Darurat Korupsi, Kartu Kuning Demokrasi
Mencengangkan, baru awal tahun 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 5 kepala daerah menjadi tersangka. Sebagian diantaranya bahkan diciduk KPK dalam operasi tangkap tangan.
Darurat korupsi sudah lama terjadi. Berdasarkan hasil investigasi ICW dari tahun 2010-2015, sebanyak 215 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Data lain menyebutkan,
sepanjang 2015 - 2017, ada 33 kepala daerah terjerat korupsi. Bila sejak berdirinya KPK, sudah lebih dari 356 kepala daerah yang ditangkap. Trennya tiap tahun terus meningkat.
High Cost Politik
Bukan rahasia lagi, demokrasi adalah sistem politik yang butuh biayai tinggi. Maraknya korupsi kepala daerah berkaitan erat dengan politik transaksional dalam memenangkan pertarungan pesta demokrasi di daerah. Tidak hanya mahar politik, biaya opini dan pencitraan pun makin naik, seiring kemampuan besar media sosial. Belajar dari Pilkada Jakarta, mesin opini melesat cepat dan mencengangkan lewat media sosial.
Mahalnya ongkos politik ini, menyebabkan para calon, partai dan penyandang dana (pengusaha) harus pintar berkoalisi sekaligus bertransaksi. Model transaksional memastikan semua biaya bisa balik modal. Disitulah peluang korupsi terjadi melalui simbiosis mutualisme kepentingan, bisa berupa jual beli izin usaha, atau lainnya.
Model pemilihan kepala daerah langsung, turut membuat jaring-jaring korupsi melebar dan massif. Bila dulu korupsi banyak terjadi di tingkat pejabat pusat, setelah otonomi daerah dan pemilukada langsung, wajar korupsi di daerah pun tak mau ketinggalan.
Begitupun dengan pemilukada serentak, tidak mampu meminimalisasi mahalnya ongkos dan aktivitas politik transaksional. Beberapa pengamat bahkan curiga tingginya mahar politik pilkada 2018 terkait dengan pemilihan presiden 2019.
Seperti yang diungkapkan Peneliti ICW Almas Sjafrina, dimana ia menduga tingginya mahar politik di Pilkada Serentak 2018 karena partai politik menjadi momentum pilkada 2018 untuk mengumpulkan uang untuk pemilu 2019. (http://www.beritasatu.com/nasional/473601-icw-mahar-politik-picu-peningkatan-korupsi-kepala-daerah.html)
Kartu Kuning Demokrasi
Sesungguhnya demokrasi memudahkan kelahiran politik transaksional. Dalam demokrasi, hukum dan undang-undang bisa berubah seiring perubahan kepentingan mayoritas wakil rakyat di legislatif. Karena sumber hukum dalam demokrasi adalah kesepakatan manusia. Disinilah peluang jual beli kepentingan dan kesepakatan di antara fraksi-fraksi di parlemen.
Dalam demokrasi pun tak ada standar yang pasti terkait 'syarat-syarat' calon legislatif maupun syarat pemimpin. Siapa pun bisa maju asal memiliki dukungan suara serta dana. Karena itu 'pencitraan' merupakan hal mutlak wajib dilakukan. Dan tentu saja tak ada pencitraan yang gratis. Butuh tim sukses profesional dan cara-cara cerdas hingga terbangun figur unggul pilihan. Hal yang paling mudah dan sering dilakukan adalah dengan menyandingkan calon dengan 'nama' yang sudah populer di masyarakat, mulai dari tokoh hingga artis, bahkan paranormal. Meski secara profesionalisme banyak dipertanyakan.
Tidak jarang, jabatan pemerintahan dipandang sebagai jalan mencari nafkah dengan menduduki kekuasaan. Padahal sejatinya seorang pemimpin dipilih dan diangkat untuk menjadi pengurus dan pelayan rakyat. Maka wajar bila kemudian banyak lahir pemimpin yang tidak pro rakyat, akibat tidak bisa membedakan model kepemimpinan yang melayani dengan model kepentingan mengejar keuntungan bisnis. Darurat demokrasi meniscayakan kartu merah saja demokrasi. Siap? [vm]
Penulis : Rahmanisa H (Lingkar Studi Perempuan Peradaban-LSPP)
Posting Komentar untuk "Darurat Korupsi, Kartu Kuning Demokrasi"