Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Krisis Moral Bangsa, Pertanda Runtuhnya Peradaban ?


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT

"Apapun yang dimungkinkan secara teknologis sulit dijalankan kalau modal moral kita rusak" Yudi Latif.

Penulis memulai tulisan ini dengan mengutip pendapat salah seorang eks punggawa BPIP, Yudi Latif. Jika merujuk pendapatnya, bisa kita pahami bahwa teknologi memungkinkan setiap usaha untuk memperbaiki kualitas hidup manusia dengan berbagai sarana dan kemudahan. Namun, teknologi tak akan mampu memberi 'saham' bagi kepercayaan publik, jika krisis moral merajalela. Pendapat Yudi Latief ini disampaikan konteksnya menyikapi wacana e voting. 

Penulis kira ada benarnya juga, meskipun bisa kita pahami moral bukanlah satu-satunya faktor determinan yang menjamin adanya kepercayaan publik kepada Pemerintah dalam menjalankan kekuasaan.

Namun tanpa moral, rasanya mustahil bisa mengunduh rasa percaya, lepas dari praduga, jika karakter pemimpin dalam menjalankan kekuasaan mengalami defisit moral. Dengan Pemilu langsung saja, yang rakyat awam bisa mengontrol secara manual, dugaan pelanggaran dan kecurangan tetap ada dan massif, apalagi menggunakan bantuan teknologi ?

Mengumandangkan e voting tentu hanya memungkinkan masyarakat tertentu saja yang mampu mengontrolnya, masyarakat IT yang bisa langsung menyatakan komplain terhadap adanya kecurangan. Masyarakat awan, dipandang tak memiliki otoritas ilmiah untuk menyatakan suatu penyelenggaraan curang atau tidak curang.

Pada konteks tertentu, masyarakat IT yang eksklusif dapat menggunakan peluang awam yang tak melek IT, untuk menyatakan pasangan calon tertentu sebagai pemenang dengan berkolaborasi dengan penguasa. Ya jelas, dengan penguasa karena umumnya penguasa itu cenderung menyalahgunakan wewenang. Ingin berkuasa, berkuasa lagi, dan terus berkuasa.

Pemilu manual hari ini saja, telah membuka celah bagi tirani lembaga survei atas mayoritas suara rakyat, dan memaksa rakyat untuk mentaati vonis lembaga survei. Atas dalih otoritas ilmiah, lembaga survei menebar racun ditengah benak rakyat.

Di era kini modal kejujuran, keterbukaan, dan mau menerima kehendak rakyat yang tidak menginginkan kekuasaan dilanjutkan, sangat sulit ditemui. Kejujuran menjadi barang langka, untuk menemukannya lebih sulit ketimbang mencari artefak peninggalan megantropus erectus. Para politisi dan partai, demi kekuasaan terbiasa untuk bohong, curang, mengikrar janji palsu, berkhianat dan menebar ketakutan publik.

Tak soal cara yang ditempuh, yang penting tujuan tercapai. Para politisi secara koor mengumpat ajaran Firenze Niccolò Machiavelli. Namun pada saat yang bersamaan, nyaris semua politisi adalah umatnya Machiavelli. Mereka taat, ittiba' dan mempraktikkan ajaran Machiavelli.

Bahkan hingga politisi Islam dari partai yang mengaku partai Islam, juga ikut menjadi umatnya Machiavelli. Mereka, melupakan ajaran Kanjeng Nabi SAW. Hadits Nabi tentang ciri-ciri munafik, tak lagi mereka hiraukan. Nyaris semua politisi gemar berdusta, ingkar janji dan khianat.

Saking parahnya deposit moral bangsa ini, Prof Ryaas Rasyid sempat berkomentar satir dalam sebuah forum
GWA mengomentari kasus hukum yang menimpa Kemenpora. Kasus yang konon, uangnya disebut mengalir ke salah satu lembaga keagamaan (ormas Islam) di negeri ini.

"Kalau seorang pada level sekjen organisasi nasional berbohong tentang sesuatu hal dalam tradisi kita sangat lumrah (beri sumbangan dalam jumlah yg wajar secara terbuka dan disaksikan seorang menteri) logika saya tidak masuk akal. Sekjen sadar kesaksian palsu diancam hukuman tambahan. Yg perlu kita cermati adalah jawaban si menteri. Karena jawaban itu akan memudahkan publik tahu kualitas kepribadiannya. Jujur atau bohong." Ungkapnya.

Bagi penulis sendiri, memiliki cela terkait moral itu lebih berbahaya ketimbang memiliki aib hukum. Seseorang bisa saja melanggar hukum tapi dapat lolos dari jeratan hukum. Dalam keadaan lain, boleh jadi seseorang dikorbankan, atau dikriminalisasi dan mendapat vonis hukum, meskipun sebenarnya orang tadi berperilaku baik.

Standar moral jauh lebih tinggi ketimbang standar hukum. Orang yang melanggar moral, mendapat sanksi agama dan sangsi masyarakat. Meskipun, bisa saja pelanggar moral dapat lepas dari jerat pidana.

Seorang pemabuk, penjudi, tukang serong, pendusta, pelaku curang, bisa saja lepas dari jerat pidana. Namun, orang ini telah cela dalam pandangan agama dan masyarakat.

Atas standard moral ini, Sesungguhnya lembaga survei dan sekaligus pribadi Denny JA, Burhanuddin Muhtadi, Saiful Muzani, telah runtuh wibawa dan marwahnya dimata publik ketika dilaporkan oleh sejumlah pihak ke Mabes Polri. Meskipun secara hukum, publik juga sudah paham sikap apa yang akan diambil penegak hukum jika yang dilaporkan adalah pihak-pihak yang mendukung Jokowi.

Bagi orang yang tidak beriman, melanggar standar moral itu tidak mengapa. Karena sanksi dosa bagi pelaku zina, pemabuk, pelaku curang, pembohong, dan sikap perusak moral lainnya, tidak membuat pelakunya takut atas azab Allah SWT. Mereka melihat dunia sebatas ladang untuk memuaskan syahwat, bukan ladang untuk menanam benih amal sebagai bekal untuk kehidupan akherat.

Adapun secara hukum pelanggaran moral ini sulit dijerat dengan hukum. Contohnya pelaku zina dan pendusta. Zina dalam timbangan KUHP hanya bisa diproses jika ada aduan, dan atas dasar salah satu pelaku telah mengikat perkawinan. Jika zina dilakukan suka sama suka, zina berbayar, zina tanpa komplain dari pasangan kawin, tidak bisa dipersoalkan secara hukum.

Bohong pun sama, jika tidak mengakibatkan keonaran, bohong dianggap bunga-bunga pembicaraan. Kecuali bohong dalam kasus penipuan dan penggelapan, barulah bisa diproses secara hukum.

Belum lagi, proses penegakan hukum yang tebang pilih. Ratna Sarumpaet berbohong, kemudian mengakui kebohongannya, meminta maaf, faktanya tetap dijerat dengan pasal 14 atau 15 UU No. 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Namun beda halnya dengan Jokowi, saat kampanye debat terbuka Pilpres terbukti bohong, disaksikan seluruh rakyat Indonesia, tidak pernah meminta maaf, dilaporkan oleh kelompok masyarakat, tapi tidak juga ditindak secara hukum. Bang Muslim Arbi ketua GARPU mengaku jengah dengan hal ini. Bukankah ini berbahaya bagi masa depan moral bangsa ?

Penulis dalam soal moral ini juga menyayangkan sikap para begawan BPIP yang diam seribu bahasa menyaksikan rusaknya moral bangsa. Mengaku penjaga Pancasila, tapi bungkam terhadap sejumlah isu penting yang menggerogoti entitas kedaulatan bangsa dan negara. Bahkan, banyak tudingan anggota BPIP makan gaji buta.

Tentu, sikap ksatria Yudi Latif yang mundur dari BPIP lebih bermoral dan bermartabat ketimbang sikap Prof. Mahfud MD yang tak pernah mundur, tak jelas kerjanya apa, bahkan terakhir mendapat banyak kritik publik sehubungan pernyataannya yang dangkal atas simpulan sejumlah provinsi yang dimenangkan pasangan capres Cawapres Prabowo Sandi.

Penulis jadi teringat kata-kata Prof Suteki, "hukum tanpa moral bukanlah hukum", pernyataan beliau ini implisit bisa kita tangkap bahwa untuk menegakan hukum wajib melibatkan moral didalamnya. Tanpa melibatkan moral, hukum mustahil bisa ditegakkan.

Bagaimana dengan bangsa ini ? Apakah telah menyertakan moral dalam menjalankan kekuasaan dan menegakan hukum ?

Justru kenyataannya bangsa ini sedang dalam keadaan krisis moral, defisit nilai, dan kemarau kepercayaan. Rakyat digerogoti rasa tidak percaya pada proses Penyelengaraan pemerintahah dan penegakan hukum.

Pada konteks penyelenggaraan kekuasaan, rakyat pada tanggal 17 April yang lalu telah mengambil sikap untuk menarik mandat kekuasaan. Menuliskan visi perubahan, untuk masa depan yang lebih baik. Faktanya ? Karena krisis moral yang parah, mandat rakyat itu ducurangi, aspirasi perubahan itu dikebiri, bahkan rakyat ditakut-takuti, dipaksa percaya bahwa kekuasaan rezim saat ini layak memimpin lagi. 

Bagi rezim sendiri, tak soal rakyat mau dipimpin karena ridlo atau dipaksa, atas kehendak bebas atau karena ditakut-takuti, mengambil amanah kekuasaan secara jujur atau dengan jalan curang, bertindak amanah atau berdusta lagi, mengambil kekuasaan untuk berkhidmat atau berkhianat. Bagi rezim yang penting berkuasa lagi.

Itulah sebabnya, nampaknya bangsa ini telah mengalami krisis moral yang maha dahsyat. Sulit untuk memberikan kepercayaan kepada pejabat yang biasa dan gemar bermaksiat. Lantas, apakah ini menjadi petunjuk runtuhnya peradaban ? 

Lebih jauh, apakah rusaknya moral bangsa ini adalah penyimpanan perilaku individual atau dampak sistemik ? Dampak parah dari negeri yang mengadopsi sistem politik sekuler yang tidak mengindahkan agama ? Apakah diperlukan alternatif sistem agar moral bangsa ini kembali baik ? Wallahu a'lam. [vm]

Posting Komentar untuk "Krisis Moral Bangsa, Pertanda Runtuhnya Peradaban ?"

close