikan masa lalu yang masih misterius hingga saat ini, akan terulang lagi, bahkan semakin marak karena adanya payung hukum legal. Tentu hal ini harus dicegah. Mengingat jangan sampai ada anggapan dari siapapun bahwa Islam membahayakan eksistensi negara, sehingga sah untuk dilenyapkan. Bagaimana bisa ada anggapan mendakwahkan pemikiran dan hukum-hukum Islam membahayakan negara? Bagaimana kita bisa paranoid terhadap ajaran Sang Maha Pencipta itu sendiri? Padahal bagi seorang mukmin, tidak ada keselamatan, keberkahan dan kemaslahatan hidup, kecuali saat menerapkan aturan Sang Khalik 'azza wa jalla secara kaffah. Bagaimana bisa syariah yang akan menyelamatkan negeri ini dari beragam bahaya dan kerusakan malah dicurigai dan harus dilenyapkan?
Ada apa?
Memang, aroma kepentingan sangat terasa saat kita mencermati kasus ini. Ketika Kapitalisme global sedang merajai, maka siapapun yang mengusung ideologi berbeda akan dianggap musuh. Pasca keoknya Uni Soviet lalu dengan sosialismenya, saat ini hanya Islam yang layak dijadikan sebagai musuh utama dan terbesar bagi mereka. Itulah mengapa, setelah peristiwa WTC lalu, kasus-kasus terorisme terus dimunculkan, dengan bumbu framing media sekuler, lebih dari 90% pelakunya adalah muslim. Mereka, kalangan pengusung ideologi Kapitalisme beserta seluruh anteknya ingin menciptakan opini skala dunia bahwa Islam dan aktivis dakwahnya sah untuk dilenyapkan. Hal ini seiring dengan terus digalakkannya kerjasama antar negara untuk penanganan kasus terorisme, termasuk kesepakatan terbaru antara pemerintah RI dan Menlu AS Mike Pence saat kunjungan ke Jakarta April kemarin dan antara Raja Salman dan Donald Trump akhir Mei lalu di Riyadh.
Saat ini intelijen dalam Pandangan Islam
Intelijen, atau yang disebut mukhabarat, keberadaannya selalu menakutkan masyarakat. Institusi ini menjadi tangan kanan penguasa untuk memata-matai rakyatnya sendiri.
Padahal Allah Swt sendiri telah melarang aktivitas memata-matai (tajassus) diantara sesama muslim, baik diantara sesama warga negara, maupun oleh negara terhadap warganya sendiri.
Allah Swt. berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّس
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan (dengan memata-matai) orang lain. (TQS. al-Hujurat [49]: 12).
Ayat di atas melarang berprasangka buruk, termasuk menyangka orang atau pihak tertentu sebagai ‘teroris’; juga melarang aktivitas memata-matai masyarakat dengan dalih apa pun. Ayat di atas berbentuk umum, yakni aktivitas tajassus (memata-matai) dalam hal apa saja. Dengan kata lain, dengan dalih atau tujuan apa pun tidak dibenarkan (haram hukumnya) memata-matai masyarakat.
Di dalam sistem hukum dan kehidupan Islam, aktivitas tajassus (mata-mata) hanya ditujukan terhadap negara-negara kafir. Bahkan, adanya aktivitas tajassus atau intelijen yang ditujukan terhadap manuver negara-negara kafir adalah wajib. Sebagaimana tindakan Rasulullah saw. yang mengutus ‘Abdullah bin Jahsy untuk memata-matai kafir Quraisy, "Berjalanlah engkau sampai ke jantung daerah Nakhla—dengan nama Allah—dan sampai ke kolam (sumur)-nya. Janganlah engkau mencegah seorang pun dari sahabat-sahabatmu untuk turut bersamamu. Laksanakanlah perintahku beserta orang-orang yang mengikutimu sampai di jantung daerah Nakhla (terletak antara Makkah dan Thaif, red). Lalu amatilah gerak-gerik orang-orang Quraisy". (Muhammad Hamidullah., Majmu' Assiyasah, hlm. 68).
Dalam setiap peperangannya, Rasulullah saw. juga selalu menjalankan aktivitas intelijen terlebih dulu untuk mengetahui kekuatan dan strategi musuh. Dengan begitu, akan diperoleh informasi tentang titik-titik kelemahan mereka. Keterangan tentang aktivitas intelijen tersebut banyak terdapat di kitab-kitab siroh.
Jadi apakah dinas intelijen tidak perlu ada? Tidak demikian. Namun seharusnya jika kita berpijak pada Islam, maka fungsi, sasaran dan cara kerja intelijen haruslah berbeda dengan apa yang selama ini diterapkan. Tidak boleh intelijen digunakan untuk memata-matai rakyatnya sendiri, sehingga menjadi teror menakutkan. Tapi sebaliknya, intelijen haruslah ditujukan untuk kepentingan Islam dan Warga Negara Islam. Sehingga aktivitas memata-matai harusnya ditujukan untuk negara-negara yang selama ini memerangi kaum muslimin, seperti AS, Rusia, Cina, Inggris dan lain-lain. Agar terdeteksi sejak dini apa saja makar yang akan mereka rencanakan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslim, sekaligus dapat melakukan antisipasi terhadapnya. Sehingga intervensi mereka terhadap masalah politik, budaya, ekonomi dan lain-lain dapat dicegah. Jika seperti ini fungsi intelijen, pastilah akan didukung rakyat. Bahkan rakyat akan bekerja sama dengan negara, untuk ikut waspada apa saja makar asing yang akan merusak negeri mereka. Tentu saja itu semua tidak akan terwujud, kecuali jika seluruh rakyat beserta negara menjadikan Islam dan syariatnya sebagai dasar pijakan. Lewat institusi Negara Khilafah, yang akan mampu melindungi segenap elemen yang ada didalamnya dari serangan musuh-musuhnya. [VM]
Penulis : Dr. Ima Kartikasari
Posting Komentar untuk "Mewaspadai Revisi UU Terorisme"