Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ekspor Komoditas Pangan, Program Pencitraankah?


Oleh: Ooy Sumini

Produk pertanian hortikultura sayuran Indonesia sudah sangat siap dan layak untuk bersaing di pasar tingkat global. Hal ini menjadi bukti jika industri pertanian di negeri ini baik dari aspek SDM, pengolahan, hingga produk hasil pertanian para petani sudah sangat mumpuni dan bisa diterima oleh pasar. “Jika dulu super market itu diisi oleh produk-produk sayuran impor dari Amerika dan Australia, sekarang kita ‘serang balik’ mereka, produk kita yang diekspor ke negara-negara mereka”, demikian kata Menteri Pertanian Andi Amran Sulaeman saat pelepasan ekspor produk hortikultura sayuran ke Singapura dan Brunei oleh CV Fortuna Agro di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat tanggal 33/11/19 (Sindonews.com).

Ini berita yang menggembirakan, para petani kita bisa menghasilkan buah dan sayur yang berkualitas sehingga bisa tembus pasar luar negeri. Tapi bukan Indonesia namanya, kalau tidak ada ironi di balik berita menggembirakan ini. Pada bulan November 2018 ada berita bahwa tingkat prevalensi stunting (gangguan pertumbuhan linear) di Jabar berada pada tingkat medium to high, yaitu ada pada angka 29,2 persen pada tahun 2017. Sementara di atas 30 persen artinya prevalensi tinggi.

Stunting adalah sebuah kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizzi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun. Jika pada usia 2 tahun anak tersebut dinyatakan stunting, kemungkinan kecil bisa diintervensi dan kemungkinan besar bisa menetap stuntingnya. Masalah ini menjadi urusan bersama karena anak merupakan investasi, penentu sumber daya manusia masa depan. Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung Barat mencatat ada 10487 balita (tepatnya 0-59 bulan), yang terindikasi mengalami stunting. Data itu berdasarkan dari hasil temuan langsung di lapangan pada kegiatan Bulan Penimbangan Balita 2017 yang dilakukan pada bulan Agustus di 165 desa yang ada di Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Di KBB banyak terjadi kasus stunting, di KBB juga ada petani yang menghasilkan sayuran  dan buah berkualitas ekspor. Rakyat banyak yang kekurangan gizi, sementara komoditas pangannya dijual ke luar negeri. Inilah yang namanya salah urus. Pemerintah belum berhasil menangani kasus stunting, tapi mengklaim sudah berhasil meningkatkan produk pertanian sehingga bisa ekspor pangan. Seperti kata Menteri Pertanian, ekspor komoditas pangan ini untuk menyerang balik, yang biasanya impor sekarang ekspor. Beliau juga mengungkapkan dengan ekspor sayuran dan buah ini semakin membuktikan bahwa pemerintah Jokowi-JK sangat berkomitmen meningkatkan produksi dan kualitas komoditas sayuran. Artinya tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, namun sanggup mengisi pasar luar negeri.

Bagaimana disebut mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri jika kasus stunting atau kurang gizi belum bisa diatasi? Ini menunjukan rezim gagal. Hal tersebut tidak mengherankan, karena sistem demokrasi sekuler yang diterapkan di Indonesia tidak bisa memuaskan banyak orang. Dari sini seharusnya umat bisa menyadari, sebenarnya ada sistem yang adil dan mensejahterakan yang dulu pernah berjaya berabad-abad lamanya. Yaitu sistem yang menerapkan syariah Islam, Khilafah namanya.

Sistem kekhilafahan memiliki perbedaan dengan sistem demokrasi yang diterapkan di dunia saat ini. Pemimpin dalam demokrasi hanya berfungsi sebagai lembaga eksekutif yang menjalankan amanat rakyat. Dalam prakteknya yang disebut ‘rakyat’ tersebut hanyalah sebatas pada para pemilik modal dan kekuatan. Tak heran jika kemudian pemimpin hanya berfungsi sebagai fasilitator, yakni memberikan fasilitas bagi orang-orang bermodal untuk menguasai negara.

Sementara dalam Islam, pemimpin memiliki dua fungsi utama, sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat. Kedua fungsi ini dijalankan oleh para khalifah sampai 14 abad masa kegemilangan Islam. Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Karena itu merupakan bagian dari ri’ayah/kepengurusan negara. Sesuai dengan sabda Rasul saw,”Imam adalah pemelihara dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR. Bukhari). Pemberian layanan seperti ini, tentu membutuhkan dana besar. Untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Sistem ekonomi yang diterapkan adalah sistem ekonomi yang sesuai syariah, yang mengatur kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kepemilkan umum seperti sumber daya alam dikelola negara dan hasilnya dikembalikan pada rakyat dalam bentuk pelayanan-pelayanan tadi.

Kemudian negara juga mengatur ekspor impor barang, sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat. Ekspor bahan mentah misalnya, seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri. Semua itu dilakukan antara lain dalam rangka melindungi berbagai kepentingan rakyat. Sebab kewajiban negaralah untuk menjadi pelindung. Jadi, seharusnya tidak ada ekspor sayuran dan buah ketika masih ada rakyat yang kekurangan. Negara harus memastikan distribusi barang sampai pada rakyat secara merata. Sehingga tidak ada yang kekurangan gizi di suatu daerah, sementara daerah lain kelebihan pangan.

Cukuplah pelajaran dari peristiwa kelaparan pada zaman khalifah Umar bin Khattab. Waktu itu di wilayah Arab terjadi musim paceklik karena masuk dalam musim Abu. Pada tahun tersebut, seluruh bahan makanan menjadi susah didapat, sehingga rakyat mengalami kelaparan. Khalifah Umar mengirim surat kepada Amr bin al-‘Ash, gubernurnya di wilayah Mesir, untuk meminta bantuan. Lalu Amr menulis balasan kepada Umar, “Aku datang memenuhi panggilan Anda serta siap menerima dan menjalankan perintah Anda. Aku mendatangkan kepada Anda unta-unta yang kepalanya ada di hadapan Anda dan ekornya masih ada di hadapanku, sementara aku masih berharap menemukan jalan untuk mengangkutnya melalui laut”. (HR al-Bayhaqi dan Ibn Saad dalam kitab thabaqat)

Dengan datangnya bantuan tersebut kelaparan bisa cepat diatasi. Seperti itulah seharusnya seorang penguasa, memperhatikan benar kebutuhan rakyat hingga individu per individu. Sekali lagi, itu hanya terjadi di negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam. Peran negara seperti ini akan sulit dilakukan oleh negara sekuler seperti Indonesia. Saatnya kita bergegas menerapkan syariah Islam secara kaffah, karena syariah kaffah solusi bangsa dan khilafah selamatkan negeri. Wallahu a’lam bish shawwab. [vm]

Posting Komentar untuk "Ekspor Komoditas Pangan, Program Pencitraankah?"

close