Perempuan Mulia Tanpa Harus Setara


Oleh : Lailin Nadhifah, S.Pd 
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

International Women's Day atau Hari Perempuan Internasional dirayakan setiap 8 Maret. Pada 2019, balance for better menjadi tema yang diangkat. Dalam situs resminya, International Women's Day mengungkapkan alasan kenapa 'balance for better' menjadi tema pada 2019 ini. "Pada 2019 ini ditujukan untuk kesetaraan gender, kesadaran yang lebih besar tentang adanya diskriminasi dan merayakan pencapaian perempuan. Hal ini termasuk mengurangi adanya gap pendapatan atau gaji pria dan wanita. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam semua aspek, pemerintahaan, liputan media, dunia kerja, kekayaan dan dunia olahraga," demikian penjelasan di situs resmi Hari Perempuan Internasional.

Tema 'balance for better' dipilih sebagai tema Hari Perempuan Internasional pada 2019 ini karena belum terjadinya keseimbangan atau kesetaraan dalam berbagai aspek kehidupan. Khususnya dalam dunia kerja, gap pay atau beda gaji masih terjadi antara pria dan wanita, di mana wanita dibayar lebih rendah dari pria. Berdasarkan penelitian, ketimpangan penghasilan antara wanita dan pria juga terjadi di Indonesia. Tak sedikit pekerja wanita yang gajinya lebih sedikit dari pria meski mereka dalam posisi yang sama. Hal tersebut terungkap dari analisa informasi data Korn Ferry Gender Pay Index. Index itu merupakan hasil analisa gaji berdasarkan gender dari 14.284 pegawai di 53 negara.

Respon yang sama juga terjadi di Indonesia, gaung kesetaraan perempuan dan laki laki di dunia public juga masih menjadi polemic. Pesan inspiratif pun disampaikan oleh istri Menteri Sosial Loemongga Haoemasan. Ibu tiga anak yang juga pengusaha itu mengingatkan para wanita untuk saling membantu. 

Menurut Loemongga Haoemasan, wanita zaman sekarang sudah setara dengan pria bahkan banyak yang melebihi lawan jenisnya dalam hal karier. Hari Perempuan Internasional pun dimaknai Presiden Direktur PT Asiana Lintas Cipta tersebut sebagai pengingat bahwa sudah tidak ada lagi limitasi bagi wanita untuk melakukan apapun.

Menurut pejuang kesetaraan gender, ketidak seimbangan peran wanita dan laki-laki  inilah pemicu kriminalisasi sosial di tengah kehidupan yang tidak kunjung mereda justru sebaliknya, kejahatan dan tindak criminal mulai dari KDRT, pelecehan, pemerkosaan, insest, perceraian bahkan kerusakan generasi semakin tinggi. Masih menurut mereka, kesetaraan gender adalah solusi bagi persoalan tersebut. Dan mereka akan memperjuangkan kesetaraan ini hingga setara atau balance. Benarkah? Atau hal tersebut sebatas angan angan kosong pejuang gender?

Islam Mengekang Perempuan, Balance For Better is solution?

Islam memposisikan perempuan sebagai al Umm wa rabb al bait, menuntut perempuan optimal di wilayah domestik. Optimalisasi di sertai Lillah itulah yang mengangkat derajat muslimah meraih kemuliaannya. Selain itu, perempuan sebagai makhluk sosial, memiliki peran sebagai ummu ajyal ( Ibu Generasi). Berkiprah secara politis melakukan pencerdasan terhadap perempuan disemua lini dari yang anak-anak hingga dewasa. Kedua posisi mulia perempuan ini, menghapuskan perempuan dari kewajiban “mengkais” nafkah. Nafkah mereka ditanggung oleh walinya hingga Negara dalam kasus2 tertentu. Lebih dari itu, sanksi akan diberlakukan kepada wali yang lalai dai kewajiban nafkah tersebut. Dengan demikian perempuan akan focus terhadap kewajiban kewajiban mulia tersebut tanpa khawatir lapar, tanpa beban stress atau depresi karena tekanan ekonomi.

Sedangkan kapitalis, ideology di luar Islam memandang posisi tersebut mengekang perempuan. Perempuan tidak mampu berkonstribusi secara financial dan ada di bawah kekuasaan laki-laki, perempuan sebatas berposisi sebagai property bagi laki-laki. 

Sehingga sistem ini memaksa perempuan bekerja untuk bisa hidup. Sistem ini tidak mewajibkan pada suami atau orangtua (ayah) memberikan nafkah kepadanya, sehingga perempuan menjadi sengsara. Akibatnya perempuan lalai kepada anak-anak dan keluarganya. Terlebih lagi, ketika perempuan bekerja di tengah-tengah masyarakat, mengalami pelecehan atas kehormatannya. 

Demikian juga, laki-laki yang terpengaruh kapitalis telah berlepas tangan untuk menafkahi perempuan dan membantu kehidupan perempuan, sehingga perempuan terpaksa masuk ke dunia kerja.

Dunia kerja telah memaksa perempuan melalaikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka, sehingga muncullah generasi yang menyimpang. Perempuan melalaikan kewajiban terhadap suaminya, sehingga terjadilah konflik : KDRT, perceraian. 

Kemudian, system rusak tersebut menawarkan solusi balance for better terhadap persoalan yang muncul dari system buatan mereka sendiri. Asumsinya, ketika berimbang peran perempuan dengan laki-laki di sector public, perempuan berdaya secara ekonomi, maka tidak akan terjadi diskriminasi. Dengan kata lain masing masing manusia sama-sama punya posisi yang sejajar, sama kuat, dan punya posisi tawar. Dengan sendirinya akan berakhir kekacauan hubungan kedua belah pihak.

Sungguh ini sebuah asumsi dan solusi yang akan menyesatkan manusia dalam kubangan kekacauan kehidupan yang tiada ujung . Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang telah diberi kemampuan survive, membutuhkan aturan main yang baku dalam menjalani kehidupan. Dan tentunya sangat mustahil aturan baku tersebut datangnya dari sesama manusia, yang kenyataannya juga mengalami persoalan yang sama. Selayaknya aturan tersebut datang dari Sang Pencipta, yang mampu mengurai “kemelut” persoalan hubungan perempuan dan laki laki.

Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam

Islam tidak mengenal istilah emansipasi, Keadilan dan Kesetaraan gender, PUG, dsb. Istilah istilah tersebut muncul dari khazanah Barat yang menjadikan tuntutan kesetaraan sebagai jalan mendapatkan hak mereka. Tak ada Muslim yang mengemukakan istilah tersebut kecuali pembebek Barat. Juga bukan topik yang harus dibahas dalam sistem interaksi pria – wanita. Islam memandang bahwa pria dan wanita hidup bersama dalam komunitas dan laki-laki bukanlah rival perempuan. Laki-laki dan perempuan adalah mitra yang bekerjasama dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Pelaksanaan hubungan kerjasama berlandaskan tata pergaulan islami.  Firman Allah “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak” (QS an Nisa’:1)

Pandangan Islam terhadap laki-laki dan perempuan, berkaitan dengan karakternya sebagai maka pria dan wanita memiliki hak dankewajiban yang sama. Sedangkan pandangan islam terhadp pria dan wanita  dengan karakter jenisnya (Jinsiyah), maka hukum syara menetapkan hak dan kewajiban yang berbeda diantara kedua. 

Diantaranya hak dan kewajiban pria dan wanita sama adalah mempunyai tanggung jawab terhadap dakwah (QS. al Fushilat:33), berkewajiban menjalankan sholat, zakat, puasa, haji (QS. al Baqarah 183), berkewajiban menuntut ilmu, mendapatkan sanksi yang tegas sesuai dengan kadar persoalan yang dilakukan(QS. an Nuur:2 dan QS. al Maidah : 38), syari’at membolehkan melakukan aktivitas muamalah (hutang piutang, sewa menyewa, jual beli) Qs. al Maidah 1 dan Qs. aln NIsa’32.  Syari’at memberikan aturan tersebut diatas bukan berdasarkan kesetaraan gender, namun lebih untuk menjadikan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain bisa terealisasi dan mewujudkan kemaslahatan untuk hidup manusia.

Disisi lain kehidupan manusia menuntut hak dan kewajiban berbeda, misalkan, dalam hal berpakaian dan bertingkah laku, sebagaimana sabda Rosulullahi shalallahu Alaihi wa salam “Rosulullahi shalallahi alaihi wa salam melaknat laki laki yang menggunakan busana perempuan dan perempuan yang menggunakan busana laki laki” atau “Rosulullah melaknat para laki laki yang bergaya seperti perempuan dan perempuan yang bergaya seperti laki laki…”. Juga kewajiban memberikan nafkah, syari’at wajibkan hal tersebut kepada laki laki (QS. Ath-Thalaq 7 dan QS. Al-Baqarah : 233). Kepemimpinan rumah tanggapun juga diwajibkan kepada laki laki (QS. an-Nisa : 34). Perbedaan hukum ini bukan karena islam diskriminatif apalagi emansipatif namun sebagai solusi memposisikan pria dengan posisinya sebagai pria begitu juga sebaliknya. Perbedaan ini bertujuan mengharmonikan kehidupan manusia, sehingga terwujud kehidupan bermasyarakat yang damai dan sejahterah. Sebagaimana firman Allah dalam QS. an Nisa’ : 32,

 وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (32)

Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”(TQS. An Nisa’:32).

Jelas kiranya untuk disimpulkan, hanya dengan Islam yang terealisasi menjadi aturan kehidupan manusia, maka perempuan mulia tanpa harus setara. [vm]

Posting Komentar untuk "Perempuan Mulia Tanpa Harus Setara"