Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Politik Pertumbuhan Demokrasi yang Gagal Memecahkan Masalah Kemiskinan


Oleh : Yuli Sarwanto (Analis FAKTA)

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua bisa di atas 5,1 persen atau lebih baik dibandingkan pertumbuhan pada kuartal I/2019. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menuturkan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2019 diperkirakan lebih baik seiring dengan adanya pola musiman yakni Ramadan dan Idulfitri. "Pada intinya lebih baik dari kuartal I/2019. Kuartal pertama itu 5,07 persen atau 5,1 persen ya," kata Bambang, ekonomi.bisnis.com, Selasa (28/05/2019).

Catatan Rabu

Sudah menjadi persepsi umum bahwa pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi mendorong tercapainya pembangunan ekonomi. Model pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi ini merupakan dasar politik pembangunan ekonomi Indonesia.

Model politik pertumbuhan menempatkan persepsi kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat dicapai manakala perekonomian didorong untuk menghasilkan output kegiatan ekonomi yang tumbuh lebih besar setiap tahunnya. Pertumbuhan tersebut digambarkan oleh pertambahan nilai produk domestik bruto (PDB). Dengan perekonomian yang tumbuh, maka pengangguran dan kemiskinan dapat dikurangi dan dituntaskan, begitulah logikanya.

Model ini memiliki kekeliruan yang mendasar. Menurut an-Nabhani dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, politik pertumbuhan menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan manusia secara kolektif bukan pemenuhan kebutuhan setiap individu. Praktisnya politik pertumbuhan fokus pada aspek materi yakni output yang dapat dihasilkan perekonomian. Sebaliknya, politik pertumbuhan tidak fokus pada manusia sebagai mahluk yang harus dijamin pemenuhan kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain politik pertumbuhan hanya mementingkan benda yang dihasilkan bukan manusianya.

Dari politik pertumbuhan inilah kemudian diciptakan pendapatan perkapita sebagai ukuran umum tingkat kesejahteraan masyarakat. Secara teknis, pertumbuhan ekonomi terjadi karena peningkatan nilai PDB setiap tahunnya yang mendorong kenaikan pendapatan perkapita. Permasalahannya, benarkah pendapatan perkapita mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat? Namun sekali lagi kami tanyakan, benarkah angka pendapatan perkapita yang diklaim pemerintah tersebut mencerminkan kondisi riil pendapatan rata-rata masyarakat? Yang kita lihat di tengah-tengah masyarakat justru mereka menghadapi kehidupan yang semakin sulit meski pemerintah membanggakan naiknya pendapatan perkapita dan turunnya angka kemiskinan.

Dengan menggunakan data BPS sendiri, kami menemukan perbedaan cukup jauh antara tingkat pendapatan perkapita dengan pengeluaran rata-rata perkapita. Memang secara rasional tidak mesti seluruh pendapatan dihabiskan, sebagian bisa disimpan dan sebagian lagi dapat diinvestasikan. Masalahnya adalah perbedaan yang cukup jauh di antara kedua indikator tersebut sedangkan kesejahteraan belum dapat dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia.

Pemerintah membanggakan kinerja pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak dirasakan masyarakat. Sebab yang menikmati pertumbuhan ekonomi adalah asing dan pemilik modal. Kerangka berpikir ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa Kalimantan, Aceh, Riau, dan Papua yang notabene daerah kaya sumber daya alam tetapi tertinggal. Teori ekonomi Barat menyebut permasalahan yang menimpa daerah-daerah tersebut sebagai “Kutukan Sumber Daya Alam”, padahal yang sesungguhnya terjadi adalah “penghisapan ekonomi”. Kami memilih sebutan untuk kondisi di daerah kaya SDA tersebut sebagai akibat “Kutukan Globalisasi dan Liberalisasi”.

Politik pertumbuhan juga terbukti tidak dapat menghilangkan kemiskinan di Indonesia meski telah meraih kemerdekaan selama hampir 67 tahun. Pembangunan yang “digadang-gadang” rezim Orde Baru akan mencapai tahapan tinggal landas dan akan menghapus kemiskinan justru berujung krisis moneter dan krisis ekonomi. Krisis tersebut terjadi akibat penumpukan hutang pemerintah dan hutang luar negeri swasta. Sedangkan kinerja pembangunan yang “dibangga-banggakan” pemerintahan berada dalam posisi rentan terhadap krisis dan tidak dapat menghapuskan kemiskinan.

Menurut pemerintah angka kemiskinan terus menurun. Permasalahannya, turunnya tingkat kemiskinan versi pemerintah tersebut disebabkan oleh rendahnya standar garis kemiskinan yang digunakan. Pada tahun 2019 standar garis kemiskinan nasional sebesar Rp 401.220 per kapita per bulan. Artinya penduduk yang miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran rata-rata perbulan di bawah Rp 401.220 atau perharinya di bawah Rp. 13.374,-. Jika pengeluaran rata-rata seseorang setiap harinya naik sebesar seratus rupiah dari 13.374,- menjadi Rp 13.474,-, maka oleh pemerintah, orang tersebut tidak dikatagorikan sebagai orang miskin. Ini jelas sangat tidak rasional.

Model pengentasan kemiskinan dengan jalan kapitalisme sangat tidak realistis. Karena hanya melihat kemiskinan dari segi konfigurasi angka pengeluaran perkapita agar tidak berada di bawah garis kemiskinan. Bukan dari segi setiap warga negara harus dipenuhi kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Rendahnya standar kemiskinan inilah yang menyebabkan kemiskinan di Indonesia terlihat rendah dan semakin menurun. Sementara model pembangunan yang bertumpu pada politik pertumbuhan tidak dapat memecahkan masalah kemiskinan. Model ini juga tidak mampu menciptakan pemerataan sebab yang terjadi adalah penghisapan dan ketimpangan. [vm]

Posting Komentar untuk "Politik Pertumbuhan Demokrasi yang Gagal Memecahkan Masalah Kemiskinan"

close