Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Miskin Baca, Miskin Kemajuan


Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) DKI Jakarta Hikmat Kurnia berkata, tanpa kemampuan literasi yang baik maka tidak akan lahir individu yang hebat. "Sayangnya, dari data yang berkembang, hanya ada satu dari 1.000 orang Indonesia yang membaca buku secara rutin. Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar," kata Hikmat dalam pidatonya pada pembukaan Islamic Book Fair (IBF) 2018. (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/04/20/p7gq3m282-indonesia-dilanda-kedangkalan-literasi)

Pengertian literasi secara umum adalah kemampuan individu mengolah dan memahami informasi saat membaca atau menulis. Literasi lebih dari sekedar kemampuan baca tulis, oleh karena itu, literasi tidak terlepas dari ketrampilan bahasa yaitu pengetahuan bahasa tulis dan lisan yang memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan tentang genre dan kultural.

Pengertian literasi menurut UNESCO adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterampilan kognitif membaca dan menulis, yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dari siapa serta cara memperolehnya. Pemahaman orang tentang makna literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman.

Dalam kamus online Merriam-Webster, pengertian Literasi adalahkualitas atau kemampuan “melek aksara” yang di dalamnya meliputi kemampuan membaca dan menulis serta kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual (video, gambar). 

Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa Literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya, bukan hanya kemampuan baca tulis.

National Institute for Literacy, mendefinisikan Literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Peradaban manapun, harus ditopang dengan ambisi untuk meningkatkan kemajuan dalam IPTEK dan kesadaran literasi. Namun negeri-negeri muslim saat ini yang dipimpin peradaban kapitalisme memang tidak seperti dulu, karena umat Islam sedang terpecah-pecah menjadi banyak negara yang masing-masing punya pemerintahan dan kepentingan sendiri, ideologi dan visi sendiri-sendiri, di mana nasionalisme dikedepankan, sekularisme diutamakan, kapitalisme diterapkan, dan liberalisme ditanamkam. Umat Islam hanya tampak menyatu ketika tawaf di Ka‘bah atau wukuf di Arafah. Dalam banyak isu lebih sering tidak sepakat.

Menyibak zaman keemasan kaum Muslim saat itu dikenal dengan sebutan The Golden Age. Pada saat itu, kaum Muslim berhasil mencapai puncak kejayaan sains dan ilmu pengetahuan yang memberikan kemaslahatan yang amat besar bagi peradaban umat manusia pada umumnya.

Pada masa itu, berbagai cabang sains dan teknologi lahir. Sains dan teknologi yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh peradaban-peradaban sebelum Islam mampu digali, dijaga, dikembangkan, dan dijabarkan, secara sederhana oleh kaum Muslim. Sains dan teknologi tersebut kemudian diwariskan kepada generasi dan peradaban modern serta turut memberikan andil yang amat besar bagi proses kebangkitan kembali (renaissance) bangsa-bangsa Eropa.

Bisa dikatakan, kebangkitan kembali bangsa Eropa yang memicu proses industrialisasi besar-besaran di Eropa dan Amerika tidak akan muncul jika para pionir Eropa tidak belajar kepada kaum Muslim. ‘Berkah’ Perang Salib yang berkecamuk hampir selama dua abad antara kaum Muslim dan Eropa yang Kristen telah membuka mata bangsa Eropa terhadap kemajuan sains dan teknologi yang dimiliki oleh kaum Muslim. Mereka masih sempat merampas buku-buku dan berbagai manuskrip kuno yang merekam perkembangan sains dan teknologi yang tersimpan di perpustakan-perpustakaan milik kaum Muslim, meskipun sebagian besarnya mereka bakar.

Pencapaian sains dan teknologi yang amat tinggi, yang tidak pernah dicapai oleh umat manusia pada masa sebelumnya, adalah berkat diterapkannya Islam sebagai sebuah sistem hidup dan ideologi. Benar pernyatan salah seorang intelektual Muslim dari Mesir, Syekh Syaqib Arselan, yang mengatakan bahwa orang-orang Barat maju karena meninggalkan agamanya, dan kaum Muslim mundur karena meninggalkan agamanya. [vm]

Penulis : Muhammad Amin, dr, M. Ked. Klin, SpMK

Posting Komentar untuk "Miskin Baca, Miskin Kemajuan"

close