Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Debat Pilpres, Ekspektasi Publik, dan Islam


Oleh : Sukmawati Sukardi, S.IP 
(Pengamat Sosial dan Politik)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyelenggarakan debat Capres-Cawapres 2019 pada Kamis 17 April 2019. Pasangan nomor urut 01 Jokowi- Ma’ruf hadir dengan pakaian berwarna putih, Sementara pasangan 02 Prabowo-Sandiaga mengenakan pakaian lebih resmi dengan setelan jas berwarna hitam kedua pasangan calon (paslon) tampak siap mengikuti perdebatan “sengit”. 

Namun nyatanya perdebatan sengit yang diharapkan tak sesengit espektasi publik . Beberapa hal menjadi alasannya yakni pertama Paslon Jokowi tampak kaku dengan gestur yang selalu menunduk setiap memberi jawaban diduga akibat contekan konsep yang dipegangnya.

Kedua, Prabowo dengan gestur berjogetnya lalu diikuti dengan pijatan Sandiaga Uno ke pundak Prabowo, tak terhindar  menjadi bahan olok-olokan pendukung Jokowi di sosial media. 

Ketiga, kekakuan debat yang dipandu oleh Ira Kusno dan Imam Priyono ini disebut-sebut  akibat adanya  bocoran kisi-kisi pertanyaan dari KPU, sehingga jawaban  para kontestan sangat normatif dan konseptual, meski Paslon Prabowo-Sandi sempat memberi jawaban yang sangat teknis semisal akan menaikkan gaji pejabat publik termasuk Gubernur, hal itu belum cukup memuaskan publik.  

Alasan berikutnya mengapa disebut tidak sesengit yang diharapkan dapat dilihat dari hasil polling KPU sendiri di Twitter, Polling tersebut di posting sesaat pasca debat dilaksanakan. Dalam polling tersebut KPU meminta tanggapan warga twitter terkait penyelenggaraan debat, hasil akhir yang sempat terscreen shoot adalah: sangat menarik 4%, cukup menarik 11%, tidak menarik 78% dan tidak menonton 8%.  Hasil polling ini menggambarkan betapa publik belum merasa puas dengan debat yang diselenggarakan KPU.  Sayangnya polling tersebut tak dapat lagi dilihat pada time line KPU entah karena alasan apa polling itu dihapus. Namun yang jelas bahwa ini menjadi gambaran suasana kebatinan publik terhadap debat perdana pilpres 2019. 

Selain ke tidak puasan sebagian publik terkait “pertunjukan(Show)” hal menarik yang juga menjadi perhatian adalah jawaban-jawaban pertanyaan setiap paslon terkait tema Hukum, Ham, Korupsi dan Terorisme. 

Tadinya KPU berharap dengan membagi kisi-kisi seminggu sebelum hari H  setiap Paslon akan mampu memaparkan jawaban yang substansial, penuh gagasan, bersentuhan dengan visi misi dan program secara jelas dan utuh. Nyatanya justru harapan itu tidak signifikan.

Pada akhirnya KPU memutuskan tidak lagi memberikan abstraksi alias kisi-kisi materi pertanyaan debat capres ke paslon pada debat berikutnya (17 Februari 2019). Keputusan ini diambil setelah KPU melakukan evaluasi debat pertama capres atas pertimbangan dari banyak pihak, termasuk masyarakat. 

Tujuan penghapusan kisi-kisi ke paslon sebelum debat, agar capres cawapres bisa tampil dengan performa terbaik. (Detik.com, 19/1/2019)

Debat Minim Substansi Dan Solusi 

Jawaban-jawaban terkait tema yang dibahas juga berpotensi mengecewakan publik lihat saja bagaimana pemaparan terkait Hukum dan HAM sama sekali tak menyentuh isu aktual dan klasik seperti Penanganan kasus Novel Baswedan, penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1998 dsb. 

Alhasil masalah yang belum tuntas ini sama sekali tak tersentuh solusi. Lalu bagaimana masyarakat bisa menagih kinerja penyelesaian hukum dan HAM. 

Sub tema lainnya adalah  seputar pemberantasan korupsi, jalan debat pada tema yang diangkat disegmen ke lima ini menjadi bahan kritikan banyak pihak akibat pertanyaan yang dilontarkan oleh Paslon 01 hanya  seputar partai oposisi (Gerindra) beberapa caleg yang diusungnya memiliki track record sebagai mantan narapidana (Napi) kasus korupsi.  

Padahal Jokowi pernah menegaskan sendiri, mantan napi korupsi punya hak mencalonkan diri pada pemilu legislatif. Saat menanggapi rencana KPU melarang mantan napi korupsi untuk menjadi caleg dalam Pemilu 2019 beberapa waktu lalu. "Kalau saya, itu hak. Hak seseorang berpolitik," kata Jokowi di Jakarta, (29/5/2018). Jokowi mengatakan, konstitusi sudah menjamin untuk memberikan hak kepada seluruh warga negara untuk berpolitik, termasuk mantan napi kasus korupsi. (Kompas.com,29/5/2018)

Adapun jawaban Prabowo sebagai ketua Gerindra juga dianggap kurang memuaskan dan cenderung tak substansial. Alhasil debat bertema korupsi pun dianggap tak berlevel nasional. 

Kasus-kasus aktual dan besar terkait  korupsi  seperti korupsi BLBI, Century, dugaan korupsi proyek prestisius Meikarta, kasus Lembaga Pemasyarakatan mewah koruptor di Suka Miskin dsb. Semua itu menguap begitu saja, maka wajar jika publik tak terpuaskan. 

Islam dan Tema Debat 

Publik sangat membutuhkan kepastian solusi terkait tema debat Pilpres yang dua diantaranya “Penegakan Hukum dan pemberantasan Korupsi”, oleh karenanya solusi tuntas menjadi dambaan bersama. Bicara solusi maka Islam sejak 14 abad yang lalu telah memiliki konsep penyelesaian, seiring degan diturunkannya wahyu  kepada Rasulullah Muhammad SAW seputar hal tersebut. 

Tema hukum misalnya, Rasulullah SAW menegaskan agar setiap institusi penegak hukum (Qadhi)  bersikap adil dengan tak berpihak, tak tajam ke bawah tumpul ke atas, atau keras kepada lawan politik lalu lembut kepada kawan politik. Rasulullah SAW pernah menegaskan “Sesungguhnya yang merusak/membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka membiarkannya; tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” 

Hadist lainnya tak kalah tegas meminta agar hakim (Qadhi) berlaku adil : “Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang menghukumi secara tidak benar, padahal ia mengetahui mana yang benar maka ia masuk neraka. Seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia maka ia masuk neraka. Dan, seorang hakim yang menghukumi dengan benar maka ia masuk surga." (HR Tirmidzi). Adapun penegakan hukum Islam secara nyata (real) tertuang  lengkap dalam Bab Sistem Sanksi Islam yakni Ta’sir dan Jinayat.

Islam juga memiliki solusi/regulasi terkait Pemberantasan Korupsi baik bersifat Preventif (pencegahan)  dan Kuratif (penindakan). Mulai dari pemberian gaji yang memadai untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Pemberian jabatan kepada aparat yang tidak hanya ahli dan paham hukum namun juga dilengkapi dengan ketakwaan sehingga aparat terkait takut melanggar hukum Allah SWT. Adanya sistem administrasi dan audit kekayaan sebelum dan sesudah menjabat, selain itu sanksi  tegas bagi pelaku korupsi juga sudah disiapkan berupa hukuman yang keras, dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. 

Contoh konkret pemberantasan korupsi pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Dalam tulisan Hafidz Abdurahman bertajuk Islam Mampu Memberangus Koruptor dipaparkan, Khalifah Umar pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubernur Bahrain), Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Nu'man bin Adi (Gubernur Mesan), Nafi' bin Amr al-Khuzai (Gubernur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.   

Semua ini menggambarkan Islam memang merupakan agama Ideologis, selain perangkat hukum dan pemberantasan korupsi Islam juga  memiliki regulasi disemua dimensi kehidupan (Hukum, Ekonomi, Sosial, pendidikan, layanan kesehatan, dsb).

Sebagaimana dipahami oleh kaum muslimin pada dasarnya Islam memang bukan sekedar agama ritual dan spiritual. Islam memiliki konsep institusi negara Islam yakni Khilafah, yang berfungsi memastikan hukum Islam terlaksana secara konperehensif. Sementara masyarakat memiliki hak untuk  melakukan kontrol  kepada Khalifah,  sebagai pemimpin ia harus siap menerima kritik dan saran tak ada kebiiasaan baper apalagi ngacir. [vm] 

Wallahu ‘alam bii ashawab

Posting Komentar untuk "Debat Pilpres, Ekspektasi Publik, dan Islam"

close