Media dan Penghentian Sensasional Bunuh Diri
Hampir saja luput dari perhatian publik luas. Bunuh diri menjadi penyakit sosial kronis yang menimpa kehidupan. Karenanya badan Kesehatan Sedunia WHO melaporkan sekitar 800 ribu orang bunuh diri setiap tahun. Untuk memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia pada 10 September ini, WHO menekankan peran penting media untuk menghentikan seseorang melakukan bunuh diri.
Di seluruh dunia, ada satu orang bunuh diri setiap 40 detik. WHO melaporkan untuk setiap tindakan bunuh diri, ada 20 orang lain – terutama anak muda – yang berupaya melakukan tindakan serupa. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian kedua diantara orang berusia 15-29 tahun. Kebanyakan bunuh diri, atau lebih dari 78%, terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Faktor resiko bunuh diri antara lain akibat gangguan jiwa, khususnya depresi dan kecemasan akibat alkohol. WHO menunjukkan bukti bahwa media bisa memainkan peran penting dalam mencegah bunuh diri, dengan melaporkan tragedi itu secara bertanggungjawab. (https://www.voaindonesia.com/a/who-minta-media-tidak-beritakan-peristiwa-bunuh-diri-secara-sensasional/4023372.html).
Berharap pada Media
Pemberitaan peristiwa bunuh diri ditengarai sebagai inspirasi bunuh diri. Jika pemberitaan itu tidak bertanggung jawab. Akibatnya sensasional berita menghebohkan dunia. Peristiwa demi peristiwa bunuh diri pun bisa disaksikan live media sosial dan diungguh videonya. Jika ditilik bunuh diri sering dilakukan dengan cara meminum racun, gantung diri, senjata api, dan ragam lainnya.
Menyajikan suguhan berita bunuh diri, berlepas dari sebagai inspirasi atau sekadar informasi memang batasannya tipis. Hal ini dikarenakan, manusia memiliki caranya sendiri dengan mengakhiri hidupnya. Adapun pemberitaan sekadar informasi yang tindakannya bisa ditiru berulang-ulang.
Ada hal menarik sesungguhnya yang harus diungkap oleh media: mengapa angka bunuh diri tidak bisa ditekan dan turun drastis? Jika dianalisis secara mendalam ada satu landasan yang dilupakan manusia, yaitu keyakinan akan kehidupan setelah kematian.
Kehidupan kapitalisme dan liberalisme inilah pemicu utama. Kehidupan di dunia seolah-olah sekali dan mejauhkan dari agama. Agama dipandang bukan lagi sebagai solusi. Ditambah lagi dengan abainya pengurusan urusan manusia dalam kehidupan. Ketika mentok tak ada solusi, bunuh diri jadi solusi dan mengakhiri hidup. Padahal jika dia orang beriman, maka akan ada kehidupan setelah mati dan ada hari pembalasan pertanggung jawaban.
Poin penting dari media seharusnya berfokus pada edukasi dan pencegahan.
1) Edukasi dalam menyiarkan cara hidup sehat secara sosial dan psikologial. Konten pemberitaan bunuh diri tak lagi disiarkan dengan caranya, tapi lebih pada berita peristiwa. Hal ini untuk mengecilkan inspirasi bagi pelaku lainnya. Pengarahan kerohanian dan kajian keagamaan diberikan porsi lebih besar agar hidup dilandasi oleh keilahian.
Penjelasan dari pemuka agama bagaikan cahaya penerang jiwa. Menyampaikan bahwa di dalam agama ada solusi bagi masalah kehidupan. Sebagaimana Islam yang memberikan rahmat bagi seluruh alam.
2) Pencegahan dilakukan dengan tidak memberikan layanan live bunuh diri atau tindakan kejahatan lainnya. Jika akan terjadi bunuh diri, maka warga penikmat media bisa segera melaporkan kepada pihak yang berwajib. Begitupun konten yang mewartakan tindakan bunuh diri dilarang untuk diunggah. Karena memang bukan tontonan yang mendidik.
Ada peran negara yang tidak bisa diabaiakan. Kebanyakan bunuh diri terjadi di negara yang berpendapatan menengah dan rendah. Hal ini menunjukan ekonomi negara begitu bercorak kapitalistik liberal. Akibatnya tekanan hidup yang tinggi, akses ekonomi kian sulit, kapitalisasi di semua sumber ekonomi, dan lainnya.
Untuk mencegah depresi negara seharusnya hadir dalam setiap masalah rakyatnya. Tekanan hidup ini tidaklah berdiri sendiri, tapi tersistem dan berkaitan dengan masalah lainnya. Terkadang manusia untuk menghilangkan depresi dialihkan ke alkohol, narkoba, klub malam, dan lainnya. Justru dengan itu akan timbul masalah baru. Maka negara juga harus menutup segala pintu kemaksiatan dan melarangnya total.
Media saat ini diharapkan mampu berperanan besar terkait dalam konten pemberitaan. Pun mendukung pemerintah untuk melawan sensasional bunuh diri secara massif. Media menjadi wahana menyehatkan rohani, pemikiran, dan jiwa rakyat. Media yang bernilai profetik (kenabian) yaitu rahmat bagi seluruh alam. Serta menjadikan ridho Allah sebagai standar kebahagiaan kehidupan, bukan matrealistik nisbi. [VM]
Penulis : Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)
Posting Komentar untuk "Media dan Penghentian Sensasional Bunuh Diri"