Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Krisis di Papua dan Kegagalan Akut Itu…


Terkait masalah di Papua, menurut studi yang dilakukan LIPI ada 4 akar masalah di Papua. Pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia yang bagi sebagian orang Papua dianggap belum benar. Kedua, masalah operasi militer yang berlangsung sejak tahun 1965 menimbulkan trauma dan luka kolektif di masyarakat Papua tentang kekerasan negara dan pelanggaran HAM. Ketiga, deskriminasi dan marjinalisasi masyarakat Papua oleh berbagai kebijakan yang dibuat Pemerintah. Keempat, kegagalan pembangunan Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, dan ekonomi (Vivanews.com, 15/11/2011).

Kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan penyakit campak, khususnya yang terjadi di Asmat sebagai visualisasi kegagalan pemerintah krisis di Papua. Padahal penyelesaian tuntas masalah Papua tersebut hanya bisa dilakukan dengan pembangunan yang merata dengan melibatkan masyarakat Papua.

Hal itu perlu kebijakan pendanaan yang tepat yaitu bagi tiap daerah diberi dana sesuai kebutuhan pembangunannya dan diutamakan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti infrastruktur ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan dan keamanan. Dan itu hanya bisa diujudkan oleh sistem ekonomi Islam yang menjadikan distribusi kekayaan secara adil sebagai fokusnya. 

Tidak bisa oleh sistem ekonomi kapitalisme seperti yang terjadi selama ini, yang fokus pada pertumbuhan dengan mengabaikan distribusi kekayaan secara adil. Dan tidak kalah pentingnya adalah harus dilakukan peleburan masyarakat menjadi satu kesatuan masyarakat yang di dalamnya tidak ada diskriminasi dan marjinalisasi. Semua itu hanya bisa diujudkan jika syariah Islam diterapkan secara utuh. Hanya itulah solusi tuntas bagi semua problem di Papua.

Negara dianggap gagal melindungi milik umum. Negara tidak mampu mencegah individu atau perusahaan swasta memiliki aset-aset yang termasuk milik umum. Seharusnya, jika ada individu atau swasta yang sudah terlanjur menguasainya seperti dalam kasus Freepoort saat ini, maka yang harus dilakukan oleh Negara bukan melakukan negosiasi untuk menaikkan royalti atau menaikkan prosentase kepemilikan saham tapi negara harus mengambil alih. Pabrik dan instalasi yang sudah dibangun perusahaan swasta itu pun harus diambil atau diganti dengan harga yang sepadan. 

Pengelolaan SDA milik rakyat tersebut sepenuhnya harus dilakukan oleh pemerintah sebagai wakil rakyat dimana hasilnya harus dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh rakyatnya termasuk Papua. Jika dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya membutuhkan bantuan pihak swasta, maka posisi mereka hanyalah sebatas pekerja (ajir) dengan kompensasi tertentu. Dengan demikian pemerintah tidak diboleh melakukan perjanjian dengan pihak swasta dalam pembagian kepemilikan saham dari aset milik umum itu.

Jika ditelisik sumber masalah Freeport, yaitu kontrak karya yang bermasalah, tekanan asing serta kebijakan ekonomi neoliberal, tidak akan terjadi andai kebijakan pengelolaan sumber daya alam di negeri ini dilakukan berdasarkan syariat Islam. Dalam pandangan syariat Islam pengelolaan kekayaan alam seperti tambang Freeport dan tambang lainnya diatur oleh Negara untuk rakyat. dari segi kepemilikan. Tambang tembaga, emas dan sumber-sumber mineral dan tambang lainnya yang memiliki deposit yang sangat besar dikategorikan sebagai milik umum (milkiyyah ‘âmmah). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hamal al-Mazany dinyatakan bahwa: 

Bahwa ia datang kepada Rasulullah saw meminta (tambang) garam, maka beliau pun memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw pun manarik kembali tambang itu darinya” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits ini Rasulullah saw meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah beliau tahu bahwa tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa ‘illah (sebab disyariahkannya suatu hukum) dari larangan tambang itu dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang sangat banyak. Maka larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Cakupannya bersifat umum, meliputi semua barang tambang apa pun jenisnya yang depositnya melimpah laksana air mengalir.

Semua barang tambang seperti itu menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh atau diberikan kepada seseorang atau beberapa orang. Juga tidak boleh diberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Wajib ditetapkan sebagai milik umum atau milik masyarakat. [vm]

Penulis : Arifin (PKAD)

Posting Komentar untuk "Krisis di Papua dan Kegagalan Akut Itu…"

close