Hakikat Takut Kepada Allah
Memimpin negara memang bukan perkara mudah. Butuh keberanian dan ketegasan dalam mengelolanya, sebagaimana yang dikatakan oleh capres Jokowi di panggung debat di Hotel Sultan Jakarta pada Minggu 17 Februari lalu.
Seorang kepala negara yang telah dipilih dan dipercaya rakyat, tentu menjadi suatu kewajiban bila loyalitas yang ia miliki juga dikembalikan kepada rakyat. Pun ketika menetapkan kebijakan, maka kebaikan bagi rakyatlah yang harusnya menjadi pertimbangan pertama dan utama. Disamping itu, atribut/kepentingan partai juga mesti dilepaskan mengingat statusnya bukan lagi petugas partai, melainkan pelayan seluruh urusan rakyat.
Dan yang terpenting bagi seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya adalah adanya perasaan takut kepada Sang Pemilik Kehidupan. Yang dengan bekal itu, maka menjadi suatu kemustahilan jika ia akan berkhianat dan bersikap dzalim kepada rakyat dalam mengelola negara. Sehingga, patutlah kiranya apresiasi diberikan kepada salah seorang capres dalam debatnya mengatakan dengan gamblang bahwa tidak ada yang ditakutinya kecuali Allah SWT. (Sinar harapan 17/2)
Hanya saja, rasa takut ini menjadi SALAH jika sebatas pada ucapan lisan. Dan semakin SALAH bahkan dosa jika semata untuk meraup suara. Karena sebagaimana makna iman yang harus terealisasi dalam perbuatan, maka esensi dari rasa takut kepada Allah ini pun harus terwujud pula dalam perbuatan nyata.
Sayangnya, fakta demi fakta yang dihadirkan rezim ini justru menunjukkan hal sebaliknya. Pembubaran ormas Islam, kriminalisasi ulama dan khilafah yang merupakan bagian dari ajaran islam adalah bukti bahwa rasa takut kepada Allah hanyalah lipsing belaka. Belum lagi sikap defensif negara yang ditunjukkan dengan pelabelan masjid radikal di lingkungan pemerintahan ibu kota, seolah menghakimi bahwa dakwah Islam identik dengan kekerasan.
Di bidang ekonomi, maraknya liberalisasi sumber daya alam yang mestinya diberikan untuk rakyat, juga sistem perbankan yang masih melanggengkan praktik riba adalah bukti bahwa rasa takut tersebut masih nihil implementasi.
Sayangnya, kata NIHIL ini akan terus dipelihara oleh kapitalisme yang memang menghendaki lahirnya manusia-manusia sekuler. Dimana eksistensi agama selalu dikesampingkan dalam menjalani kehidupan, termasuk politik bernegara. Sehingga, jauh panggang dari api lah yang akan dirasakan jika masih mengharap pesta rakyat lima tahunan mampu membawa penghidupan yang lebih baik dengan pemimpin yang baik.
Karena hakikatnya, penghidupan yang baik hanya akan diraih tatkala manusia, baik rakyat maupun pemimpin bersedia tunduk kepada hukum hukum syariat dalam segala aspek kehidupan. Tanpa tapi, tanpa nanti. [vm]
Pengirim : Maya A / Gresik
Posting Komentar untuk "Hakikat Takut Kepada Allah"