Uni Afrika… Cek Kosong Hadapi Imperialisme dan Kegagalan Sistem Demokrasi


Menurut laporan Xinhua Pertemuan puncak Uni Afrika (AU) dimulai pada Senin di Ibu Kota Ethiopia, Addis Ababa, dengan tema "Menang Perang melawan Korupsi: Jalur Berkelanjutan menuju Transformasi Afrika". Pertemuan dua-tahunan tersebut dijadwalkan berlangsung sampai 29 Januari. Menteri Luar Negeri Ethiopia, Workneh Gebeyehu mengatakan para pemimpin tersebut dijadwalkan membahas masalah politik dan keamanan yang mempengaruhi negara Afrika dan memperbarui badan benua.

Kolonialisme dan Korupsi

Hari ini, Afrika masih darurat kolonialisme dan korupsi. Afrika menjadi benua yang jauh berbeda dari keadaan di masa lalu saat dipimpin oleh Khilafah Islamiyah. Negara-negara Afrika saat ini adalah negara-negara independen semu, dimana asing mengendalikan kebijakan mereka baik domestik maupun. Para penguasa antek-antek Barat di Afrika mewakili guru kolonial mereka secara tidak langsung. Semua penguasa kolonial barat, baik AS termasuk Inggris memutuskan untuk memerintah Afrika secara tidak langsung melalui agen-agen.

Afrika termasuk sumber minyak dunia. Negara-negara kapitalis berebut di bumi Afrika untuk dilakukan eksplorasi di darat dan di bawah laut, perusahaan-perusahaan minyak menyuap dengan jumlah uang yang signifikan kepada para pejabat pemerintah Afrika, meningkatkan pengeluaran militer bagi Pasukan Perdamaian Amerika di Afrika dan kunjungan presiden beberapa kali untuk mengamankan kesetiaan politik bagi ekspor minyak. Perusahaan-perusahaan minyak Barat dan pemerintah Afrika mimiliki gaya Kapitalisme yang sama dan karenanya kekayaan yang dihasilkan dari ekspor minyak cenderung beredar di antara mereka sendiri, dengan meninggalkan rakyat kebanyakan dalam keadaan lebih miskin, suatu fakta yang didokumentasikan oleh beberapa organisasi. Oleh karena itu, sebanyak apa pun sumber daya yang ditemukan di Afrika, kemiskinan akan terus menjadi bagian dari benua Afrika.

Pertarungan Imperialis

Pengaruh AS hadir mempengaruhi kebijakan politik Afrika untuk menantang pengaruh hegemoni Inggris. Amerika menyerukan demokrasi dan multipartai di negara-negara yang berada di bawah kekuasaan Inggris dan kekuatan Eropa pada umumnya. Agen-agen AS melakukan serangan politik kepada agen-agen Inggris yang bersikeras untuk mempertahankan kekuasaannya di Afrika dengan cara mencengkeram koloninya. 

Secara internal, konflik politik AS-Inggris di Afrika saat ini telah mengeksploitasi garis-garis patahan etnis, namun para pemimpin politik berpura-pura bahwa konflik itu tidak ada. Konflik AS vs Inggris terekspos dalam berbagai pernyataan provokatif oleh agen mereka masing-masing dalam gemuruh nyanyian pesta demonstrasi, SMS, email, poster dan berbagai selebaran memberi kontribusi besar pada krisis politik. Hate speech yang dilakukan agen-agen Barat telah menjadi biang perpecahan politik. 

Berkenaan dengan pertarungan politik antara Inggris dan Amerika Serikat, berikutnya menyusul Negara-negara dari Uni Eropa seperti Perancis dan Jerman, dapat dilihat bagaimana mereka menjadi kekuatan utama dan memiliki pengaruh langsung terhadap bumi Afrika. Mereka bergerak untuk menempatkan agen-agen politik mereka di negara-negara Afrika agar tetap di bawah cengkeraman mereka. 

Untuk kasus Kenya misalnya, Kerajaan Inggris, serta penguasa kolonianya, telah berupaya menjaga Kenya di bawah pengaruhnya melalui administrasi Uhurus. Pada saat yang sama, Inggris mengisolasi Raila Odinga yang tampaknya telah memendam loyalitas Amerika sejak diperkenalkannya kembali partai multi di negara tersebut. Khususnya, perebutan kekuasaan antara AS dan Inggris biasanya diterjemahkan ke dalam perebutan kekuasaan antara Mr. Kenyatta dan Mr. Raila Odinga bersama dengan suku masing-masing dan suku-suku lain yang bersekutu dengannya. Namun penting untuk dicatat bahwa sikap ini mengindikasikan bahwa tidak ada kebijakan yang disengaja dari kedua kekuatan tersebut untuk membiarkan Kenya meluncur ke dalam kekacauan. Ini karena keduanya memiliki kepentingan ekonomi di negara ini.

Melihat situasi Kenya, maupun Negara-negara Afrika lainnya terutama terkait krisis politik yang berujung kekerasan, menunjukkan kegagalan sistem demokrasi yang korup. Ini adalah sistem bagi segelintir kapitalis yang merindukan kepuasan individualistis; Dengan demikian, para politisinya menggunakan cara-cara kotor, seperti melakukan polarisasi masyarakat dengan alasan kesukuan, untuk menangkap atau mempertahankan kekuasaan. Pemilu demokratis lebih merupakan alat yang dimaksudkan untuk mengelabui orang awam agar tidak bekerja untuk perubahan radikal dan asli, yaitu, membawa Islam sebagai satu-satunya alternatif untuk menyelesaikan bukan hanya masalah Afrika tapi seluruh masalah kemanusiaan.

Krisis Politik dan Politisi

Politisi-politisi pro-Demokrasi Afrika dikenal sebagai pembajak inspirasi publik untuk mempengaruhi masyarakat agar percaya bahwa konflik politik adalah perjuangan untuk kesejahteraan mereka. Sementara warga di Afrika terbiasa terus menderita dari biaya hidup yang tinggi, layanan kesehatan yang buruk, krisis pangan yang akut, dan krisis multidimensional lainnya. Pemilu abadi dalam demokrasi adalah salah satu upaya putus asa untuk menyembunyikan kegagalannya. Demokrasi telah gagal secara politis di dunia dan telah dirancang untuk melayani beberapa elite. Dengan kedok Demokrasi, kekuatan barat sebagai kekuatan utama telah melakukan intervensi dalam isu domestik 'negara-negara muda yang demokratis' yang membuat ekonomi mereka tidak stabil dan membusuknya moral masyarakat mereka.

Adapun Negara-negara Afrika yang menderita konflik kesukuan. Krisis saat ini telah lebih jauh mengekspos formula politik Negara-negara tersebut, yang merupakan politik terstruktur kesukuan dimana politisi menungganginya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompoknya. Tribalisme di Afrika berasal dari era penjajahan Inggris. Penjajah Inggris menentukan struktur pemerintahan. Para kolonialis selanjutnya memainkan satu kelompok etnik terhadap yang lain dan terjadilah api konflik berkepanjangan.

Kunci Jawaban

Sungguh menyedihkan melihat Afrika jatuh dalam dominasi asing dan tidak sadar akan kekeliruan demokrasi serta politisi serakah yang selalu merindukan keuntungan individualistis dengan mengorbankan rakyat. Kegagalan demokrasi di Afrika harusnya membuat masyarakat terbuka kesadarannya terhadap ideologi Islam yang adil dan komprehensif; yang mencakup solusi masalah politik dan sosio-ekonomi untuk seluruh umat manusia.

Sistem ekonomi Islam memfasilitasi kesejahteraan penduduk Afrika melalui distribusi kekayaan yang adil dan merata. Perintah-perintah yang tegas dalam Islam untuk memastikan kekayaan agar tidak hanya berada di tangan orang kaya menyebabkan kekayaan mengalir ke seluruh masyarakat. Kompetisi internasional saat ini antara AS, Uni Eropa dan China pada perebutan lading-ladang minyak Afrika yang sangat besar dan sumber daya mineral lainnya adalah yang menyebabkan perlu kembalinya Khilafah Rasyidah yang kedua kalinya ke Afrika untuk menyejahterakan penduduknya.

Sejarah telah membuktikan bahwa, dalam sistem Khilafah Islam yang terintegrasi dengan rakyat dan negeri-negeri itu diperintah oleh para negarawan dalam sistim Khilafah dengan berbaurnya dengan penduduk asli. Penyebaran Islam ke Afrika tidak didorong oleh keuntungan materi, namun tujuannya adalah menyebarkan pesan-pesan Islam dan nilai-nilai Islam yang mulia. [vm]

Penulis : Umar Syarifuddin (Pengamat Politik Internasional)

Posting Komentar untuk "Uni Afrika… Cek Kosong Hadapi Imperialisme dan Kegagalan Sistem Demokrasi"