Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Investasi Asing Sebagai Prasyarat Kemakmuran Ekonomi Hanyalah Mitos?


Oleh : Lukman Noerochim (Stafsus FORKEI)

"Problem besar kita sejak lama adalah neraca transaksi berjalan yang selalu defisit. Neraca perdagangan kita yang selalu defisit. Ini problem yang sudah jelas kita paham, jelas masalahnya, namun ini tidak pernah selesai," jelas Jokowi usai menghadiri buka puasa bersama dengan Hipmi, republika.co.id Ahad (26/5).

Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mennjelaskan bahwa permasalahan utama yang dihadapi perekonomian nasional adalah defisit transaksi berjalan (CAD) dan defisit neraca perdagangan. Keduanya memang terus mengalami defisit dalam beberapa tahun terakhir. Jokowi menyampaikan dua solusi yang harus dikejar pemerintah, yakni peningkatan ekspor dan investasi. 

"Kuncinya hanya dua yakni peningkatan ekspor dan investasi," kata Jokowi.

Catatan :

Indonesia saat ini menjadi tempat tujuan investasi terbaik bagi para investor. Mengapa investor asing dari dulu hingga sekarang begitu tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia? Eksistensi investor asing sesungguhnya tak lebih dari seperti yang digambarkan oleh peribahasa “ada gula ada semut”. Artinya, ketika sumber daya alam (gula) yang dimiliki Indonesia sudah habis maka ketika itu pulalah mereka akan pergi meninggalkan Indonesia. Tidak peduli betapapun bagusnya investment grade yang disematkan kepada Indonesia sebagaimana yang sering dirilis oleh lembaga-lembaga pemeringkat seperti halnya Moody’s.

Industri besar yang ada di negeri-negeri muslim lebih sering diorientasikan untuk mengeruk kekayaan alam (migas, tambang, hutan, dan laut) atau menguasai sektor publik (air minum, listrik, telekomunikasi, jalan tol) dengan kontrak konsesi, yang akhir-akhir ini beralih juga ke tangan asing.
Sementara itu, bersama-sama dengan pariwisata, ratusan ribu TKI juga menjadi andalan devisa, sekalipun di luar negeri sering terzalimi. Di sisi lain, beberapa ribu tenaga ahli asing yang bekerja di Indonesia “menguras” kantong kita lebih banyak dari sekian juta pegawai negeri, termasuk dosen-dosen dan peneliti yang notabene banyak yang merupakan lulusan sekolah di luar negeri. Belum lagi dengan utang yang luar biasa besar.

Bradley R. Simpson dalam Economists with Guns (2010)[8] menceritakan kepergian Menlu Adam Malik pada akhir September 1966 untuk meminta bantuan AS. Tidak lama kemudian, Menko Perekonomian Sultan Hamengkubuwana IX menyusul untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Misi Adam Malik pada waktu itu adalah bertemu dengan petinggi CIA, Depertemen Pertahanan, DPR dan Senat AS, serta Presiden Lyndon Johnson. Menurut Simpson, pemerintah Johnson memandang Adam Malik sebagai petinggi Orde Baru yang harus dipertahankan tapi memiliki basis sosial-politik yang lemah di Indonesia. Untuk itu kepulangan Adam Malik harus disertai keberhasilannya membawa bantuan AS kepada Indonesia.

Di samping memasukkan Indonesia ke dalam perangkap hutang AS, juga ditempuh jalan masuknya korporasi AS untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Simpsons menyebutkan AS memiliki pengaruh sangat besar dalam merancang undang-undang penanaman modal asing. Undang-undang tersebut disusun Kepala Bappenas Widjojo Nitisastro di bawah arahan AS dengan acuan “liberalisasi maksimum”. Pada waktu itu, undang-undang inilah yang menjadi jalan masuknya Freeport ke Indonesia untuk mengeksploitasi emas dan tembaga di Papua.

Oleh karena itu, investasi asing harus distop. Terlebih lagi dalam perspektif politik ekonomi Islam investasi asing tidak boleh karena dapat menjadi jalan bagi orang kafir untuk menguasai ummat Islam. Dan sebaliknya, harus mandiri dengan modal sendiri untuk membangun  ekonomi. Investasi asing sebagai prasyarat kemakmuran ekonomi hanyalah mitos belaka. [vm]

Posting Komentar untuk "Investasi Asing Sebagai Prasyarat Kemakmuran Ekonomi Hanyalah Mitos?"

close