Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Korban Jiwa Pemilu : Pahlawan atau Tumbal ?


Oleh : Ahmad Sastra

Pemilu 2019 dinilai banyak kalangan sebagai pemilu terburuk sepanjang sejarah negeri ini. Selian menelan korban jika, menelan dana hingga 26 triliun, pesta demokrasi ini juga sarat dengan berbagai bentuk kecurangan. Kemajuan teknologi informasi dan keterbukaan akses informasi mampu merekam berbagai kecurangan di tiap TPU di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. 

Pemilu serentak menelan korban jiwa terbanyak selama penyelenggaraan pemilu. Sebanyak 119 orang dinyatakan meninggal dunia, terutama petugas kelompok pemungutan suara (KPPS). Data yang dirilis HU Republika (24/04) ini didasarkan oleh laporan KPU hingga pukul 16.30 WIB kemarin.  Petugas yang mengalami musibah sebanyak 667 orang. Sementara yang mengalami sakit sebanyak 548 orang. Musibah pemilu ini terjadi di 25 provinsi. 

Menanggapi banyaknya korban jiwa saat pemilu serentak, Ketua KPU Arief Budiman menyebut akan mengusulkan santunan kematian sekitar 30-36 juta bagi petugas yang meninggal. Sementara yang mengalami cacat fisik akibat musibah akan mendapatkan 30 jutaan. Saat dikonfirmasi, menteri keuangan Sri Mulyani belum bisa menetapkan besaran santunan bagi korban jiwa pemilu. 

Untuk ketua KPU dan menteri keuangan, saya mau bertanya. Apakah nyawa rakyat Indonesia semurah itu ?. Apakah demokrasi tidak memandang nyawa manusia berharga. Bahkan jika pemerintah menyantuni setiap satu jiwa yang meninggal sebesar 20 milyar, tetaplah masih kurang. 

Dalam artikelnya di HU Republika, Effendi Gazali, dkk menulis dengan judul Dukacita dan Pemilu Serentak. Dalam tulisan itu, Effendi sebagai salah satu pengaju judicial review menghimbau agar pemilu dikembalikan kepada saat 2014 dari pada pemilu serentak 2019 dipaksakan  dengan memberlakukan presidential threshold. Ketua KPU  akhirnya menyatakan bahwa pemilu serentak cukup sekali saja. 

Dalam tulisan itu, Effendi lantas bertanya, apakah kemudian pemilu serentaknya yang harus disalahkan ?. saya jawab untuk pak Effendi, bukan hanya pemilunya yang disalahkan, tapi demokrasi pun harus disalahkan. Sistem politik padat modal inilah yang menjadi biang keladinya. Sebagai pengamat politik, Bung Effendi pasti sudah tahu cacat demokrasi. Dalam bahasa Ahmad Syafii Maarif, demokrasi itu cacat dan banyak bopengnya. 

Maarif membeberkan gambaran demokrasi yang tak kunjung menemukan bentuk yang memuaskan. Diakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang sarat dengan praktek politik uang (money politic). Bahkan demokrasi juga jauh panggang dari api soal pemerataan kesejahteraan rakyat. Dalam hal pemerataan kesejahteraan rakyat, bagi Syafii, demokrasi sangat mengecewakan. Indonesia akan terus bergelut dan berputar dalam lingkaran setan yang melelahkan, kata Syafii dalam membangun argumen pentingnya upaya pembenahan sistem demokrasi. (Republika,16/04/19). 

Demokrasi dalam pandangan sokrates adalah bentuk pemerintahan yang anarkis, memberikan kesetaraan yang sembrono kepada siapapun, baik setara maupun tidak setara. Demokrasi memberikan ruang kebebasan tanpa batas. Anarkisme demokrasi  akan berujung kepada kekuasaan tirani. 

Diperkuat oleh pandangan Aristoteles, bahwa demokrasi adalah bentuk negara yang buruk (bad state). Pemerintah yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili keompok mayoritas  penduduk itu akan mudah menjadi pemerintahan anarkhis, menjadi ajang pertempuran konflik kepentingan berbagai kelompok sosial dan pertarungan elit kekuasaan. 

Demokrasi adalah anak kandung kapitalisme sekuler. Miguel D Lewis mengatakan bahwa capitalism is religion. Banks are churches. Bangkers are priests. Wealth is heaven. Poverty is hell. Rich people are sainst. Poor people are sinners. Commodities are bessings. Money is God.

Dalam pandangan Islam, prinsip-prinsip demokrasi menyalahi syariah Islam. Pertama, Suara mayoritas mengalahkan suara Tuhan, melanggar QS Al An’am : 116. Kedua, kedaulatan hukum di tangan rakyat, melanggar QS Al An’am : 57. Ketiga, produk perundang-undangan ditentukan di parlemen, meski esensinya bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, melanggar QS Al Maidah : 48. Keempat,  demokrasi mencampakkan hukum Allah dalam urusan rakyat, melanggar QS Al maidah : 50. 

Kembali kepada korban jiwa saat pemilu. Islam memandang kematian adalah qodho atau ketentuan Allah. Kematian seseorang adalah kehendak mutal Allah. Jika telah ajal, maka tidak bisa dimajukan atau dimundurkan. Tapi perbuatan yang menyebabkan kematian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Misalnya ada perampok yang membunuh tuan rumah saat tidur hingga mati, maka yang mati tidak berdosa, namun yang membunuh berdosa. 

Begitupun mati saat pemilu adalah ajal, namun jika sistem yang dibuat  oleh KPU saat pemilu serentak menyebabkan orang sampai kelelahan dan meninggal dunia, maka KPU pembuat aturan pemilu akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Apalagi jika pemilu dimaksudkan untuk melanggengkan demokrasi yang oleh Aristoteles sebagai negara buruk. Apalagi jika kemudian para penyelenggara pemilu berbuat curang, maka berlipatlah dosanya. 

Tentang mati dan ajal, Allah berfirman, “ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”. (QS Al Anbiya : 35) 

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS Ali Imran : 185). 

Jika ditelisik dari faktor-faktor kematian di lapangan, maka pemilu serentak yang menguras tenaga para petugas itulah yang mengakibatkan korban jiwa, baik yang meninggal maupun sakit. Jika demikian maka kesalahan sistem adalah penyebab utama kematian petugas pemilu, maka pembuat sistem harus bertanggungjawab.

Bukan hanya sampai disini, pemilu 2019 ini bahkan orang dengan gangguan jiwapun boleh memilih, sementara rumah sakit jiwa telah lama bersiap diri menampung calon wakil-wakil rakyat yang tidak terpilih karena dimungkinkan akan mengalami gangguan jiwa. Gangguan jiwa calon wakil rakyat yang tidak terpilih disebabkan modal politik yang terlalu besar hilang begitu saja. Sungguh ironis demokrasi ini. Masihkah akan dipertahankan ?. Jika berakal sehat, maka demokrasi tidak layak dipertahankan. 

Ada ide untuk menyebut para petugas yang meninggal saat bertugas sebagai pahlawan pemilu atau pahlawan demokrasi. Ide ini lebih ironis lagi, sebab itu hanyalah bualan sebagai hiburan sejenak bagi rakyat. Padahal setelah pemilu rakyat banyak yang masih hidup justru akan terus hidup dalam kesengsaraan dibawah kaki para kapitalis yang menjadi cukong demokrasi. Demokrasi tidak pernah mengubah kondisi rakyat menjadi lebih baik, sebaliknya makin sengsara. Sebab demokrasi hanyalah permainan cukong kapitalis atas nama kesejahteraan rakyat. 

Gelar pahlawan hanyalah bualan, sementara sistem pemilu telah terbukti memakan jiwa rakyat jelata. Karena itu para korban jiwa pemilu lebih tepat jika disebuat sebagai tumbal demokrasi. Lebih miris lagi jika kelak yang menang pilpres yang sarat kecurangan ini merayakan kemenangan dengan pesta pora. Mereka tertawa berjingkrak-jingkrak merayakan kemenangan pemilu diatas mayat-mayat kaum jelata. 

Selama demokrasi masih diterapkan negeri ini, maka ideologi kapitalisme dan komunisme lah yang sesungguhnya tengah mengangkangi negeri ini. Selama itu pula, negeri ini tidak akan pernah merdeka dan berdaulat. Rakyat akan terus menjadi korban kampanye pemilu demokrasi. Setelah pemilu, mereka akan mati pelan-pelan karena beban ekonomi yang makin berat. 

Meminjam teori Guffman tentang dramaturgi, sesungguhnya pemilu demokrasi hanyalah panggung sandiwara yang disutradarai oleh gerombolan kapitalis. Rakyat diminta untuk ikut berpartisipasi untuk sekedar memberikan legetimasi belaka. Sebab pada akhirnya, kapitalismelah yang berkuasa di negeri-negeri demokrasi. 

Sementara rakyat hanya sebagai tumbal yang akan terus dimiskinkan, sementara perampokan atas sumber daya alam terus dilakukan. Alhasil, kekayaan di negeri ini hanya beredar pada segelintir kapitalis. Rakyat hanya bisa menjadi penonton sambil menunggu sekarat karena perut lapar dan lehernya tercekik pajak yang makin menggila. Sementara lapangan pekerjaan yang dijanjikan hanyalah mimpi belaka. Maka, tak jarang di negeri ini masih ada masyarakat yang makan rumput kering, bunuh diri dan bahkan depresi merasakan beratnya beban hidup di negeri demokrasi dibawah penjajahan kapitalisme dan atau komunisme. 

Sebagai akhir tulisan ini, renungkan apa yang diungkapkan oleh Sir Muhammad Iqbal jauh hari telah mengkritisi sistem kapitalisme dan komunisme :  

Keduanya penuh nafsu dan tidak punya tenggang rasa. Tuhan telah mati dalam kesadarannya. Manusia merupakan sasaran penipuan. Yang satu bangkit untuk dahaga revolusi, yang lain giat mengejar pajak. Di antara dua batu, manusia remuk binasa. (Javid Nama, h. 52).

Ironis memang, saat pemilu rakyat jadi korban, setelah pemilu rakyat jadi miskin. Jadi apakah korban jiwa pemilu sebagai pahlawan ?. Bukan !!. Mereka adalah tumbal ideologi demokrasi kapitalisme  yang busuk. [vm]

Posting Komentar untuk "Korban Jiwa Pemilu : Pahlawan atau Tumbal ? "

close