Siklus Peradaban


Edward Gibbon (1737-1794), sejarawan Inggris yang masyhur itu, menulis sebuah buku monumental yang terus dikenang hingga sekarang: The Decline and Fall of the Roman Empire. Buku yang cukup massif ini terbit dalam enam jilid, dalam rentang waktu dua belas tahun. Jilid pertama terbit persis pada tahun ketika Deklarasi Kemerdekaan Amerika diumumkan: yakni tahun 1776. Jilid terakhir terbit pada 1789, lima tahun sebelum Gibbon meninggal.

Buku Gibbon ini menganalisis keruntuhan imperium besar Romawi. Kenapa sebuah negara besar yang berumur sekitar lima abad ini (Bandingkan dengan Indonesia yang baru bermumur tujuh puluh tahun; masih “bayi”!) bisa runtuh? Kenapa sebuah kerajaan besar yang wilayahnya mencakup tiga benua ini –Eropa, Afrika, dan Asia—dan meninggalkan warisan peradaban yang terus bertahan hingga sekarang bisa rubuh? Kenapa dan kenapa?

Keruntuhan sebuah imperium politik dan peradaban besar selalu menimbulkan pertanyaan yang mengganggu bagi kaum sejarawan dan intelektual secara umum. Keruntuhan peradaban Islam yang menikmati dominasi di panggung peradaban dunia selama tujuh abad lebih juga memantik sejumlah refleksi dan renungan dari para sejarawan Muslim. Dari era klasik, renungan yang brilyan datang dari tangan Ibn Khaldun (w. 1406), sejarawan Tunis itu. Ia menulis karya besar yang terus menjadi pembahasan hingga kini. Judulnya; Muqaddimah.

Penulis Arab modern yang mengangkat tema ini adalah Amir Syakib Arsalan (w. 1946) dalam risalah pendeknya yang populer di Indonesia pada tahun 50an: Limadza Ta’ahhara al-Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum (Kenapa Umat Islam Mundur, Dan Kenapa Pula Bangsa-Bangsa Lain Maju).

Setiap mengamati negeri-negeri Barat dan melihat kota-kota di Eropa dan Amerika yang begitu cemerlang, saya selalu merasa terpojok sebagai seorang Muslim. Dan saya selalu berbisik kepada diri sendiri: Ciamik betul negeri-negeri Barat ini! Kenapa mereka bisa membangun kota dan peradaban yang hebat seperti ini? Kenapa kota-kota di negeri Muslim, walau modern pada “façade” atau penampilan luarnya, seperti sebuah “kampung besar” yang masih terbenam dalam alam pikir yang anti-kemajuan?

Setiap menyaksikan  kota-kota di negeri Barat, sejumlah hal selalu menarik dan sekaligus menghentak kesadaran kita: kota yang bersih, pepohonan yang bertebaran di mana-mana, museum dan perpustakaan publik yang menyenangkan, ruang publik yang membuat orang merasa sebagai manusia (bukan res, benda yang tak berjiwa dan berkesadaran), dan taman kota yang ada di setiap sudut.

Di kota yang merupakan “Baghdad”-nya dunia modern, yaitu Manhattan, New York, dapat kita jumpai sebuah pemandangan yang nyaris tak bisa dipercaya, so amazing! Sebuah hutan di tengah kota bernama Central Park. Bagaimana perancang kota yang hanya memiliki luas wilayah kira-kira 87 km itu bisa berpikir untuk membangun sebuah hutan mini seluas 3,5 km2? Sementara kota sebesar Jakarta yang memiliki wilayah 664 km2 –tujuh setengah kali lebih besar dari Manhattan—sama sekali tak memiliki taman (apalagi hutan) yang cukup besar dan berarti? Why such neglect? Why?

Kalau kita telaah sejarah keemasan Islam klasik, kita akan berjumpa dengan kota-kota besar yang dari segi kebersihan dan dinamisme kehidupan kultural dan intelektual, nyaris mirip dengan kota-kota modern. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, Granada (Arab: Gharnatha), Cordova (Arab: Qurtubba) adalah metropolis, kota dunia yang merupakan London, Paris, dan New York pada zamannya.

Kenapa peradaban-peradaban besar ini, Muslim dan bukan-Muslim, bisa rubuh dan menjadi kenangan saja dalam almari sejarah? Mereka semua adalah kenangan yang indah dalam buku album, tetapi bukan merupakan realitas hari ini. Kenyataan hari ini dunia Islam adalah kemunduran, keterbelakangan yang dibungkus dan malahan dirawat terus-menerus atas nama tradisi dan kejumudan.

Mari kita telaah analisis Gibbon soal kemunduran imperium Romawi. Argumen Gibbon ini, beberapa di antaranya, sudah banyak dibantah oleh sejarawan belakangan. Tetapi analisis Gibbon tetap menggelitik karena membantu kita untuk memiliki semacam “eagle’s eye”, mata elang untuk melihat sebuah peradaban sebagai kanvas besar yang bisa kita telaah dan analisis dengan sikap kritis, mungkin juga dengan sedikit melankoli dan perasaan “ngelangut”.

Inilah kata Gibbon tentang sebab-sebab kerubuhan imperium Romawi;

Yang pertama adalah merosotnya apa yang disebut dengan “civic virtue” atau kebajikan sipil. Apa yang disebut dengan kebajikan ini ialah kesediaan warga negara untuk membela negara, bekerja keras, dan setia kepada agama sipil yang menjadi ideologi negara Romawi.

Setelah menikmati kejayaan dan kemakmuran material, bangsa Romawi pelan-pelan kehilangan “civic virtue”, cenderung lembek dan “keperempuan-perempuanan” (“effeminate”; tentu saja bahasa ini sudah tak bisa lagi diterima di era “gender correctness” sekarang ini! Tapi anda tahu, Gibbon hidup di abad ke-18). Ibu-ibu bisa baper kalau diksi ini dipahami dalam konteks kekinian.

Analisis Gibbon ini mengingatkan saya kepada analisa serupa oleh Ibn Khaldun tentang kelahiran, pertumbuhan dan keruntuhan dinasti-dinasti di negeri-negeri Muslim. Ibn Khaldun menerangkan keruntuhan sebuah dinasti dengan teori ‘ashabiyya atau, dalam bahasa Franz Rosenthal (1914-2003), disebut solidaritas sosial. Mula-mula dinasti berdiri karena etos solidaritas dan kekompakan yang solid. Setelah negara makmur dan kaya, rakyat negara itu menjadi lembek, karena lebih cenderung menikmati kekayaan material, dan malas.

Gibbon juga menyalahkan agama Kristen yang ia anggap telah menggerogoti “civic virtue” dalam negara Romawi. Ajaran Kristen yang terlalu menekankan kehidupan di dunia nanti (otherworldly) dia jadikan sebagai kambing hitam untuk perubahan sikap rakyat Romawi yang pelan-pelan lebih mementingkan “perjuangan ukhrawi” ketimbang kerja keras untuk dunia sekarang. Dengan kata lain, Kristen mempunyai andil dalam keruntuhan imperium Romawi dalam pandangan Gibbon.

Pada saat etos ini telah merosot, Romawi mendapatkan serangan yang mematikan dari bangsa barbar. Ini mengingatkan kita pada kejatuhan Baghdad pada 1258 yang membuat “New York” dari dunia klasik Islam itu runtuh untuk selamanya, hingga sekarang.

Saya tidak tahu sejauh mana analisis Gibbon ini tepat. Sebagai seorang yang awam mengenai sejarah Romawi, saya menganggap bahwa telaah yang dikemukakan oleh Gibbon ini masuk akal. Apa yang dikemukakan baik oleh Gibbon dan Ibn Khaldun mirip dengan sejarah kelahiran dan kejatuhan sebuah firma atau perusahaan keluarga.

Sebuah perusahaan lahir karena kerja keras orang tua yang biasanya tanpa pendidikan yang memadai. Generasi orang tua ini mirip “bonek”, hanya bermodal semangat menya-nyala. Begitu sukses, perusahaan itu diteruskan oleh generasi anak dan cucu yang biasanya sudah kehilangan “enterpreneurial spirit”, semangat kewirausahaan. Meskipun generasi anak dan cucu itu biasanya memiliki pendidikan yang lebih baik. Mereka menikmati kuliah di sekolah-sekolah bisnis besar di dunia seperti Harvard Business School.

Tetapi, kita tahu, spirit wirausaha kadang-kadang tak bisa diajarkan di sekolah. Dia lahir dari pergulatan hidup yang kongkrit.

Quran memiliki sebuah ungkapan yang menarik tentang lahir, tumbuh dan runtuhnya bangsa-bangsa ini, yaitu: wa tilka ‘al-ayyamu nudawiluha baina al-nas (QS 3:140). Kejayaan sejarah itu dipergilirkan oleh Tuhan di antara bangsa-bangsa, mengikuti sebuah “hukum” tertentu. Hukum ini berlaku objektif bagi bangsa manapun. Hukum ini bisa menimpa umat manapun, termasuk umat Islam.

Walau umat Islam yang terjuluki sebagai “umat terbaik pilihan Tuhan” (khaira ummatin) yang berada di jalan yang lurus dan lempang menuju surga, tetapi jika mereka tak mengikuti hukum sejarah, mereka bisa mengalami kejatuhan dan keruntuhan sebagai sebuah bangsa. Dan era ini adalah era yang, di mata saya, menandai periode terburuk dalam sejarah Islam, dengan kelahiran kelompok-kelompok brutal dan ekstrim di setiap lini firqah dan aliansi fikrah. Seperti ISIS yg menodai sakralitas khilafah, atau kutub sebaliknya, seperti kelompok liberal yang memporak porandakan metodologi pemikiran Islam.

Tugas dunia Islam saat ini adalah menelaah sebab-sebab keruntuhan peradaban mereka dan merumuskan sebuah “rescue strategy,” strategi penyelamatan untuk keluar dari pusaran maut kemunduran itu. Yang jelas, strategi itu bukan “kembali kepada Quran dan sunnah” an-sich (dalam arti harfiah), dalam pengertian meniru kehidupan di zaman Nabi pada abad ke-7 secara litterlijk tanpa pemaknaan ygtepat. Strategi ini hanyalah resep yang menjamin bangsa-bangsa Islam malah kian mundur lagi ke belakang. Karna dimaknai secara dangkal.

Tentu bukan berarti saya anti Quran & Sunnah. Tapi saya anti pada penyempitan dan penyalahgunaan warisan pusaka Nabi untuk Ummat tersebut.

Kita butuh mujahid-mujaddid-mujtahid peradaban. Yang mampu melerai polemik kompleks akibat stagnasi pemikiran. Dan perlu kita gagas jalan baru untuk solusi jangka panjang dalam bingkai manifesto perjuangan yang rapi dan metodologis. Kita harus berani untuk mulai berpikir cemerlang! (al-fikr al-mustanir)

Penulis : Abu 'Izzuddin Al-Islami

Posting Komentar untuk "Siklus Peradaban"