Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jalan Baru Untuk Indonesia, Adakah?


Krisis kepemimpinan mungkin kalimat yang pantas untuk menggambarkan kondisi kepemimpinan di Indonesia saat ini. Adapun terkait dengan kepercayaan terhadap para wakil rakyat, hal ini sudah sering diungkapkan. Itu antara lain karena banyaknya amggapan masyarakat para anggota dewan yang bermental korup, yang sering lebih mementingkan diri sendiri dan kelompok/partainya ketimbang rakyat yang diwakilinya. Ketidakpuasan rakyat terhadap para wakilnya sangat beralasan.

Para pemimpin negeri ini (baik di pusat maupun di daerah; baik di jajaran pemerintahan maupun wakil rakyat) juga sering dianggap sebagian masyarakat ‘menggadaikan’ kepentingan rakyat. Buktinya adalah disahkannya sejumlah UU—seperti UU SDA (Sumber Daya Air), UU Listrik (yang kemudian dibatalkan MK), UU Migas, dan terakhir UU Penanaman Modal—yang dikatakan oleh sejumlah kalangan lebih berpihak kepada para pemilik modal, termasuk asing, ketimbang kepada rakyat. Wajar jika pembangunan ekonomi di Indonesia dianggap telah berhasil menggusur orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Inilah buah sistem Kapitalisme. Kesejahteraan akhirnya hanya milik para pemilik modal. Ekonomi saat ini memunculkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin.

Maka setidaknya ada dua faktor penting yang bisa menjamin penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik: (1) Sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah; (2) Sistem pemerintahan/negara yang juga baik dan tidak membawa cacat bawaan.

Pertama: Menyangkut sosok pemimpin yang baik, kredibel dan amanah, jelas hal itu tidak ada kaitannya secara langsung maupun tidak dengan faktor usia; apakah muda atau tua. Namun, ketiganya lebih terkait dengan ketakwaan dan profesionalitas (skill/kemampuan). Karena itulah, dalam Islam, seorang pemimpin, misalnya, antara lain harus: Muslim (QS an-Nisa’ [4]: 59 dan 141) dan adil (QS ath-Thalaq [62]: 2), yaitu istiqamah dalam menjalankan ketaatan, yang merupakan salah satu ciri ketakwaan; di samping harus berakal sehat (HR Abu Dawud dari penuturan Ali bin Abi Thalib ra.), memiliki qudrah (kapabel) dan merdeka, yaitu tidak berada dalam kekuasan/tekanan pihak lain.

Kedua: Menyangkut sistem yang baik. Nabi Muhammad saw. jauh sebelum diangkat sebagai nabi sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik manusia ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari al-Amin oleh masyarakatnya. Namun, untuk membangun masyarakat, Allah SWT ternyata tidak mencukupkan pada karakter pemimpinnya semata. Allah SWT menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai aturan hidup manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Nabi Muhammad saw. mengatur, mengurusi dan memimpin masyarakat. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang baik. Lebih dari itu, diperlukan sistem dan aturan yang baik.

Walhasil, jika untuk keluar dari krisis multidimensi ada wacana bahwa negeri ini membutuhkan “jalan baru”, maka sejatinya “jalan baru” itu adalah Islam. Islam bisa dipandang sebagai “jalan baru” bagi Indonesiakarena memang negeri ini belum pernah menempuh “jalan Islam”. Pasalnya, sistem pemerintahan/negara yang digunakan di negeri ini selama lebih dari setengah abad—jika dihitung sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945—adalah jalan selain Islam, yakni sekularisme yang menggandeng Sosialisme (masa Orde Lama), Kapitalisme (masa Orde Baru) dan Liberalisme (masa Orde Reformasi). Adapun “jalan Islam”, yakni sistem pemerintahan/negara yang menerapkan syariah, bukan saja belum pernah diterapkan, tetapi bahkan selalu berusaha dijauhkan dari sistem kehidupan. Alasannya mengada-ada: syariah memecah-belah, mengancam pluralitas (keragaman) dan keutuhan NKRI, dll. Na‘ûdzu billâh. Padahal bukankah carut-marutnya negeri ini adalah akibat langsung dari diterapkannya sekularisme di negeri ini selama puluhan tahun sekaligus dicampakkannya hukum-hukum Allah? Mahabenar Allah SWT yang berfirman:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. (QS Thaha [20]: 124). [vm]

Penulis : Endah Sulistiowati (Dir. Muslimah Voice)

Posting Komentar untuk "Jalan Baru Untuk Indonesia, Adakah?"

close