Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Miris, Stunting Tinggi di Negeri Agraris


Oleh: Fitriani,S.Hi
(Aktivis Dakwah di Deli Serdang)

Miris!!! Inilah kata yang layak diungkapkan untuk negeri ini. Negeri yang berlimpah kekayaan alamnya, sumber hasil laut dan daratnya bahkan kita ingat sebuah bait lagu tongkat kayu dilempar jadi tanaman yang menandakan begitu suburnya tanah dinegeri ini. Negeri agraris yang begitu luar biasa namun terdapat penduduknya yang mengalami gizi buruk. Yang menjadi salah satu penyebab stunting yang menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, Indonesia ada di urutan ke-lima jumlah anak dengan kondisi stunting.

Stunting bisa diartikan sebagai pertumbuhan yang terhambat akibat gizi buruk, entah itu gizi buruk pada ibu atau gizi buruk pada anak di periode emas tumbuh kembangnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, stunting kerap dikaitkan dengan kekerdilan alias tinggi badan yang tidak normal pada anak. Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%). Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.

Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 hari pertama kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses makanan bergizi. Sehingga ibu yang kurang nutrisi di masa kehamilan dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.Sehingga, anak lebih pendek dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Dibeberapa daerah kabupaten/kota di Sumatera Utara angka Stunting juga cukup tinggi. Dilangkat misalnya. Seperti yang disampaikan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi saat melantik Terbit Rencana Perangin Angin dan Syah Afandin sebagai Bupati dan Wakil Bupati Langkat Periode 2019-2024 di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur, Jalan Pangeran Diponegoro, Kota Medan, Rabu (20/2/2019).  Keduanya diminta dapat menyelesaikan berbagai permasalahan di Langkat, khususnya stunting. Edy Rahmayadi menyebutkan, stunting merupakan salah satu masalah yang dihadapi Kabupaten Langkat. Karena itu, kepada keduanya, diminta agar menekan jumlah stunting. “Saya mau ini ditekan, jangan mau jadi juara yang negatif, bagaimana masa depan bangsa ini, jika anak-anaknya banyak kena stunting,” ujarnya. (medan.tribunnews.com/20/02/2019)
Melihat prevalensi stunting yang masih tinggi tadi, dan dampak yang ditimbulkan juga membahayakan generasi, maka pemerintah mencanangkan berbagai macam program untuk menurunkan pervalensi. Misalnya pada tahun 2010, Scaling Up Nutrition (SUN) diluncurkan sebagai gerakan global dengan prinsip dasar semua penduduk berhak mendapatkan dana memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi. Dua tahun berikutnya pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui program Intervensi Stunting. Dengan harapan melalui program yang berasal dari WHO ini mampu menurunkan angka prevalensi. Akan tetapi pada kenyataannya penderita stunting tidak kunjung terselesaikan. 

Program - program yang dilakukan pemerintah tersebut belum sampai menuntaskan persoalan gizi stunting, pasalnya solusi yang diupayakan pemerintah hanya bersifat tambal sulam saja yang itu tidak menyelesaikan hingga akarnya. Hal ini dibuktikan masih tingginya data angka Stunting di Indonesia setiap tahunnya hingga detik tahun 2018. Padahal Stunting itu sendiri terjadi karena kekurangan asupan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan kalau kita melihat Indonesia memiliki sumber daya alam yang luar biasa kaya, tanah yang subur penghasil beragam tanaman pangan dan minyak, apabila dikonsumsi oleh rakyatnya secara merata, maka rakyat tidak akan kekurangan asupan pangan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. 

Namun Sayangnya, negeri penghasil Sumber Daya Alam (SDA) melimpah ini yang terkenal dengan negeri agraris mengadopsi sistem kapitalisme, untuk mengatur kekayaan alamnya yang melimpah justru dengan aturan buatan manusia bukan dengan aturan Allah walhasil yang terjadi  hasil kekayaan tidak terdistribusi secara merata. Kekayaan alam banyak dimiliki oleh pihak pemilik modal yang hanya segelintir orang. Sementara akses masyarakat untuk mendapatkan makanan bergizi, sangat sulit. Dari mulai harga kebutuhan pokok yang mahal serta ketidakmampuan masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang murah dan mudah.  Maka sangat miris, negeri agraris namun stunting masih tinggi.

Berbeda dengan kapitalisme, salah satu bagian terpenting dari syari’at Islam adalah adanya aturan-aturan yang berkaitan dengan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok bagi tiap individu masyarakat, baik berupa sandang, pakaian, dan papan, serta lapangan pekerjaan. Islam mengatur urusan umat secara sempurna. Didalam Islam sudah ditetapkan bahwa kebutuhan atas pangan, papan dan sandang merupakan kebutuhan setiap rakyat sehingga wajib bagi negara untuk memenuhinya. Dengan cara mengontrol pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rakyat, memastikan tidak ada satupun rakyat yang kelaparan hingga kekurangan gizi, setiap individu berhak menerima pelayanan kesehatan dan pendidikan termasuk pendidikan yang berkaitan dengan menjaga kesehatan tubuh. Oleh karenanya, Solusi terbaik menuju Indonesia bebas stunting adalah dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam institusi khilafah.
Sistem ekonomi Islam memiliki mekanisme distribusi yang mumpuni salah satunya dengan mengatur kepemilikan. Ada kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara, yang masing-masing tidak boleh dilanggar. Sementara negara berperan melayani umat dan memastikan mekanisme tersebut berjalan dengan baik. Hal ini hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah yang telah terbukti selama lebih dari 13 abad mensejahterakan umat manusia tidak hanya di negeri Khilafah tapi juga dunia. Maka selayaknya sistem inilah yang kita perjuangkan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat sejahtera yang sesungguhnya. Wallahu`alam bisshawab. [vm] 

Posting Komentar untuk "Miris, Stunting Tinggi di Negeri Agraris"

close